Pengajian rutin yang digelar di Kampung Kusta Jongaya. Pengajian ini meleburkan warga penyintas kusta dan warga luar. (Foto: Abd Rasak untuk pijarnews.com)
MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Kusta bagi sebagian masyarakat, masih dianggap penyakit kutukan. Mereka terjebak pada persepsi yang dangkal.
Sebagian orang memahami bahwa kusta bisa menular cepat, sehingga tidak jarang orang dengan hambatan kusta dikucilkan dan dijauhi.
Timbulnya diskriminasi terhadap kusta tersebut masih dirasakan. Minimnya informasi mendalam tentang kusta, menjadi salah satu faktor penyebab perubahan tingkah laku di lingkungan sosial terhadap orang dengan hambatan kusta.
Padahal, kusta dapat dicegah sedari dini bahkan bisa disembuhkan. Pemahaman inilah yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat luas. Misalnya, dengan mengadakan edukasi khusus yang membahas kusta secara mendalam. Sehingga mampu membuka wawasan serta meluruskan kesimpangsiuran yang memunculkan stigma negatif.
Harapannya, agar masyarakat lebih memahami dan menanggapi tentang kusta. Dengan demikian, tindakan pengucilan, diskriminasi, bahkan rumor kutukan mampu diminimalkan bahkan bisa dihilangkan dengan adanya penyebarluasan pengetahuan tentang kusta.
Selama tiga hari (14-16 Juni 2019), 18 jurnalis se-Kota Makassar mengikuti Pelatihan Perspektif Kusta dan Disabilitas Bagi Jurnalis. Pelatihan ini digelar Netherlands Leprosy Relief (NLR), sebuah organisasi yang bekerja untuk pencegahan
dan penularan risiko penyakit kusta serta pemberdayaan penyandang disabilitas.
Di hari terakhir pelatihan, peserta diterjunkan langsung di Kampung Kusta Jongaya, Jalan Dangko, Makassar untuk melihat aktivitas sehari-hari penyintas (mantan pasien kusta yang telah sembuh).
Ketua Permata Cabang Makassar, Rahimi menuturkan kehidupan warga Kampung Kusta Jongaya sudah mulai terbuka untuk masyarakat luar dari tempat berdomisili.
Begitupun warga dari luar Kampung Kusta Jongaya yang sudah berinteraksi, melalui pernikahan.
“Sudah banyak orang dari luar yang menikah dengan saudara-saudara kita di Kampung Kusta Jongaya. Ini menandakan stigma masyarakat sudah tidak seperti dulu, begitu dengan warga Kusta Jongaya sudah mulai welcome,” ujar Rahimi.
Menurut Rahimi, dulu stigma negatif warga luar terhadap Perkampungan Kusta Jongaya tinggi. Misalnya warga Perkampungan Kusta Jongaya saat hendak menumpangi transportasi umum (petepete’), tidak ada supir yang mau mengangkut mereka.
“Ada beberapa memang stigma yang pernah kami alami, namun hari ini sudah mulai menurun, sekarang Pete-pete bahkan sudah masuk di wilayah kita yang mencari penumpang,” ujarnya.
Begitu pun dari segi sosial ekonomi sudah mulai membaik. Mantan Ketua Litbang Permata Jongaya, Abd Rahman menegaskan warga penyintas kusta sudah banyak yang diberdayakan oleh Pemerintah Kota Makassar.
“Seperti petugas kebersihan, pertamanan, juru parkir itu sudah banyak diberdayakan oleh Pemkot. Meski pun masih ada warga kita yang bekerja sebagai pengemis,” ujar Rahman.
Selain itu yang perlu perhatian dari Pemkot sambung Rahman, yakni perlu adanya keterlibatan Pemkot memasarkan hasil karya penyintas kusta. Karena tidak sedikit dari karya mereka seperti kerajinan tangan maupun penganan, yang tidak diterima pasar.
“Di sini banyak yang pintar masak, tetapi tidak ada yang mau beli makanan mereka jika ketahuan yang buat penyintas kusta,” katanya.
Sementara dari sisi keagamaan, kata Abd Rahman, menunjukkan peningkatan signifikan. Khususnya yang beragama Islam, digelar pengajian seminggu sekali oleh majelis taklim.
“Pengajian Ini juga bagian dari menurunkan stigma karena sebagian ibu-ibu yang berasal dari luar Kampung Kusta Jongaya mengikuti pengajian dan lebur bersama penyintas kusta,” tutupnya. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna