OPINI— Radikalisme merupakan pemicu utama tindakan ekstrem, termasuk anarkisme. Seiring perkembangan, gerakan ini ditengarai menyasar generasi muda dan kalangan intelektual. Beberapa waktu lalu publik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengeluarkan pernyataan bahwa perguruan tinggi sudah terpapar pada paham radikal. Namun banyak kalangan justru apatis dan tidak terlalu tertarik membahas terkait isu-isu radikalisme yang mewabah di civitas akademika perguruan tinggi khususnya dosen dan mahasiswa.
Padahal selama ini perguruan tinggi menjadi lahan tumbuh suburnya paham radikalisme. Jika mahasiswa alumni dari suatu perguruan tinggi apalagi perguruan tinggi Islam yang terpapar radikalisme maka tentu menjadi persoalan yang sangat serius. Karena sejatinya perguruan tinggi menjadi pelopor utama dalam mencegah paham radikalisme yang banyak merusak daya pikir mahasiswa. Contoh kasus pemecatan Hikmah Sanggala, mahasiswa IAIN Kendari yang di pecat oleh Rektor IAIN Kendari, Prof Dr Faizah binti Awad karena menjadi anggota ormas terlarang (baca : ex HTI) menjadi bukti bahwa mahasiswa memang sangat mudah dipengaruhi paham radikalisme apalagi yang mengatasnamakan agama.
Selain mahasiswa, dosen juga rawan menjadi korban paham radikalisme. Kejadian yang menimpa dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Abdul Basith yang menjadi pemasok bom molotov adalah bukti bahwa memang perguruan tinggi di Indonesia sudah dimasuki para penganut paham radikal.
Hal ini tentu menjadi perhatian agar seluruh rektor di Indonesia segera melakukan pendataan terhadap para dosen dan pegawainya. Jangan sampai dosen dan pegawai terpapar radikalisme, intoleransi, apalagi masih aktif mengkampanyekan ajaran sesat organisasi terlarang seperti HTI. Oleh karena itu, melalui pemetaan dosen dan civitas akademika, perguruan tinggi dapat dikontrol dengan baik agar tidak ada lagi persoalan yang akan merugikan dan merusak citra perguruan tinggi tanah air.
Adanya paham radikal di perguruan tinggi memang bukan hal baru. Sejak zaman Orde Baru, kampus-kampus sudah terpapar pada paham-paham radikal. Ada banyak cerita tentang mahasiswa yang akhirnya berhenti kuliah, bergabung dalam sebuah gerakan untuk membangun negara Islam. Di berbagai pengajian di kampus mereka bertemu dengan pemikiran radikal itu.
Lalu, apa itu paham radikal? Menurut penulis, definisi radikal bisa dibuat sederhana, yaitu orang yang dalam beragama menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh atau ancaman bagi dirinya, dan ia menginginkan negara ini diatur berdasarkan ajaran agama dia secara utuh. Itu definisi dasarnya. Setiap orang yang punya pemikiran seperti itu sudah bisa kita anggap berpaham radikal.
Kenapa didefinisikan begitu? Pangkal berbagai tindakan radikal ada di dua poin tadi, yaitu menganggap penganut agama lain sebagai musuh, dan ingin menjadikan ajaran agama sebagai dasar negara. Radikalisme di masa lalu kita kenal dalam wujud berbagai pemberontakan, seperti DI/TII. Apa yang mereka inginkan? Mendirikan negara Islam. Mereka melakukan pemberontakan untuk tujuan itu. Berbagai aksi radikal yang lain yang terjadi sepanjang sejarah Indonesia, termasuk berbagai aksi selama Orde Baru juga begitu.
Pertanyaannya kemudian mengapa yang menjadi sasaran adalah perguruan tinggi? Tentu ini merupakan pola baru agar ajaran radikal dapat masuk melalui doktrinisasi sehingga apa yang diajarkan seolah-olah merupakan hasil kajian akademik. Dan pada akhirnya mahasiswa meyakini bahwa ternyata solusi untuk mengatasi semua persoalan adalah berdasarkan ajaran agama. Misalnya yang terjadi di sekitar penulis, ada oknum dosen yang masih mendengungkan bahwa solusi permasalahan bangsa adalah sistem khilafah. Demokrasi dan pemilu bukan solusi, katanya. Padahal sistem pemerintahan khilafah tidak ada di dalam Alquran dan hadis, sehingga model khilafah bisa bermacam-macam. Indonesia, sebagai negara dengan sistem Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan ketuhanan maka Indonesia juga sudah sangat Islami.
Bahkan Prof Mahfud MD mengatakan sistem Pancasila ini adalah juga khilafah. Khilafah dalam arti sistem pemerintahan yang khas Indonesia, al-khilafah al-indunisiya.
Menurut penulis, ada beberapa pemicu kalangan akademisi terpapar paham radikal. Pertama, sebelum menjadi dosen, mereka sudah aktif di organisasi-organisasi yang memang radikal seperti: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Apalagi jika dosen tersebut berasal dari alumni perguruan tinggi yang di rilis BNPT sebagai bibit penyebaran paham radikalisme yakni, UI, ITB, IPB, UNDIP, ITS, Unair dan UB (Tribunnesw.com, Kamis 7 Juni 2018). Mengapa IPB cukup rentan terhadap pengaruh dan sasaran gerakan radikal? Hal itu disebabkan karena mahasiswa IPB berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan target agar nantinya mahasiswa IPB yang datang dari daerah dapat menjadi kader setelah mereka lulus dan kembali ke daerahnya untuk menyebarkan paham radikal secara sistematis dan terstruktur.
Kedua, kalau mereka tidak aktif dalam organisasi radikal, mungkin karena keilmuannya. Keilmuan eksakta, misalnya. Ilmu alam itu cenderung melihat dunia sebagai hitam-putih. Hal itu dapat kita jumpai dalam diskusi-diskusi bertema “bumi itu datar”. Ketiga, mereka tidak paham isu-isu politik Indonesia; misalnya, menyangkut katakanlah demokrasi. Ada yang bilang demokrasi tidak sesuai dengan politik Islam; dia dengan cepat menerima itu. Atau, misalnya ekonomi Indonesia sudah neoliberal: “Kita sedang dijajah.” Karena dia tidak paham soal politik dan ekonomi Indonesia, dia terima saja argumen itu, sehingga kemudian mudah menerima paham politik dan ekonomi yang radikal.
Berdasarkan data dan fakta yang penulis uraikan di atas, bahwa perguruan tinggi dalam bahaya karena akan berpotensi menjadi sarang paham radikal yang akan merongrong keutuhan bangsa. Hadirnya Permenristekdikti No 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Mahasiswa di Lingkungan Kampus perlu segera dilaksanakan.
Lebih dari itu tak ada pilihan lain, kini diperlukan pergeseran perhatian yang serius dari pemerintah terutama BPIP, Kemenristekdikti, Kemenag RI, BNPT, dan BIN kepada kampus sebagai basis penyadaran akan arti penting keutuhan ideologi bangsa Pancasila dan NKRI. Selama ini model penguatan karakter dosen hanya melalui akreditasi dalam bentuk kemahiran mengajar dan pengembangan kurikulum, bukan pada penguatan karakter ideologi Pancasila. Saatnya kini perlu kembali dilakukan aneka upaya penguatan internalisasi ideologi Pancasila di kampus untuk para dosen, mahasiswa dan civitas akademika. (HP/WA 0811-4105-237)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.