PAREPARE, PIJARNEWS.COM — Salat isya dan tarwih di Lapangan Andi Makkasau, yang diprakarsai Pemkot Parepare terus menuai polemik dan kontroversi. Sejumlah dai seperti Ustad Ahmad Fuad Lc, dengan tegas menyatakan hal itu tidak pernah dicontohkan.
Bagaimana dengan ulama lainnya? Berikut petikan tulisan dari Ustad Saiful Jihad, terkait polemik tersebut. Tulisan ini diposting di akun medsos-nya sebagai tanggapan atas permintaan wawancara dari PIJAR.
————————–
Ada beberapa pesan inbox yang masuk ke akun saya, yang meminta tanggapan terkait “polemik” shalat Isya dan shalat tarwih yang dilaksanakan di sebuah lapangan, yang diprakarsai oleh Pemerintah setempat.
Jujur, saya tidak bisa memberi respon memuaskan (karena keterbatasan pengetahuan saya), saya juga memang tidak tahu persis alasan apa yang dijadikan dasar menyelenggarakan shalat di lapangan tersebut. Tetapi saya ingin mencoba memberi gambaran begini:
Shalat yang ada petunjuk pelaksanaannya boleh dilaksanakan di lapangan, adalah shalat idul fithri dan idul adha’, dengan harapan semua umat Islam di daerah (kampung) tersebut dapat hadir untuk mendengarkan khotbah, dan menyemarakkan syi’ar Islam.
Imam Malik berpendapat, bahwa shalat Id baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.
Dengan demikian, menurut pendapat ini, mengerjakan shalat Id di tanah lapang adalah sunnah, kerana dahulu Nabi SAW keluar ke tanah lapang dan meninggalkan masjidnya (Masjid Nabawi yang lebih utama dari masjid lainnya).
Namun demikian, bagi Imam Syai’i, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Beliau bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.
أَنَّهُ إِذَا كاَنَ مَسْجِدُ البَلَدِ وَاسِعاً صَلُّوْا فِيْهِ وَلاَ يَخْرُجُوْنَ…. فَإِذَا حَصَلَ ذَالِكَ فَالمَسْجِدُ أَفْضَلُ
”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama”.
Bahwa Nabi Muhammad Saw., keluar ke lapangan untuk shalat id, karena waktu itu masjid Nabi belum mengalami perluasan seperti sekarang ini.
Dari fatwa Imam As-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukm) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid (termasuk teras dan halaman masjid), maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”. (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283).
========
Penjelasan dan kesimpulan dari Ibnu Hajar ini, menempatkan persoalan bisanya umat Islam untuk kumpul menjadi ‘illat hukum untuk menentukan di mana sebaiknya melaksanakan shalat id.
Dengan memahami illat penentuan tempat pelaksanaan shalat id seperti di atas, maka saya mengajak untuk melihat alasan apa yang dihadirkan untuk membolehkan pelaksanaan shalat isya dan tarwih secara berjama’ah di tempatkan di lapangan.
Memang benar, bumi Allah adalah tempat untuk bersujud, di mana pun boleh kita melaksanakan shalat, sepanjang itu bersih aesuai syarat sah shalat, tetapi yang penting diketahui adalah alasan apa menyelenggarakan shalat fardhu isya dan tarwih di lapangan.
Kalau ada pendapat yang ingin meng-qiyaskan pada pelaksanaan shalat id, (meski saya tidak sepakat meng-qiyaskan pada shalat id), maka pertanyaannya, apakah masjid (termasuk serambi dan halamannya) tidak memuat jamaah yang akan melaksanakan shalat….?
Mungkin alasannya adalah karena ada kegiatan lain yang diharapkan bisa dilakukan di luar masjid, dan tidak pas dilaksanakan di dalan masjid. Alasan ini juga harus jelas, kegiatan apa, dan bukankah di masjid nabi juga bisa menerima tamu, bahkan tamu yang tidak beraga Islam sekalipun….
