OPINI — Sejak munculnya ke permukaan berita tentang penyiraman wajah Novel Baswedan dengan air keras, hati masyarakat terasa pesimis perkara tersebut akan tuntas sampai ke akar-akarnya.
Perasaan pesimis tersebut seiring tingkat kepercayaan publik yang kian terkuras, setelah hampir dua tahun berlalu namun perkara tersebut masih tersapu kegelapan. Entah siapa yang yang harus bertanggungjawab.
Perasaan pesimis dan kepercayaan publik yang terkuras, terobati sesaat setelah pelakunya ditangkap. Tetapi harapan yang sesaat itu seketika berubah wajah dengan kekecewaan setelah pelakunya diketahui adalah oknum dari institusi yang semestinya berfungsi mengamankan, melindungi, dan mengayomi masyarakat.
Kekecewaan sungguh tak terkira setelah tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) hanya satu tahun pidana penjara. Padahal tuntutan JPU dalam dalam penganiayaan berat seperti itu tidak ada dalam sejarah penegakkan hukum.
Slogan hukum adalah panglima, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh, keadilan untuk seluruh rakyat bangsa ini. Ungkapan ini kian membumi karena begitu mudahnya diucapkan, tapi penerapannya kapan akan terwujud, masyarakat kian lama merindu dalam penantian. Atau realitas perkara Novel tersebut dinilai sebagai suatu keadilan hukum, betapa menyedihkan nasib bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab, tetapi penerapan hukumnya terkesan berwajah buruk karena compang-camping.