OPINI — Semenjak kasus penyebaran virus corona yang memakan korban ribuan orang diberbagai negara berakibat pada penggunaan masker di kalangan masyarakat. Tidak terkecuali di Indonesia, berbagai outlet, toko obat, apotek dan tempat penjual masker seakan diserbu ribuan orang.
Bahkan, nyaris ketersediaan masker mulai langka dan sulit didapatkan secara mudah. Kalaupun ada, harganya sudah melonjak sangat tinggi. Tak heran diberbagai daerah terjadi lonjakan harga yang sangat tajam. Masker adalah kain penutup mulut dan hidung yang sering dipakai oleh kalangan medis di rumah sakit, klinik dan beberapa tempat kesehatan, khususnya oleh dokter, perawat dan tenaga medis yang lain. Namun, sejak adanya peristiwa virus corona ini, orang banyak berburu masker meski sebenarnya peruntukkannya belum tentu dapat mencegah penyebaran virus corona seperti disampaikan para pakar dibeberapa media.
Menurut data survei Metrotv (4/3/20) Januari-Februari, harga masker kategori N95 harga normal 225.000/dus tetapi dipasaran dengan harga jual 150.000/helai atau mencapai Rp3 juta per dus, setiap dus berisi 20 helai. Sementara masker yang sering dipakai kalangan masyarakat biasa disebut masker bedah dengan harga normal 15.000-20.000, dijual dipasaran dengan harga 75.000-450.000/dus. Bahkan di banyak media massa sudah beredar beberapa outlet atau distributor banyak tertangkap operasi pasar karena menimbun masker untuk memperoleh keuntungan yang berlipat.
Kelangkaan masker ini menjadi fenomena tersendiri terkait merebaknya virus corona diberbagai negara, termasuk Indonesia. Orang kebanyakan berbondong-bondong mencari masker sebagai bentuk kepanikan akibat berbagai informasi yang terus berkembang, baik media main stream maupun media sosial. Hilangnya masker-masker ini mestinya diperlukan edukasi yang kontinyu bahwa sejatinya penggunaan masker lebih tepat digunakan bagi mereka yang sedang mengalami sakit, dan bukan mereka yang sehat. Sementara, bagi kalangan orang yang sehat hanya diperlukan kewaspadaan, menjaga pola hidup yang sehat, menjaga kebersihan, cuci tangan dengan sabun, dan perilaku yang mendukung lainnya.
Makna Masker dan Korupsi
Apa hubungan masker dengan korupsi? Coba kita lihat banyak peristiwa yang terkait dengan para tersangka korupsi, atau saat terkena OTT (operasi tangkap tangan), atau bahkan yang sudah menjadi terdakwa di dalam sidang pengadilan. Khususnya pada saat mereka diwawancarai media. Masker selalu saja menghiasi para pelaku korupsi. Coba kita amati, setiap kejadian yang berkaitan dengan hal itu sangat sering sekali pelaku menggunakan masker.
Masker memang berfungsi sebagai alat untuk menutup sebagian kecil atau besar sebuah muka. Masker juga berarti topeng. Nah, orang awam pun pasti akan mengetahui dan bahkan dapat menganalisa bahwa masker bagi pelaku korupsi itu adalah sebuah alat untuk menutupi sebagian wajahnya. Untuk apa?
Sebagai tersangka korupsi sudah pasti akan menjadi sorotan media, baik cetak, elektronik atau online. Wajahnyapun akan menghiasi media-media itu dan masyarakat akan sangat jelas melihat tersangka korupsi tadi. Kalau di halaman media cetak atau online sering menjadi halaman utama atau headline sehingga fotonya akan terpampang cukup besar. Kalau di media elektronik seperti televisi bisa jadi akan sering muncul pada waktu utama, atau waktu-waktu dimana banyak ditonton oleh pemirsa.
Untuk mengurangi rasa malu itulah masker dianggap sebagai “penyelamat” bagi muka pelaku korupsi, setidaknya mengurangi prosentase wajah terlihat oleh publik. Selain itu, adalah dipastikan untuk menutupi rasa malu karena akan banyak disorot media. Itulah kenapa, seseorang yang tersandung korupsi sangat identik dengan masker.
Sebagai pelaku korupsi, masker bisa jadi sebagai “dewa penolong” sementara atas rasa malu. Sebagai contoh, salah seorang pelaku korupsi sedang dalam pemeriksaan KPK biasanya mereka juga akan berpenampilan berbeda. Bahkan tidak hanya memakai masker, tetapi terkadang ada juga yang memakai topi. Hal itu dilakukannya dipastikan agar wajahnya tidak banyak dikenali oleh banyak orang.
Koruptor Dilarang Pakai Masker
Mungkin ide ini menarik untuk disampaikan. Bagaimana mulai sekarang jika ada pelaku korupsi tidak boleh menggunakan masker? Kelihatan simpel hanya sebuah masker. Tetapi, terpenting adalah pelaku korupsi dapat diketahui dengan jelas wajah pelakunya dan tidak perlu lagi ditutup-tutupi dengan masker. Jika masyarakat ingin mengetahui pelaku korupsi, bisa langsung mendapatkan gambar dengan jelas. Bagi si pelaku korupsi, dengan memakai masker mungkin bisa mengurangi malu. Karena merupakan emosipsikologis yang mencerminkan konteks sosial yaitu norma-norma sosial (Kim, 2010).
Secara psikologis dengan menggunakan masker bisa jadi mengurangi depresi akibat ditetapkannya sebagai tersangka atau status-status lainnya yang ada kaitannya dengan korupsi. Tetapi masyarakat akan mengalami hambatan jika ingin mengetahui wajahnya secara detail.
Coba sesekali kita membandingkan berita media massa yang menunjukkan visualisasi gambar seorang tersangka koruptor dan perampok atau jambret. Kalau melihat kasus keduanya sama-sama merupakan tindakan melawan hukum dengan kategori kriminal. Tetapi coba dilihat, visualnya tentu akan sangat berbeda. Kalau pelaku korupsi yang memakai masker masih bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya dibalik masker. Tetapi kalau pelaku jambret/perampok jarang sekali memakai masker, justru hanya bisa tertunduk lesu.
Namun demikian, masker bisa saja diperbolehkan jika memang si pelaku korupsi dalam kondisi sakit atau memiliki pengecualian tertentu yang sangat urgent. Sebaiknya masker-masker itu, tidak diperuntukkan bagi pelaku korupsi, tetapi didistribusikan pada mereka yang sangat membutuhkan. Jumlahnya kalau kita lihat memang kecil, tetapi kalau dikalkulasi pasti menjadi besar. Setidaknya, mengurangi orang berebut masker di pasaran dengan harga yang sangat tinggi.(*)
Penulis : Dr Agus Triyono, MSi
Dosen Universitas Dian Nuswantoro,
Analis Komunikasi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta