Oleh : Zulfiqar Busrah
(Dosen IAIN Parepare)
Sebagai pembuka, saya perlu menggariskan satu disclaimer bahwa tulisan ini tidaklah dimaksudkan sebagai upaya untuk menjatuhkan pihak-pihak tertentu, atau lembaga tertentu, dan tentu sama sekali tidak berlandaskan kebencian. Melainkan ini saya inginkan sebagai refleksi secara personal, dan saya angankan sebagai media reflektif bagi perguruan tinggi, baik sebagai lembaga maupun sebagai kumpulan manusia yang terbentuk dalam anatomi fitrah : jasmaniyah, nafsiyah, dan ruhaniyah. Ia dibekali oleh potensi kebaikan, bersamaan dengan itu juga dihinggapi potensi kengerian di dalamnya.
Meminjam metode peropinian, oleh Pak Akh. Muzakki “membaca gagasan, opini, pikiran, atau bahkan cuitan dan serpihan angan sekalipun tidak bisa dilepaskan dari dimensi zamkaniyah, yaitu dimensi ruang dan waktu”. Saya bersepakat bahwa fakta tidak boleh dipisahkan dari konteks sejarahnya, baik dalam dimensi sosial, politik, dan bahkan kebatinan saat fakta itu terjadi. Agar memotretnya penuh dengan kearifan. Agar memahaminya bisa lebih utuh.
Tentu kabar kriminal mengenai percetakan uang palsu yang tidak lagi ditutup-tutupi menjadi tamparan dahsyat bagi salah satu perguruan tinggi yang begitu tercitra sebagai pusat peradaban.
Saya tidaklah begitu tega untuk menyebut nama lembaganya. Bagaimanapun itu, sejarah tidak dapat dibengkokkan. Secara Genealogi institusi ini adalah mulut rahim dari lembaga tempat kami bekerja. Lembaga kami begitu kuat dalam ikatan batin, tidak hanya karena kami berada dalam rumah yang sama, lebih dari itu kami tumbuh dari generasi ke generasi, saling bergenggaman tangan.
Dan untuk alasan apapun, seorang anak haruslah berlaku bijaksana ketika orang tuanya lagi dirundung kriminalitas. Seorang anak tidaklah patut untuk menghujatnya, namun tidak pula hanya menutup mata, membiarkannya terjadi. Setidaknya ia bisa belajar, dan bijak dalam menjalankan peran-peran kelembagaannya.
Betul!! bagi saya, dan mungkin bagi kita, perguruan tinggi haruslah bercermin semurni-murninya, setelanjang- telanjangnya, menatap jauh ke titik fitrahnya untuk secara terbuka mengakui bahwa banyak perguruan tinggi di antara kita telah jauh tercecer dari pusat edar yang semestinya, yang pasti sedang tidak baik-baik saja.
Bukan tanpa gejala, ia ibarat bermula dari riak-riak kecil, kemudian menjadi gelombang ganas di samudra. Bergerak dari nafsu-nafsu mulhamah, bergeser menjadi nafsu lawwamah, dan berubah menjadi nafsu amarah yang hitam pekat. Kemudian ia tumpah tak terkendali sehingga menjadi sulit untuk memisahkan kepentingan personal atau kepentingan institusional. Pelabelan “oknum”, hanya akan menjadi penghalang untuk melihat masalahnya secara terang benderang.
Riak-riak kecil yang saya maksud dapat saja berwujud oleh adanya pembiaran pada kebiasaan-kebiasan buruk yang ternormalisasi. Semisal pembiaran pada kelalaian dalam menjalankan kewajiban dasar, tridarma perguruan tinggi. Pembiaran pada kesemena-menaan dosen terhadap mahasiswa atas relasi kuasa. Ketiadaan kontrol pimpinan adalah salah satu bentuk nyata dari pembiaran pembiaran yang tidak menjalankan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan menurut hemat saya bukan didokumenkan namun dilaksanakan secara terencana dan sistematis di lapangan.
Saya beropini bahwa jauh sebelum diberlakukannya pelevelan PTN menjadi PTN-BH, PTN-BLU dan PTN-SATKER, hampir semua sumber daya di dalamnya saling membaca lapak, “perang dagang”, satu sama lain saling menganggap sebagai Kompetitor Kapital. Sehingga tidak mengherankan jika praktik jual beli sertifikat hingga jual beli jabatan semakin menggurita.
