OPINI — Alhamdulillah, beberapa jam lalu, saya berkesempatan mengikuti pengajian daring KKSS Pusat. Menggunakan platform Zoom, pengajian diikuti 138 peserta, dari berbagai daerah di tanah air hingga perwakilan KKSS di Amerika Serikat (New York dan Boston).
Pematerinya Prof. Dr. H. K.H. Nazaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, yang juga Penasehat KKSS. Hadir pula Ketua KKSS H. Muchlis Patahna, SH., M.Kn. Sementara dari Samarinda bergabung Prof. Dr. H. Masjaya, Dr. H.M. Ridwan Tasa, Dr. Mursalim, dan saya sendiri. Pengajian berlangsung akrab dan penuh kekeluargaan. Apalagi tak jarang Prof. Nazaruddin menyampaikan dalam bahasa Bugis.
Di awal kajian, Prof. Nasaruddin memperkenalkan istilah yang buat saya cukup asing: Ukhuwah Makhlukiyah (persaudaraan sesama makhluk). Selama ini saya hanya mengenal tiga jenis ukhuwah, yakni Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan sesama manusia).
Menurut mantan Wakil Menteri Agama RI ini, istilah Ukhuwah Makhlukiyah disebut dalam Al-Qur’an, sebagai cara memperlakukan semua makhluk Allah dengan spirit persaudaraan. Terhadap tetumbuhan, hewan, dan terhadap apa saja di sekitar kita, hendaklah dengan kesadaran bahwa semua itu makhluk Allah dan karenanya harus kita sayangi pula.
Persahabatan Manusia Bugis
Prof. Nazaruddin menjelaskan, di komunitas Bugis-Makassar, dimensi Ukhuwah Makhlukiyah sangat kental mewarnai adat dan tradisi mereka. Leluhur kita begitu memberikan penghargaan dan sungguh menghayati kebersamaan dengan alam dan makhluk ciptaan Allah lainnya.
Sebelum memulai menanam padi, lazimnya mereka melaksanakan upacara “Mappamula”. Begitu juga jika akan panen, ada semacam “upacara” sebagai tanda kesyukuran. Orang Bugis-Mandar sebelum melaut, terlebih dahulu menyapa laut, “apakah boleh mereka melaut?”.
Itu merupakan bentuk persahabatan manusia Bugis (dalam hal ini Bugis-Makassar, Bugis-Mandar, Bugis-Toraja) terhadap alam dan lingkungan. Leluhur kita sangat tinggi ilmunya, karena mereka langsung berguru kepada “tanda-tanda alam”. Mereka hanya akan pergi melaut jika laut memberikan jawaban melalui “tanda-tanda”. Jangan cepat-cepat kita mengatakan itu musyrik.
Ada satu istilah bahasa Arab yang tidak ada padanan katanya dalam bahasa manapun di dunia, termasuk bahasa Indonesia. Kata itu adalah Muru’ah. Padanan katanya hanya ditemukan dalam bahasa Bugis, yakni “Matanre Siri’.” Ini sangat tinggi maknanya. Tentang akhlak yang demikian mulia, sehingga hanya berkomitmen pada kebaikan dan menolak keburukan.
Beliau mencontohkan, pernah ada seorang Raja di Soppeng yang menghukum dirinya sendiri dikarenakan ada suatu kesalahan yang ia perbuat yang menyebabkan gagal panen di daerah tersebut. Inilah contoh Matanre Siri’ itu.
Tentang ini, saya (bersama Bung Aprial yang juga ikut pengajian ini) pernah mewawancarai Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, beberapa bulan sebelum beliau wafat. Beliau bercerita, sekitar abad 17, ada seorang Raja di Bone yang menghukum anak kandungnya sendiri (dengan cara diusir dari kampung) karena melanggar adat. Dan sejak saat itu, di Bone tak pernah lagi ada pelanggaran adat. Bahkan sandal yang di taruh di tengah jalan pun tidak ada lagi yang berani mengambilnya.
Inilah warisan leluhur yang menurut Prof. Nazaruddin mesti kita kaji dan kita aktualisasikan: Matanre Siri’. Di kampung kita, tak pernah ditemukan ada imam tidak pakai peci. Atau guru yang ambil air di sumur. Ada perasaan berdosa bagi orang sekampung jika itu terjadi. Ini menunjukkan penghargaan.
