OPINI – Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sepertinya tidak akan lama lagi, kita sebagai masyarakat Indonesia tentunya tidak asing lagi dengan kata politik identitas.
Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti identitas agama, ideologi etnis bahkan lainnya. Menjelang Pilpres 2024, masyarakat harus mewaspadai politik identitas untuk menghindari kekerasan dan perdebatan yang tidak produktif.
Jelang pemilu 2024, masyarakat harus mewaspadai manipulasi opini publik melalui politik identitas, yang biasanya dilakukan dengan menyebarkan desas-desus dan ujaran kebencian, berdampak pada berkembangnya debat yang tidak produktif dan menimbulkan keresahan sosial. Politik identitas sosial menjadi terpolarisasi berdasarkan basis dukungan calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang terjadi sebelumnya pasca Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017 yang berlanjut hingga pilkada 2024.
Politik identitas menggunakan identitas seperti agama, ideologi, ras, suku dan budaya sebagai sarana mobilisasi kepentingan politik, dalam hal ini memanipulasi opini publik lebih banyak sebagai wadah emosi. Semakin sedikit pasangan calon, semakin kuat polarisasinya, seperti pada pemilu 2019 yang hanya ada dua pasangan calon, hal ini diperkuat dengan politik identitas yang menyerang masing-masing calon dengan perasaan tertentu.
Seperti dalam pidato Jokowi yang meminta Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mewaspadai politik identitas sebagai faktor rentan dalam pemilu. Memperkuat fungsi dan kekompakan pengawasan pemilu dalam memantau pelaksanaan tahapan pemilu 2024. Terkait hal itu, Presiden Joko Widodo menegaskan, sebelum deklarasi menegaskan posisi sentral bawaslu dalam menjaga kepercayaan publik, demikian juga disinggung Jokowi. Salah satu isu yang rentan dalam pelaksanaan pemilu, faktor pemilu memiliki identitas politik, sara dan hoax,
Peran Media Sosial
Media sosial bisa menjadi senjata ampuh dalam membangun identitas di media siber. Demikian pula di Amerika Serikat (mis. Davies, 2019). Hal ini dimungkinkan karena berbagai karakteristik yang terkait dengannya, antara lain kecepatan penyebaran informasi (viralitas) dan jangkauan khalayak yang luas. Sekali lagi, kita dibimbing oleh ketidaktahuan, namun seringkali tidak menyadarinya bahkan menikmatinya. Situasi ini dapat diperparah dengan misinformasi dan penipuan, serta fitnah yang menjelek-jelekkan kelompok lain. Kesadaran risiko ini penting dalam konteks Indonesia. Saat ini, lebih dari 60% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif jejaring sosial, menghabiskan lebih dari 3 jam sehari. Jika kesadaran kolektif ini tidak dibangun, melainkan bergerak menuju keadilan dan kesetaraan untuk kebaikan bersama, maka penggunaan media sosial yang dualistik, yang mengedepankan identitas kelompok, justru mengayunkan ke ekstrem yang lain.
Mendefinisikan Kebijakan Identitas
Tidak ada definisi tunggal dari istilah “Politik identitas” dalam literatur. Namun secara umum, politik identitas mengacu pada agenda, aktivitas, aktivisme politik dimana anggota kelompok berbasis identitas berorganisasi dan memobilisasi untuk melawan ketidakadilan yang dirasakan yang muncul dari struktur, sistem, dan praktik hegemonik (Miller, 2021). Tinjauan literatur menemukan bahwa ketika politik identitas muncul di Amerika pada tahun 1970-an, itu adalah gerakan melawan ketidakadilan (Fukuyama, 2018; Maarif, 2010).
Contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di Amerika yang merupakan warga kelas dua di bawah penindasan kulit putih (Garza, 2019). Saat itu, identitas didasarkan pada status minoritas, ras, etnis, jenis kelamin, dan kelompok sosial terpinggirkan lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, identitas didasarkan pada agama, kepercayaan, dan ikatan budaya yang berbeda (Maarif, 2010). Perbedaan pendapat dan pendapat adalah keseharian dalam politik. Tetapi catatan itu tidak memiliki kepentingan sekilas atau menyesatkan yang tersembunyi, kemasan yang cantik itu menipu. Perbedaan tidak serta merta menyebabkan perpecahan. Kebalikan dari perbedaan adalah persamaan dan peniadaan pembagian adalah kesatuan. Pemisahan tidak identik dengan pembagian. Keberagaman identitas ini merupakan fakta sosial dan merupakan sunatullah (QS Al-Hujurat 13). Oleh karena itu, komunikasi timbal balik harus dibungkus dengan nilai-nilai luhur, termasuk kesetaraan anak bangsa, apapun latar belakangnya.
Politik Identitas dalam Humaniora dan Ilmu Sosial
Dalam bidang ilmu sosial dan humaniora, politik identitas dimaknai sebagai alat yang membawa hasrat, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik. Ini merangsang dan bahkan mengarahkan tindakan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Politik identitas menggunakan tanda ras, etnis, bahasa, adat istiadat, gender dan agama. Kelompok minoritas dan terpinggirkan sering menggunakan politik identitas untuk melawan ketidakadilan atau ketimpangan yang sistemik.
Mengekspresikan keinginan kelompok yang mempraktikkan politik identitas, perbedaan seperti etnis, gender, dan agama ditonjolkan secara jelas dan intens. Beberapa contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain : gerakan Afrika-Amerika yang menuntut persamaan ras, gerakan LGBT yang menuntut legalisasi pernikahan sesama jenis dibeberapa Negara Barat, gerakan masyarakat adat perjuangan adat hak atas tanah, gerakan gender untuk kesetaraan dan keadilan, perjuangan dalam kehidupan kerja.
Paralelnya dapat ditarik dari gambaran di atas bahwa : Pertama, politik identitas mencakup setiap makna dan tujuan sesuai dengan konteks geografis, budaya, waktu dan sosialnya. Kedua, gerakan politik identitas dilakukan oleh kelompok yang terpinggirkan atau tidak diberikan hak yang sama dengan kelompok arus utama.
Kesimpulannya, politik identitas sering disalahpahami sebagai bagian dari politik praktis atau bahkan politik nasional. Bijaklah dalam menerima informasi dan bijaklah dalam berpolitik. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.