OPINI, PIJARNEWS.COM — Tulisan ini cukup panjang. Saya sarankan tidak memberi “tanda suka atau sejenisnya”, sebelum selesai dibaca. Tulisan ini berkaitan dengan perjalanan kemarin. Mengenai penyediaan perpustakaan anak di Mandianging, Desa Letta, Kecamatan Lembang-Pinrang. Silakan dibaca!
Anak-Anak Atas Langit
Tanggal 9 Februari 2019 pagi, hujan kembali mengguyur Parepare. Seperti biasanya, saya telat bangun, padahal sudah janji dengan Ji si marhaen, malam sebelumnya.
Saya buka gawai, sudah ada panggilan dua kali dari Ji. Pertama lewat seperempat jam lima, dan jam enam (waktu janjian malam sebelumnya).
Saya buru-buru berkabar, menelpon balik, “hujan, kita tunggu reda dulu!” Dalih akibat lalai menunaikan janji yang diamini oleh alam.
“Ohiyah Pak, eh Kak.” Samar-samar terdengar. Saya matikan.
Ji datang dengan motor matik dan tenda yang saya pesan semalam. Iya lekas mematikan mesin motornya, lalu masuk ke beranda rumah. Dia membuka helm, kemudian diserahkan ke saya. “Sa nda bisa ikut Pak.”
Hujan tak juga reda. Akhirnya saya mengambil keputusan: beli jas hujan lalu berangkat.
“Buset.” Saya mengumpat. Jas hujan sejenis kantong plastik tipis dijual mahal. “Kamu butuh, sekarang hujan, mau bagaimana lagi, zbxnhxndnxv!” Lagi-lagi saya mengumpat.
Saya tiba di jembatan La Sape, sekitar jam sepuluh lewat. Saya singgah dan menghubungi Rian S Ayyubi–pelapak baca dari komunitas Bumi Manusia–orang kedua yang saya temani janjian.
Setelah Rian, saya menghubungi Ato Rachmat Saleh, akuntan paruh waktu. Ternyata, dia masih di kota Pinrang, terhalang hujan bersama Kak Sahrir, illustrator program Bintang dari komunitas Sahabat Kita.
Saya dan Rian berangkat lebih awal, mereka menyusul. Sejauh pengetahuan kami, ada dua akses untuk sampai ke Letta. Pertama, lewat Bungi; dan akses melalui Bakaru. Kami pilih yang kedua, sebab Rian pernah sampai ke pembangkit listrik Bakaru. Alasan lain, jalannya cukup bagus, walaupun memakan waktu tempuh yang lama.
Benar saja, jalannya cukup bagus. Beton. Lumayan menanjak. Kami tiba di pembangkit Bakaru, kira-kira jam 12. Tampak waduk di hadapan kami. Airnya keruh dan tenang, tidak cukup banyak, bahkan dam nyaris tertutup rapat. Dari sini sinyal mulai menghilang.
Rian turun dari motornya, bertanya di pos sekuriti. “Jalan ke Mandianging lewat mana?”
“Mandianging?” Petugas itu bingung.
“Desa Letta.” Saya memotong.
“Oh Desa Letta, ke sana ki, sekitar delapan kilo lagi, dapat bundaran belok kanan!” Ucapnya sambil menunjuk.
SELANJUTNYA..