Kalau orang Bugis respek terhadap pohon, sungai, laut, dan alam secara keseluruhan, itu jangan diartikan sebagai penyembahan. Melainkan sebagai bentuk Persahabatan; sebagai persaudaraan sesama makhluk. Orang Bugis itu adalah satu-satunya etnik dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan itu tersurat di dalam Ilagaligo, tentang Dewata Sewa’e.
Memang jika orang melihat kulit luarnya saja, tidak akan memahami kedalaman makna dalam adat dan tradisi leluhur manusia Bugis. Seperti kalau kita mengupas Bawang, kulitnya itu kan berlapis-lapis. Konsepsi dan pandangan dunia manusia Bugis harus dibaca seperti itu. Jangan berhenti di kulit permukaan, tapi selami supaya kita sampai pada kedalaman makna.
Kisah Ikatan Kijang
Di akhir kajian, Prof. Nasaruddin mencontohkan sebuah riwayat tentang bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan seekor Kijang. Saat itu, bersama sejumlah sahabat, Rasulullah melewati sebuah perkemahan (adalah hal biasa di kalangan masyarakat Arab saat itu yang hidup berpindah-pindah, lalu mendirikan kemah di suatu tempat yang dianggap cocok).
Di dekat kemah, terdapat seekor Kijang yang sedang diikat. Tiba-tiba Rasulullah berhenti. Para sahabat yang mengiringi mulai bertanya-tanya. Ada apa gerangan Rasulullah berhenti, sementara tak ada sesuatu yang tampak oleh mereka. Rupanya Rasulullah mendengar suara “permintaan tolong” dari Kijang itu. Berbeda dengan sahabat, Rasulullah mengerti bahasa binatang.
Rasulullah pun mendekat ke Kijang. Sedangkan kaum yang berkemah sedang tidak di tempat, mungkin sedang berburu atau keperluan lain. Lalu, terjadinya dialog ini (dengan permohonan maaf kepada Pak Prof. Nasaruddin, jika ada tidak pas dalam penulisan dialog berikut).
“Tolong lepaskan ikatanku ini ya Rasulullah,” kata Kijang.
“Kalau untuk melepas ikatanmu, Aku tak bisa lakukan. Karena engkau sekarang adalah milik dari kaum yang berkemah di sini,” jawab Rasulullah.
“Betul Rasulullah. Aku ditangkap saat baru saja melahirkan anakku. Mereka pemilik kemah ini sudah mengikatku. Tapi aku mohon lepaskan ikatan ini hanya untuk pergi menyusui anak-anakku. Setelah itu, aku akan kembali dan Rasulullah boleh mengikatku lagi di sini,” Kijang itu memelas.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan melepas ikatanmu dan menunggumu di sini,” Rasulullah menyetujui komitmen Kijang.
Maka berlalulah Kijang itu menemui anak-anaknya. Sementara Rasulullah menunggu, memastikan Kijang itu akan kembali dan menjaga jangan sampai kaum yang berkemah datang.
Setelah beberapa lama, tampak di kejauhan debu pasir beterbangan dibawa angin berlalu. Rupanya Kijang datang dengan berlari sangat kencang. Ia begitu gembira telah menyusui anak-anaknya.
“Silahkan ikat aku kembali ya Rasulullah. Terima kasih, aku telah menyusui anak-anakku,” pinta Kijang.
Belum sempat Rasulullah berucap, tetiba datang rombongan pemilik perkemahan. Mereka takjub melihat kenapa Rasulullah ada di perkemahan. Kaum itu rupanya senang berjumpa Nabi yang mulia.
“Apapun yang Rasulullah perlukan, silahkan diambil. Juga kalau Rasulullah membutuhkan Kijang itu,” kata pemimpin mereka.
Singkat cerita, Rasulullah pun meninggalkan perkemahan dengan membawa Kijang pemberian kaum itu. Rasulullah memegang tali pengekang Kijang itu hingga melewati punggung bukit (sampai tak terlihat lagi oleh kaum yang berkemah), dan setelah itu Beliau pun melepaskan Kijang tersebut.
“Sahabatku, pergilah besarkan anak-anakmu,” kata Rasulullah, penuh kelembutan. Lalu Kijang pun berterima kasih dan dengan riang berlari lincah menemui anak-anaknya.
Ukhuwah Makhlukiyah: mungkin kita perlu menengoknya di saat hampir semua orang di bumi bersembunyi dari Corona. Wallahu a’lam bisshawab.
Samarinda, 30 April 2020
Saat Imsak mulai menyapa
*Imran Duse, Wakil Ketua BPW KKSS Kalimantan Timur dan Mantan Pemimpin Redaksi Majalah PINISI.