Ada 2 (dua) peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan acuan tentang jenis sanksi yang dapat dimuat dalam Perda, yaitu; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UUPPP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UUPD). Pasal 15 UUPPP menyebutkan: “Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah.” Sementara Pasal 238 UUPD menyebutkan: (1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); (3) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau denda selain dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UUPPP, disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sesuai dengan pasal ini, maka status Perda tidak menjadi lebih rendah dari Peraturan yang dikeluarkan pemerintah dalam bentuk Keppres, Permen, dan Kepmen, karena aturan tersebut tidak masuk dalam hierarkis.
“Jadi, hanya Perda yang boleh mencantumkan sanksi di tingkat daerah, dan dengan Perda itu pula, Pemkot Parepare tetap bisa memberikan sanksi kepada pelanggar PPKM ataupun pelanggar protokol kesehatan,” tutur Rusdianto.
Untuk itu, Rusdianto meminta Pemkot Parepare segera melakukan koordinasi dengan DPRD agar merumuskan Peraturan Daerah dengan melibatkan partisipasi publik khususnya para pelaku usaha yang terkena dampak dari adanya PPKM. Dengan semangat kebaikan bersama, Rusdianto percaya, DPRD akan cepat memproses Draft Perda tersebut dan dapat memberikan persetujuan cepat.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 242 UUPD, Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk ditetapkan sebagai Perda. Selanjutnya, Walikota wajib menyampaikan rancangan Perda kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak menerimanya dari pimpinan DPRD. Kemudian, Mendagri memberikan nomor register paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterima. Rancangan Perda yang telah mendapat nomor register ditetapkan oleh Walikota dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan itu disetujui bersama. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ditetapkan, maka rancangan Perda tersebut sah menjadi Perda.
“Jika DPRD sudah menyetujui, tidak dalam waktu satu minggu pembentukan Perda tersebut bisa dilaksanakan, dan saya yakin dalam perbedaan politik apapun, seluruh anggota DPRD juga akan bersepakat mendukung upaya penanganan Covid di Kota Parepare termasuk penyusunan dan penetapan Perda Sanksi selama PPKM. Jika ada warga yang menggugat Perda tersebut, dipastikan akan sulit untuk dikalahkan,” kata Rusdianto.
Tapi jika dasarnya Perwali apalagi Surat Edaran, Rusdianto khawatir, warga yang cukup paham hukum tidak akan taat karena dasar hukum produknya terlalu lemah.
Sekadar informasi, sejak Perwali No 31 Tahun 2020 diberlakukan 24 September 2020 lalu, sejumlah pelanggar protokol kesehatan (Prokes) dikenai sanksi berupa uang denda. Bagi yang tak memakai masker saat keluar rumah, warga akan dikenakan denda Rp50 ribu. Jika tak mampu bayar, maka akan diganti kerja sosial selama 3 (tiga) jam pada tempat yang ditentukan Tim Satgas Covid-19.
Uang denda tersebut selanjutnya dimasukkan ke kas daerah oleh Badan Keuangan Daerah (BKD). (*/alf)