MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Sosialisasi politik di rumah ibadah seperti masjid menuai ragam pro dan kontra, namun beberapa kalangan di Sulsel membolehkan hal tersebut.
Seperti dikemukakan mantan Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Arumahi menilai bahwa tempat ibadah khususnya masjid dapat dijadikan lokasi untuk melakukan sosialisasi politik bagi para partai termasuk para caleg. Laode berdalih, ketentuan terkait sosialisasi politik bagi partai dan calon tidak masuk dalam ketentuan UU pemilu.
Menurutnya UU Pemilu hanya ada ketentuan larangan terhadap pelaksanaan kampanye di tempat-tempat ibadah.
Baginya selain dari pelaksanaan kampanye bagi partai dan calon itu dibolehkan dan sah-sah saja. “Saya bicara aturannya, yang diatur di UU itu larangan kampanye di tempat ibadah, berarti kalau bukan kampanye boleh, begitu logikanya,” ujarnya.
Ia menilai, kampanye itu ada tahapan-tahapannya dan ada ketentuan waktu kampanye dilarang dan diperbolehkan. Maka apabila di luar masa kampanye disebut sosialisasi.
Katanya, diskusi atau perbincangan mengenai memilih pemimpin, ciri-ciri pemimpin itu tidak salah jika dilakukan di masjid.
“Misalnya pengurus masjid memfasilitasi sosialisasi untuk semua parpol ya saya kira juga itu menurut saya tidak ada masalah meskipun silakan diperdebatkan,” bebernya.
Pengamat Politik dari Universitas Hasanuddin Andi Ali Armunanto sependapat dengan Arumahi. Ia menegaskan tidak ada aturan yang melarang berkampanye di masjid apabila telah sesuai dengan tahapan-tahapan yang diatur oleh KPU.
“Jadi di luar itu (tahapan kampanye) dianggap sosialisasi dan dianggap wajar saat ini belum tahapan pemilu jadi ajakan (pilih saya) itu bisa dilakukan,” imbuhnya ketika dihubungi pada, Senin (19/6/2023).
Ali juga mengungkapkan bahwa melihat ke belakang, sejarah perpolitikan tanah air tidak lepas dari caleg-caleg yang menggunakan masjid sebagai lokasi memperkenalkan diri mereka.
“Banyak, utamanya PKS PPP misalnya, caleg-calegnya rata-rata ustaz, mereka memanfaatkan jaringan masjid sebagai salah satu jaringan politik yang mereka bisa kelola,” jelasnya.
Menurutnya rugi apabila caleg tidak menggunakan akses agamanya, apalagi kalau citra mereka cenderung agamis. Tentu basis suara agamis ada di tempat-tempat ibadah seperti masjid.
Dosen Ilmu Politik itu mengamini bahwa ada polemik di masyarakat terkait boleh tidak bolehnya berpolitik di masjid. Sebab, kelompok kontra menganggap bahwa masjid sebagai tempat ibadah yang suci.
Padahal di negara timur tengah seperti Arab Saudi kata Ali sering menggunakan masjid sebagai lokasi untuk bersosialisasi ihwal kebijakan-kebijakan pemerintah.
Bahkan ia juga menduga, Jusuf Kalla yang merupakan Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) punya agenda tersendiri dengan munculnya diskursus boleh tidaknya berpolitik di masjid.
“Apalagi kita tahu juga ketua dewan masjid itu juga Pak JK, dan Pak JK juga sekarang sedang sibuk berpolitik, sehingga kita berasumsi ini juga ada agendanya pak JK, jangan-jangan pak Laode Arumahi juga berafiliasi dengan Pak JK,” tuturnya. (*)
Reporter : Sucipto Al-Muhaimin