OPINI — Tulisan pendek ini hendak memotret realitas sosial yang dialami oleh seluruh relawan kemanusiaan (wabil khusus tenaga medis) semasa perang melawan virus corona. Terus terang saya terinspirasi dengan pernyataan Jalaluddin Rahmat, salah satu penulis kenamaan di negeri ini yang saya kenal dengan membaca karya-karya intelektualnya. Ia pernah mengatakan bahwa seorang intelektual adalah yang mampu membaca hal-hal yang kecil di lingkungannya lalu memberikan respons atau solusi di sana. Seorang intelektual harus menyebarkan gagasan pemikiran, dan menghadirkan solusi-solusi menyegarkan sehingga membuktikan bahwa ia tak hanya berada di menara gading.
Sepintas lalu pernyataan di atas mengingatkan kita bahwa jika hal terkecil saja kita dituntut untuk selalu memberikan tanggapan. Maka tidak ada alasan memberikan respons terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan yang tengah hadir di tengah-tengah masyarakat kita hari ini. Duka mendalam atas kepergian rekan-rekan sejawat dokter dan perawat dalam perjuangan melawan corona (Covid-19), menurut hemat penulis bukan lagi hal kecil dan remeh temeh. Ia adalah masalah besar yang perlu dipotret sebagai sebuah masalah bersama dalam rangka menghidupkan kembali rasa kemanusiaan yang seolah mulai redup.
Masa-masa ini adalah situasi yang amat genting. Seluruh tim medis dan para ahli kesehatan tak terkecuali relawan kemanusiaan dibantu Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) beserta stekholder lainnya, bahu membahu memutus rantai penularan virus ini. Kita saksikan di seluruh wilayah, mulai dari desa, kecamatan hingga kabupaten semua bergerak bersama membentuk tim gugus Covid-19 untuk mengurangi memburuknya kesehatan masyarakat yang lebih serius.
Namun, dalam pengendalian penyakit berbahaya ini harus diakui bahwa tim dokter dan perawatlah yang paling banyak mendapat resiko tinggi dalam banyak situasi. Mereka yang banyak berhubungan dan berinteraksi langsung dengan pasien terpapar virus, membawa konsekuensi penularan yang mengancam keselamatan hidup mereka.
Nestapa dan Duka Cita untuk Dokter
Para dokter harus berjibaku mengentaskan virus ini meskipun dengan peralatan seadanya (Baca; Keterbatasan APD). Mereka banyak memilih konsekuensi yang lebih sulit. Ia harus berpisah dari kasih sayang istri/suami dan anak-anaknya, dari ibu dan saudara untuk hidup sebagai relawan kemanusiaan di negerinya. Para dokter harus menutup bisnisnya, meninggalkan zona nyamannya, dan hidup dalam bayang-bayang kematian, untuk berjuang demi banyak orang.
Tampaknya sudah menjadi nasib para pejuang kemanusiaan untuk memiliki kehidupan pribadi yang penuh derita. Bila kita membaca epos-epos sejarah pahlawan kemanusiaan, sebut saja Nelson Mandela, salah satu pejuang politik aparteid di Afrika nun jauh di sana. Mereka memiliki kehidupan pribadi yang tak stabil. Ketika hidup seseorang habis untuk perjuangan, seperti Mandela hanya ada sedikit ruang yang tersisa untuk keluarga. Peliknya lagi, lonceng-lonceng kematian nyata berdengung di depan mata.
Kondisi semacam ini saya kira yang tengah dihadapi para dokter dan perawat hari ini. Di dalam menjalankan amanah besarnya, mereka dihadapkan dengan tantangan yang jauh lebih besar. Tidak hanya “suka cita” mengorbankan kebersamaan dengan keluarga, melainkan juga “duka cita” demi menggapai “kehormatan besar” sebagai pahlawan kemanusiaan. Ya, itu dilakukan karena mereka masih memiliki rasa kemanusiaan meski harus dibayar dengan kematian.
Dalam hal-hal tertentu kita bisa merasakan rintihan hati para dokter yang berjuang di garda terdepan menjalankan peran-peran kemanusiaannya. Terbayang dalam pikiran saya bahwa mungkin bagi mereka di dalam hati kecilnya akan menolak amanah besar ini. Tetapi tidak, ini lagi-lagi tentang menghidupkan rasa kemanusiaan dan demi kemaslahatan bersama. Tak peduli virus ini berbahaya, tak peduli pasien-pasien akan menularinya. Yang terpenting melakukan komitmen-komitmen kemanusiaan walaupun kadang kala berujung pada pangkuan derita duka cita.
Ternyata benar. Virus ini telah membawa petaka pada dokter dan perawat di mana pertanggal 12 April 2020, terdapat 32 dokter yang meninggal dunia akibat terinfeksi Corona. Pun kematian juga menghampiri para perawat. Sampai saat ini sudah 12 perawat yang meninggal.
Ini adalah sebuah duka cita besar bagi negeri ini. Betapa tidak, dokter merupakan profesi yang tidak mudah untuk diraih. Dibutuhkan waktu yang amat panjang untuk menelorkan seorang dokter. Sebagaimana yang dikatakan Perhimpunan Dokter Umum Indonesia dalam sebuah surat terbuka kepada Bapak Presiden. Bahwa satu saja dokter mati perlu waktu bertahun-tahun untuk mencarikan pengganti. Apalagi jika memang ia adalah seorang guru besar. Itu lebih susah lagi. Beda dengan Menteri-menteri, satu saja mati, esok hari akan banyak yang berbondong-bondong datang mengajukan diri sebagai pengganti. Ini sungguh menyayat hati bukan!