Dalam banyak kesempatan, saya kadang berkontemplasi kecil, saya mencoba berpikir bahwa PT yang dikenal sebagai
perguruan tinggi, kini menjadi suatu badan hukum untuk menjalankan usaha, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya, sehingga betul bahwa PT beralih singkatan dari Perguruan Tinggi menjadi Perseroan Terbatas. Sejak terseret arus industrialisasi, suka atau tidak, senang atau jengkel harus diakui bahwa para akademisi digoda dan dipaksa untuk berpikir profitable, terjebak dalam mindset untung rugi secara material.
Sehingga hampir pada seluruh praktik praktik perakademian harus latah secara sikap dan mental pada praktik investasi materil tanpa mengikutsertakan investasi moralitas.
Jauh-jauh sebelumnya saya kadang melihat Perguruan Tinggi over confident untuk menglorifikasi perannya sebagai penggagas peradaban, penentu nasib umat, dan berlomba lomba menjadi perguruan tinggi terbaik. Namun apa hendak dikata, pada kenyataannya terjadi sequence kasus yang memiriskan. Baru-baru ini, publik kembali digegerkan oleh kasus pelecehan seksual di salah satu kampus ternama di Makassar yang diklaim sebagai kiblat perguruan tinggi di Indonesia bagian Timur.
Dampaknya ialah mahasiswa mahasiswi tidak lagi dipandang sebagai jumlah wadah batin yang butuh untuk dimurnikan, jumlah pikiran yang butuh untuk dijernihkan, tumpuan dan tumpukan harapan dari keluarga agar menjadi manusia yang lebih baik, malah dihitung sebagai jumlah kepala yang menjadi modal dikali sekian rupiah, sehingga PT menjadi ladang gersang buat manusia, hampa spiritualitas.
Dehumanisasi adalah tabiat-tabiat sederhana dan konsekuensi logis dari yang namanya praktik-praktik komersialisasi dalam pendidikan. Sehingga disiplin, integritas, tanggungjawab, profesional berbalik menjadi tabu, tidak lagi menjadi dasar dalam bersikap. Ia sekadar kenangan menjadi motto budaya kerja belaka. Nilai inovasi yang salah arah.
Perguruan Tinggi harus kembali menegakkan marwahnya sebagai rumah pewarisan nilai, pelestarian akan kearifan melalui pengembangan ilmu, pencerdasan anak manusia, pemurnian batin dan penyemaian karakter-karakter insan kamil, tanpa harus merasa wajib untuk saling mengungguli satu dan yang lainnya.
Jika pendewaan nafsu-nafsu industrial terus berjalan maka ia hanya akan menambah list-list paradoksal perguruan tinggi. Boleh jadi tidak hanya menjadi pusat percetakan uang palsu, namun ia akan menggelinding tak terkendali, membuka kesempatan tumbuh pesatnya praktik-praktik kriminalitas lainnya, pusat produksi narkoba, centra prostitusi dan menjadikan kampus sebagai istana yang aman dan ramah bagi pelaku-pelaku kekerasan seksual.
Di paragraf terakhir tulisan ini, saya ingin menutupnya kembali, dengan sepotong catatan singkat yang sempat termuat dalam story WA beberapa hari yang lalu:
Tak henti hentinya Bumi Ibu Pertiwi ini “dipattolo-toloi” (dibodoh-bodohi, red) secara berjamaah. Banyak hal kejahatan-kejahatan yang sistemik, terstruktur, masif dan berulang. Salah satu masalah mendasar-nya ialah pelaku-pelaku utamanya mayoritas dari kalangan-kalangan terdidik hampir di seluruh sektor dengan caranya masing-masing.
Nalar kritis ditumpulkan, bahkan berbalik jadi apatis dan pragmatis, hasrat individual dan ego-ego industrial didewakan. Kultur-kultur feodal jadi template interaksi hampir di semua lapisan, horizontal ataupun vertikal. Ketika kita coba untuk sedikit jujur pada diri masing-masing, maka apa yang kita sebut sebagai : DEMI MASYARAKAT, DEMI BANGSA, DEMI UMAT hanyalah bualan belaka. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.