Tentu lain halnya, jika karena ada sebuah acara, atau kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, lalu masuk waktu shalat, dan khawatir jika meninggalkan tempat dia belum tentu tiba di masjid dan acara mereka bisa bubar, maka dia boleh shalat di mana dia berada. Misalnya kita lihat orang yang lagi melakukan “unjuk rasa”, lalu tiba waktu shalat dhuhur/ashar, maka mereka membentangkang kertas/surat kabar atau yang lainnya lalu shalat di jalan…, mungkin bisa ditolelir. Demikian pula jika lagi melaksanakan acara buka puasa di sebuah gedung atau rumah warga, dan lokasi masjid jauh, maka bolehlah dia melakukan shalat jama’ah maghrib dengan mengambil salah satu lokasi (bisa jalan atau lapangan) di tempat. Jadi illatnya adalah karena tidak bisa ke masjid shalat jama’ah, baik karena pertimbangan waktu, maupun karena jarak.
Hukumnya akan beda, jika memang shalat jama’ah isya dan tarwih direncanakan di satu tempat (di lapangan), untuk mengikuti acara tertentu, karena hukum dasarnya bukan karena tidak bisa sampai ke masjid, atau masjidnya jauh, tetapi memang disengaja karena akan mengikuti acara lain.
Tetapi, apakah orang shalat isya dan tarawih di tempat itu (di lapangan) tidak sah….?
Bagi saya, sah tidaknya shalat, ditentukan oleh terpenuhinya syarat dan rukun shalat. Jika syarat sah dan rukun shalatnya terpenuhi, maka hukum fiqh akan menjelaskan bahwa shalat itu sah…, tentang penerimaan Allah…, biarlah itu menjadi urusan Tuhan dengan masing-masing hamba (نحن نحكم بالظواهر والله يتولى السـرائر).
Tentang kasus yang dipertanyakan itu, bagi saya shalat itu tetap sah, hanya memang akan menimbulkan pro-kontra dalam menyikapinya, apa lagi jika acara yang dijadikan alasan untuk ngumpul shalat tersebut dinilai memiliki muatan lain (muatan yang tidak tampak), pasti menjadi pertanyan sebagian kalangan, karena sepengetahuan saya tidak jauh dari tempat itu ada Masjid Raya yang luas, halamannya juga luas, yang bisa menampung jama’ah yang akan shalat.
Tetapi, saya juga tidak sepakat menyebut shalat mereka tidak sah, dan lebih tidak sepakat lagi, jika dengan alasan perbedaan pendapat ini, satu dengan yang lain saling menyalahkan, lalu pada akhirnya menimbulkan antipati dan kebencian satu dengan yang lain, karena sikap seperti itu justru tidak sesuai dengan misi dan risalah keberagamaan kita.
Kesimpulannya
(1). Akan sangat bijak, jika pihak penyelenggara (Kemenag Parepare), difasilitasi oleh MUI, membuka dialog dengan salah seorang ustadz yang dianggap “menentang” pelaksanaan shalat isya dan tarwih di lapangan. Dialog yang konstruktif, saling mendengarkan alasan, bukan saling mengadili, akan menjadi sesuatu yang bisa menyejukkan umat…, dan sebaliknya jika dibiarkan, maka fitnah, saling menyalahkan, saling tuding antara sesama ustadz, justrubrentan dimanfaatkan kelompok yang memiliki agenda dan kepentingan lain.
(2). Dan kedepan, ika memang ada acara lain yang ingin di lakukan untuk mempertemukan warga dengan pemimpinnya, akan lebih bijak jika pelaksanaannya dilakukan sebelum buka puasa (sambil menanti waktu berbuka), atau setelah diperkirakan selesai shalat Isya dan tarawih di masjid, sekitar tempat itu, biar shalat isya dan tarawihnya lebih khusyu’ di masjid, dan acaranya juga bisa berlangsung dengan baik. (*/ris)