Redupnya Rasa Kemanusiaan
Di tengah pilu yang harus diterima oleh para pahlawan kemanusiaan ini, hal lainnya yang mengusik hati kita adalah redupnya kepekaan sosial. Sebagian di antara kita ada yang menganggap bahwa mereka yang terpapar virus termasuk tim dokter dan medis adalah sekelompok yang harus dihindari sebagaimana anjuran social distancing. Sehingga tidak ada perasaan bersalah, apalagi berdosa untuk menolak jenazah-jenazah mereka.
Bukan kali pertama, penolakan jenazah pasien terinfeksi Covid-19 santer didapatkan di mana-mana yang dialami oleh tenaga medis. Setidaknya penolakan pemakaman jenazah terjangkit Corona juga telah terjadi pada mendiang PDP di Makassar dan Gowa, Sulawesi Selatan; dua jenazah positif Covid-19 ditolak di Lampung; dan dua jenazah positif Corona di tolak di Jawa Tengah (Tirto.id).
Marilah fenomena itu kita lihat berulang-ulang dan kita pertanyakan dari dalam hati sanubari kita. Seandainya para dokter yang masih bertahan sampai hari ini kita tanyai; apakah kalian merasa sedih atas semua ini? Bagaimana jawaban mereka? Tentulah dalam hati kecil mereka merasa sedih atas tindakan-tindakan sebagian kita yang tak memperlakukan mereka dengan layak sebagaimana dokter menolong mereka tanpa pamrih. Apalagi jika dokter dan perawat yang sampai ditolak. Allahu yahdik!
Saya tidak punya otoritas menjustifikasi apakah saat kita bertindak demikian, berarti telah redup rasa kemanusiaan kita. Tapi paling tidak ini menjadi bahan refleksi bagi kita semua sebagai sesama anak bangsa. Ya, matinya nurani dan tumpulnya kepekaan sosial ini dapat membawa kita pada redupnya cahaya kemanusiaan kita. Betapa tidak, tindakan-tindakan menolak mereka terutama dokter dan perawat, mengakibatkan mereka terkatung-katung di negeri sendiri dalam perjuangan kemanusiaan. Mereka yang berjuang demi kemaslahatan bersama lebih rentan diperlakukan semena-mena. Ini seolah menggeser dan mereduksi kehormatan besar mereka yang digelari “gugur bunga bangsa di haribaan ibu pertiwi”.
Saatnya Memuliakan Pejuang Kemanusiaan
Di dalam sebuah beranda sosial media, saya mendapati foto-foto tim medis yang berseliweran di lini masa yang tulisannya kurang lebih berbunyi seperti ini. “Kami Berikan Jasa Kami, Jangan Tolak Jasad Kami”. Saya sungguh terenyuh. Sebegitu beratnyakah persoalan dan realitas yang mereka hadapi saat ini sampai-sampai mereka meminta dengan tulus untuk tidak menolak jasad mereka jika Tuhan berkehendak mencabut nyawa mereka!
Bila kita menangkap pesan simbol dalam deretan kata-kata itu, maka sesungguhnya mereka butuh penghormatan selama masa memperjuangkan cita-cita kemanusiaan. Mereka tak meminta imbalan apa-apa sekalipun dengan nyawa sebagai taruhannya. Pesan itulah yang harus kita tangkap agar terbersit dalam hati kita untuk memuliakan mereka. Jika tidak bisa membantu mereka dengan sokongan moril dan bantuan materil. Minimal dengan menerima dan mendoakan mereka.
Di masa ini, pemerintah juga harus lebih memperhatikan keselamatan mereka. Sediakanlah alat pelindung diri (APD) yang layak dan memenuhi standar dengan jumlah yang mencukupi sebagaimana permintaan Perhimpunan Dokter dan Serikat Pekerja Farmasi di negeri tercinta ini. Adalah tidak adil jika pemerintah hanya berbelasungkawa atasnya tanpa memberikan perlindungan berarti selama dikirim untuk berperang.
Sekali lagi, sungguh itu suatu pertarungan yang tidak adil. Bukankah demikian nyata dalam konstitusi kita bahwa salah satu hak tenaga medis adalah memeroleh perlindungan hukum selama menjalankan profesi mereka (Baca; Pasal 57 UU 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan).
Inilah peran bersama yang harus kita bangun. Sehingga tidak ada lagi yang namanya penggembosan terhadap para relawanan dan pahlawan kemanusiaan, yang ada hanyalah tujuan dan cita bersama menjadi pemenang melawan badai ini selaku anak bangsa. Itulah penghormatan dan pemuliaan yang sesungguhnya dari kita. Untuk kita dan bangsa.
Akhirnya saya ingin mengucapkan selamat jalan para pahlawan kemanusiaan di negeri ini. Innalillalhi wainna ilaihi rojiun, semoga kalian husnul khotimah dan penuh kedamaian di haribaan ibu pertiwi. Terima kasih kami ucapkan. Terima kasih kami haturkan. Terima kasih para pahlawan, untukmu para pejuang kemanusiaan. (*)