MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Pihak keluarga akhirnya bisa bernafas lega setelah polisi berhasil mengungkap pelaku pembunuhan terhadap Feni Ere (28). Pelakunya ialah Achmad Yani alias Amma (35).
Tangisan keluarga Feni tak terbendung setelah pelaku tertangkap, ia tak henti-hentinya memeluk dan berterimakasih kepada seorang perwira polisi yang saat ini menjabat sebagai Panit Resmob Polda Sulsel, yakni Ipda Abdillah Makmur.
Awalnya, kasus tersebut terbilang rumit, tak ada petunjuk. Feni Ere hilang begitu saja. Januari 2024, laporan masuk ke Polres Palopo tetapi tak ada jejak yang bisa diikuti.
Tak ada saksi yang melihat, tak ada tanda-tanda perlawanan, hanya sunyi yang menyelimuti misteri kepergiannya. Di mata banyak orang, ini hanyalah satu dari sekian banyak kasus orang hilang.
Namun bagi Ipda Abdillah Makmur, atau yang akrab disapa Abe, ada sesuatu yang tak wajar. Ada kekosongan yang terlalu rapi, seolah-olah seseorang sengaja menghapus jejak keberadaan Feni. “Perasaanku bilang, ini bukan sekadar orang hilang,” ujarnya, Sabtu (22/5/2025) dikutip dari HeraldSulsel.id.
Penyelidikanpun dimulai, sebanyak 20 personel gabungan dari Resmob Polda Sulsel dan Satreskim Polres Palopo dibentuk.
Lamanya kasus ini tak menemui titik terang, banyak yang bilang, polisi tidak bekerja maksimal, namun fakta mengejutkan muncul.
Mereka menyisir setiap sudut, menelusuri setiap kemungkinan. Tim menemukan titik-titik darah di pintu belakang rumah Feni, juga di sepasang sepatu.
Tapi itu belum mengarah ke kasus pembunuhan. Tak ada tubuh, tak ada petunjuk lain yang bisa membawa mereka lebih jauh. Waktu berjalan, penyelidikan nyaris menemui jalan buntu.
Hingga enam bulan kemudian, sebuah kebetulan kecil mengubah segalanya. Juli 2024, di Bukit Baruga Antang, sebuah mobil tua berlumut ditemukan di garasi rumah kosong.
Saat pintunya dibuka, jantung Abe berdetak lebih cepat. Itu mobil Feni. Di titik ini, ia yakin, ini bukan sekadar kehilangan. Ini adalah kejahatan. “Kami bilang, ini bukan lagi soal hukum, tapi kemanusiaan,” ucapnya.
Tapi mobil itu tak menjawab semua pertanyaan. Jika Feni sudah mati, di mana tubuhnya? Jika ia dibunuh, siapa pelakunya? Tak ada sidik jari, tak ada darah baru.
Hingga Februari 2025, hutan dekat Toraja menyimpan rahasia yang selama ini tersembunyi. Seorang warga, yang tak sengaja mengejar ayam hutan, menemukan sesuatu di balik semak-semak. Tengkorak manusia.
Tim forensik memastikan, itu Feni Ere. Tiba-tiba, potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai membentuk pola. Tapi ada satu hal yang mengejutkan penyelidik, pelaku bukanlah orang dekat.
Di awal penyelidikan, semua dugaan mengarah pada orang-orang yang mengenal Feni. Keluarga, teman, mantan kekasih.
Namun seiring berjalannya waktu, semua nama itu gugur. Justru seseorang yang nyaris tak terlihat yang akhirnya muncul di permukaan.
Ia adalah seorang pria yang aktif di Forum Pencinta Lingkungan (FPL), seseorang yang tak pernah benar-benar ada di lingkaran hidup Feni.
Tapi ada satu hal yang membuatnya mencurigakan, ia pernah mengunjungi lokasi penemuan mayat pada 2022.
Profiling terhadapnya membuka fakta lain yang lebih gelap. Pelaku telah mengawasi Feni selama tiga tahun.
“Setiap postingan Feni di-like oleh pelaku. Ini menunjukkan tingkat obsesinya yang tinggi,” kata Abe.
Bahkan, ia membuat akun-akun palsu untuk mengikuti Feni di media sosial. Diam-diam, ia memantau. Ia mengamati. Ia menunggu.
Saat Abe melihat simpul tali yang mengikat tubuh Feni, ia tahu ini bukan kerja tangan sembarangan.
“Simpulnya rapi, seperti orang yang paham tali-temali,” ucapnya.
Itu menjadi petunjuk penting. Dari sana, tim mulai menelusuri keahlian pelaku, kebiasaannya, latar belakangnya. Jejak yang dulu samar kini semakin terang.
Hasil forensik semakin memperjelas bahwa ini bukan sekadar kasus orang hilang. Darah di pakaian dalam Feni bukan dari keguguran, seperti yang sempat diduga, melainkan dari luka yang dalam di tubuhnya.
“Ini semakin meyakinkan kami bahwa Feni menjadi korban kejahatan,” ujar Abe.
Pelaku berada di rumah Feni selama empat jam. Waktu yang cukup untuk melakukan aksinya, sekaligus menghapus jejaknya.
“Empat jam itu, na ikat baik-baik korban, nabersihkan (darah), dipel, dirapikan tempat tidurnya. Waktu itu nda ada sama sekali orang di rumah kecuali korban,” ungkapnya.
Saat akhirnya kasus ini terpecahkan, AKBP Edy Sabhara menyebutnya sebagai “kado terindah.”
“Kalau ada yang bilang polisi tidak bekerja, mereka salah. Kami bekerja tanpa henti, bahkan ketika semua orang meragukan,” tegas Abe.
Kini, Feni bisa beristirahat dalam damai. Tapi bagi Abe, ini bukan hanya soal menutup kasus. Ini adalah pembuktian bahwa keadilan, meski datang terlambat, tetap akan menemukan jalannya.
Kasus ini bukan sekadar tentang kejahatan atau penyelidikan, melainkan tentang manusia. Tentang bagaimana nyawa seseorang tak boleh hilang tanpa jejak, tanpa pertanggungjawaban.
“Kami bukan hanya mencari pelaku. Kami mencari kebenaran dan keadilan untuk keluarga korban. Tidak ada kejahatan yang sempurna,” katanya.
Keberhasilan ini adalah pengingat bahwa polisi bukan sekadar penegak hukum. Mereka adalah harapan bagi mereka yang kehilangan.
“Kami tidak hanya bekerja untuk menyelesaikan kasus, tapi juga untuk memberikan rasa aman dan keadilan bagi masyarakat,” tutupnya. (*)
Sumber: HeraldSulsel.id