Kata buku bukan lagi hal asing bagi setiap orang utamanya akademisi, bahkan ajaran agama dan petuah para sesepuh, rohaniwan, filsuf dan para pemikir lainnya awet dengan dibukukan. buku dan penulisannya ialah hal mulia-terlebih sejarah penulisannya, sepatutnya pula dimulikan dengan dibaca-dialogkan selanjutnya diimplementasikan.
Dalam torehan sejarah manusia seperti yang disebutka dalam buku “Mencangkul di Yunani, karya Ach Dhofir Zuhry” bahwa pegetahuan mengenai tulis-menulis—yang berawal dari gambar, yang 2000 tahun kemudian dalam tradisi Yunani dikenal dengan istilah “meneomonik”—telah ditemukan dan dlimulai oleh bangsa mesir kuno sejak 4000 tahun SM yang kemudia disusul oleh bangsa babilonia gambar-gambar pada gilirannya mengalami konvensioanalisasi, sehingga kata-kata ditampilkan dalam bentuk ideogram-ideogram sebagaiman dalam tradisi Cina. juga, tokoh yang paling sering kita sebut-sebut dalam filsafat, yaitu Plato (428-347 SM) selain filsuf ia pun adalah seorang penulis (jurnalis) yang telah merekam perdebatan gurunya, Socrates, dengan kaum sophis hingga lahirlah buku: Lakhes, Xarmides, Lysis, Republik, Gorgias, Protagoras dst.
Di Nusantara, salah satu epos sejarah ialah Lontara bugis dan kitab-kitab di suku lain beberapa abad silam dan kemudian masih terus ada hingga sekarang melalui pembukuan. Pun, ketika melacak sejarah perjuangan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah tulisan. Demarkasi klasik dan modern dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah tulisan yang dimulai sejak tahun 1907, meskipun jauh sebelumnya di Batavia sudah ada koran Bataviasenovelles tahun 1744 tapi hanya berisikan info perdagangan, iklan dan cerita bersambung. Hampir semua tokoh terlibat dalam dunia tulisan pasca perang Aceh 1906 seperti, K.H Muhammad Dahlan selain tokoh agama beliu juga penulis, bahkan sebagai pendiri majalah tertua di Indonesia yang terbit pertama kali januari 1915 dan terus berlanjut hingga sekarang “Soeara Muhammadiyah”, Tirto Adi suryo bapak jurnalistik Indonesia yang baru kemudian dinobatkan sebagai pahlawan nasional tahun 2006 namanya dihilangkan dalam sejarah karena dianggap sebagai orang yang berbahaya, Cokroaminoto, Sukarno, Datu Ibrahim Tan Malaka, Karto Suwiryo sampai pada beberapa tokoh-tokoh pemberontak pun menulis dan masih banyak lainnya.
Adalah bahwa, kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari sejarah tulisan, “Mimbar Tulisan” begitu mereka menamainya. Tulisan adalah salah satu bentuk perlawanan. singkatnya, para filsuf, pahlawan,rohaniawan, peniliti, ulama tasawwuf dan fikhi, bahkan kitab suci ummat beragama bisa sampai ke generasi sekarang sebagai pengetahuan adalah dengan pembukuan dan kunci mengetahuinya adalah “MEMBACA”
Selanjutnya bahwa, pengetahuan datang dari arah mana saja di belahan bumi yang suku,budaya dan agama berbeda, olehnya demarkasi pengetahuan adalah sikap membelenggu diri untuk terus berada pada kubangan kebodohan. Tentang pengtahuan—baik–, semestinya demarkasi atas nama suku, budaya, agama apalagi warna ditiadakan. Setiap agama menggunakan warna, tapi warna sendiri tidak memiliki agama, pun kita bukan penganut warna melainkan prinsip yang tertuju pada dua hal (kebenaran dan kebaikan). Olehnya, Jadikan setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Untuk belajar kepada orang lain cukup melihat dua spektrum: ilmu dan akhlak, jika ia berilmu maka belajar kepadanya, jika akhlaknya baik maka tirulah.
Kembali pada buku dan kegiatan yang berkenaan dengannya adalah bahwa hasil riset dari UNESCO 2012 minat baca masyarakat 0,001 % yang artinya 250 juta peduduk Indonesia hanya 25.000 yang minat baca. Berikut pun di tahun 2016 dari World’s Most Literate Nations, Central Connecticut State University (penelitian dilakukan tahun 2013-2014) bahwa literasi Indonesia berada urutan ke-60 dari 61 negara yang diteliti.
diam-diam kita memang telah menghianati para leluhur dengan tidak mengapresiasi, dan melanjutkan perjuangannya, tapi biarlah mari sejenak riset dan segala anggapan para peneliti kita simpan rapat-rapat, dan tidak ada salahnya dihargai sebagai sebuah sejarah yang tidak akan berlangsung lama.sembari kita megumpulkan data bantahan bahwa semua penelitian itu keliru, penelitian itu hanya untuk mempengaruhi kita untuk tetap sebagai inlander, agar kita tidak bangkit dan percaya diri. Karena sangat tidak mungkin berargumen tanpa data, itu bullsheet namanya.
Lalu apa langkah nyata yang bisa kita lakukan ? yaa dengan membaca, utamanya mahasiswa atau pemuda pada umumnya yang memang seharusnya demikian sebagai pelopor utama dan tempaT terbaik untuk pembasisan adalah kampus atau instansi pendidikan secara general. Ada hal menarik yang dikatakan oleh Fatih Abdulbari dalam essainya: kalau boleh saya ibaratkan, kampus adalah sebuah agama, membaca adalah ibadah wajibnya. Mahasiswa yang tidak membaca adalah makhluk yang paling berdosa. Dosa yang kedua adalah tidak berdiskusi. Dosa terakhir yang paling ringan adalah tidak menulis. kalau ini dijadikan fatwa oleh pemuda bangsa dan dipahami serta dijalankankan baik maka riset ala penjajahan itu tidak akan berlaku lagi.
Sekarang, apa untungnya membaca? yang kerap kali terjadi pada kesadaran dengan melihat realitas selalunya lebih dulu dan telah jauh hari dituliskan oleh para pendahulu dalam buku. Artinya, bahwa mengawali dengan membaca buku kemudian mengamati realitas, sedikit tidaknya kepekaan akan mudah dijumpai dibanding langsung ke lapangan tanpa bacaan. Kabar baiknya, anda telah mengefisienkan waktu dengan tidak lambat mengetahui dan juga membuang umur untuk meriset dengan hasil yang sama dengan para pendahulu setidaknya anda memiliki piranti. Kesimpulannya bahwa kepekaan dan cepatnya anda dewasa serta kepiawaiaan menjalani hidup ditunjang oleh seberapa banyak bacaan anda .
Mari kita mulai dan amini.
Bismillah, iqra, baca read.
Salam Literasi.
Burhanuddin Ramli
Pegiat Literasi Indonesia