PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Pendapatan perkapita yang tinggi kerap dijadikan ‘jualan’ bagi kepala daerah untuk dicap berhasil dan berprestasi meningkatkan kesejahteraan warga. Namun hal tersebut ternyata tidak bisa dijadikan tokal ukur tingkat kesejahteraan.
Hal tersebut disampaikan pengamat ekonomi Rusmin Nuryadin, Kamis 16/11. Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Umpar itu menjelaskan, pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu daerah. Pendapatan per kapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan daerah dengan jumlah penduduknya.
“Misalnya pendapatan perkapita suatu daerah Rp10 juta perbulan, maka 10 juta itu dibagi rata jumlah penduduk, itulah yang dikatakan pendapatan perkapita,” jelasnya.
“Namun kita harus tau, bahwa banyak perusahaan, seperti perhotelan yang juga menjadi penyumbang besar untuk pendapatan perkapita. Sekarang, apakah masuk akal jika pendapatan pengusaha hotel sama dengan pendapatan penjual sayur?” bebernya.
Sehingga menurutnya pendapatan perkapita, hanya cocok digunakan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, bukan mengukur tingkat kesejahteraan.
Pegiat LSM Cabe Rawit itu menyebutkan, mengukur tingkat pemerataan kesejahteraan masyarakat, yang paling sesuai digunakan adalah Gini Ratio
“Gini ratio adalah instrumen untuk mengukur rasio ketimpangan kesejahteraan masyarakat. Itu berbanding terbalik dengan teori pertumbuhan. Kalau kita mengejar pertumbuhan maka pemerataan pasti tidak didapat. Situasi ekonominya sudah begitu. Karena pertumbuhan hanya bisa diciptakan oleh usaha yang dikuasai oleh sekelompok orang,” urainya.
Sehingga, jika suatu daerah ingin diketahui tingkat kesejahteraan warganya, maka daerah itu mesti membeberkan data gini ratio-nya. Bukan pendapatan per kapitanya. (mul/ris)