Oleh:
Indah Pratiwi
(Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Makassar)
Penelusuran Indonesian Corruption Watch (ICW) terhadap situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) menenemukan pemerintah pusat menghabiskan dana Rp90,45 miliar untuk belanja jasa influencer. Dana miliaran rupiah itu dimanfaatkan pemerintah pusat mulai dari 2017 hingga 2020 yang didapat dari hasil pengumpulan data oleh ICW yang dilakukan pada 14 hingga 18 Agustus 2020 menggunakan kata kunci media sosial atau social media, influencer, key opinion leader, komunikasi dan Youtube.
Menurut ICW dari total Rp90,45 miliar, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) diketahui merupakan lembaga negara yang terbanyak melakukan belanja jasa influencer. Selanjutnya adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan dengan total belanja Rp1,6 miliar. Diikuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan empat pengadaan senilai Rp10,83 miliar, Kementerian Perhubungan untuk satu pengadaan senilai Rp195,8 juta dan Kementerian Pemuda dan Olahraga dengan satu pengadaan sejumlah Rp150 juta.
Di bulan Juli lalu, Presiden Joko Widodo juga sengaja mengundang beberapa selebriti, seniman, serta musisi Tanah Air ke istana kepresidenan untuk ikut mengampanyekan penerapan protokol kesehatan demi menekan penularan dan penyebaran Covid-19. Memanfaatkan peran seniman dan selebriti dianggap sebuah langkah yang tepat untuk menyosialisasikan hal tersebut, mengingat tokoh publik memiliki penggemar atau pengikut dalam jumlah yang banyak di media sosial.
Konsep Pemimpin Opini di Dunia Digital, istilah pemimpin opini (opinion leader) adalah sebuah konsep dalam kegiatan kehumasan. Konsep pemimpin opini, secara harafiah, ditujukan kepada para pemuka pendapat atau pemimpin opini yang secara formal memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Meminjam dari perspektif sosiologi komunikasi, pemimpin opini digambarkan sebagai tokoh yang punya pengaruh dan juga secara sosial ekonomi berbeda dengan masyarakat lain. Selain itu, mereka memiliki ketertarikan pada isu-isu yang beredar di masyarakat, mereka lebih aktif dan informatif dalam menyampaikan isu-isu penting.
Namun, dengan kehidupan yang dinamis serta perkembangan zaman yang semakin canggih, individu yang menjadi pemimpin opini tidak lagi sekadar orang yang mempunyai pengaruh secara formal di masyarakat, misal ketua RT/RW. Saat ini individu yang menggunakan pendekatan persuasif atau kedekatan emosi mampu memengaruhi orang banyak atau bahkan menggiring opini publik, sebut saja influencer. Influencer tak harus selalu public figure atau artis terkenal, atau seorang ahli tentang produk yang dia promosikan. Dan juga mereka biasanya tak memiliki jutaan followers seperti para artis, tetapi mereka punya tingkat engagement atau keterlibatan yang tinggi dengan para pengikutnya. Tingkat keterlibatan merupakan jumlah like, retweet dan comment yang ada dalam sebuah postingan dibagi dengan jumlah pengikut di akun tersebut.
Influencer atau Pranata Humas?
Namun fenomena influencer ini kemudian membuat fungsi pranata humas dan jubir dipertanyakan. Jika pemerintah menggandeng influencer atau artis untuk mengampanyekan protokol kesehatan, lalu apa tugas humas dan juru bicara?
Kadang masalah muncul dari masyarakat yang kurang memahami apa yang ingin dilakukan oleh organisasi, terlebih lagi dalam masa pandemik sekarang ini menjadi tantangan bagi pemerintah dan badan otoritas terkait. Meskipun pemerintah pusat memiliki humas dan jubir resmi penanganan Covid-19, namun perannya bersifat sentral dan formal. Aspek jarak, ruang, waktu, pengetahuan, emosi, pengalaman serta kondisi sosial budaya dengan beberapa kelompok masyarakat dapat memunculkan ketidaksamaan makna yang dibangun dan diterima sehingga mengarah pada penolakan atau pengabaian informasi. Kita sering melihat bagaimana tujuan yang ingin dicapai sebuah organisasi terhambat karena kurangnya kepercayaan dari masyarakat. Dalam kondisi itu, biasanya masyarakat lebih percaya terhadap informasi dari individu yang lebih dekat atau sudah familiar dengan mereka.
Humas atau jubir yang merupakan perwakilan dari organisasi dan influencer yang memiliki tingkat engagement yang tinggi dengan masyarakat bisa saling mendukung satu sama lain. Jadi dapat dikatakan, keberadaan influencer tidak serta merta menihilkan fungsi humas atau jubir pemerintah. Baik influencer maupun pranata humas tak ada yang saling menggantikan satu sama lain, justru keduanya menjadi pihak yang saling bekerja sama dalam sebuah sistem komunikasi.
Jadi, sah-sah saja jika pemerintah memanfaatkan peran influencer atau public figure sebagai pihak yang mensosialisasikan kebijakan atau suatu program, namun harus diikuti dengan beberapa catatan penting, seperti kejelasan mengapa suatu program atau isu tertentu perlu menggunakan influencer, kelayakan individu yang tepat dijadikan influencer dan tak kalah pentingnya adalah akuntabilitas dan transparansi anggaran jasa influencer. (*)
***
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.