Foto: Ahmad Arif
MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Lemahnya literasi di Indonesia membuat banyak orang tidak mengetahui Indonesia rawan terhadap gempa dan tsunami.
Padahal, gempa bumi tidak pernah membunuh, tetapi korban terjadi karena struktur bangunan yang buruk atau lokasinya di zona likuifaksi dan longsor. Sekali pun gempa adalah peristiwa alam, menghadapinya merupakan proses kebudayaan.
Demikian diungkap Jurnalis Kompas, Ahmad Arif, saat tampil pada diskusi di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Jl Toddopuli Raya VII, Selasa malam, 9 Juli 2019.
Penulis buku Jurnalisme Bencana-Bencana Jurnalisme itu mengatakan, risiko bencana akan membesar jika pengetahuan/kapasitas
(kesiapsiagaan) untuk mengelola ancaman dan kerentanan, lemah. Sebaliknya, risiko berkurang jika kesiapsiagaan masyarakat, baik.
“Kapasitas itu diperoleh melalui pengetahuan, mitigasi bencana dan latihan,” kata peraih Mochtar Lubis Award 2008.
Apa yang harus dilakukan?
Pria berkacamata ini memberikan sejumlah saran terkhusus kepada awak media yang hadir. Mengingat media memiliki peran vital dalam mengawal literasi bencana di Indonesia.
Sebelum bencana terjadi, jauh-jauh hari perlu dilakukan pendekatan literasi kebencanaan dan fokus pada mitigasi bencana. Lalu, mengingatkan risiko bencana dari multiperspektif; geologi, antropologi, arkeologi, sosiologi, sejarah, dll. Dan, mendorong kesiapsiagaan untuk menghadapi bencana berikutnya.
“Saat bencana, ada sejumlah hal yang bisa dilakukan,” kata Ahmad Arif.
Yakni, melaporkan skala kerusakan secara tepat (jangan mendramatisir), padukan observasi dengan informasi dari sumber resmi.
Wartawan juga perlu memperingatkan tentang potensi bencana susulan ( tsunami setelah gempa besar), mencari angle sisi humanis (misalnya dalam upaya penyelamatan korban), mencari tahu kebutuhan-kebutuhan korban (terkait isu penjarahan, dll) memperhatikan kelompok terentan seperti anak-anak, ibu hamil dan orang tua, empati dengan cara menguatkan korban dan bukan mengeksploitasinya, memverifikasi informasi secara akurat dan menjelaskan mekanisme terjadinya bencana serta risikonya bagi daerah lain.
Ahmad Arif mencontohkan, Jepang jika dilanda tsunami, media di sana tidak menerbitkan pemberitaan yang mengeksplotasi kondisi korban. Judul berita lebih diarahkan ke hal optimistik. Misalnya : Bantuan dari Seluruh Jepang, Listrik Telah Dipulihkan, dll.
Jadi, diharapkan dengan membaca berita tersebut, mental masyarakat segera pulih dari keterpurukan. (*)
Penulis dan Editor: Dian Muhtadiah Hamna