Setelah melewati kantor pembangkit utama, tidak ada jalan lain lagi, hanya kendaraan roda dua yang bisa lewat. Di sini kendaraan mesti dipacu. Ini medan bagi motor bebek manual, atau motor cross, pasti enteng. “Untung Ji ndak jadi ikut.”
Ada dua sekolah dasar sebelum tiba ke Mandianging. Lewat dari sekolah pertama, jalan semakin terjal. Ruas jalan tidak lagi berandang. Acak dan banyak. Kami mesti bertanya, lebih tepatnya Rian yang bertanya, dia tahu dan paham bahasa Pattinjo.
Benar saja, kami nyasar, lewat dari ruas simpang jalan ke Mandianging. Hampir saja kami tembus ke kampung Mualaf, kampung yang sedang ramai dibincangkan di media sosial akhir-akhir ini.
Kami kembali, dan menemukan jalan sempit setapak di samping halaman rumah warga. Apa ini jalannya? Saya ragu. Bertanya adalah jalan keluar. Ini tugas Rian.
Jalan sempit itu melewati tiga rumah warga yang saling berhimpitan. Lubang dan kubangan di jalan. Kendaraan kami melambat. Lepas dari kampung tadi, yang nampak hanya sabana luas. Hijau menghampar. Tidak ada lagi rumah penduduk. Tak jelas juga apa ada kampung di depan. Kami tetap lalui jalan setapak, melewati beberapa jembatan yang diatapi seng dan balok. Unik saja, jembatan berbentuk “rumah panggung”.
Kami akhirnya yakin kalau di depan ada perkampungan, setelah berpapasan dengan pedagang ikan keliling.
“Acara mahasiswa itu yah? Di depan lagi, sekitar dua kilo lagi. Sebenarnya dekat cuma jalan yang tidak bagus.” Bapak penjual ikan itu ramah, dengan aksen “e” yang kental.
Orang-orang begitu ramah, tidak mengherankan sebenarnya, sebab ini di Desa. Semua orang yang ditemui di jalan biasanya bertanya, “mau ke mana?”. Mereka pasti tahu orang-orang Kota ini baru kemari.
Melewati dua jembatan gantung “goyang” dan sekolah dasar kedua, membuat kami semakin dekat ke tujuan. Sebelum Mandianging, kami memasuki sebuah kampung, namanya Balaban. Di sana sudah ada satu posko mahasiswa/pelajar dari Letta (Ipmal). Kami hanya ingin mampir sejenak, sekadar memberitahukan kami sudah tiba. Burhan, mahasiswa Ipmal yang mengajak saya beberapa bulan lalu, ternyata sudah ada di sana.
Ajakan makan dan ngopi tidak bisa kami tolak. Saya dan Rian bercerita mengenai petualangan kami sampai ke Balaban.
Mandianging di atas lagi. Ini berarti kami mesti menanjak lagi, dan ini medan yang paling terjal dari semua medan yang telah kami lalui. Kami naik berempat, diantar oleh dua mahasiswa Ipmal, Burhan dan satu orang temannya.
Kami melalui tanjakan itu dengan susah payah. Beberapa kali saya harus turun dari motor, membiarkan kendaraan saya tanpa tumpangan, menyisakan jerigen bahan bakar.
Kami tiba di posko terakhir, posko Mandianging, sebelum azan waktu asar berkumandang. Sekolah dasar (tujuan akhir) telah kami lalui. Sekolah itu merupakan sekolah dasar terakhir yang ada di sekitaran kampung itu, SD 152. Tidak ada papan nama, yang ada bangunan semata, memanjang dengan satu tingkat. Ada dua bangunan, terpisah, dan halaman yang luas. Halaman itu berisi dua lapangan voli dan tiang bendera. Halaman inilah yang menjadi taman bermain dan berkumpul para warga pada sore hari.
Di posko terakhir kami bertemu dengan Ketua Ipmal. Dia tampak senang, melihat saya dan Rian yang akhirnya tiba di Mandianging. Buru-buru ia mengajak kami masuk, mempersilakan kami makan dulu. Tapi kami menolak, “tadi sudah di bawah, nantilah.” Sebenarnya saya dan Rian sudah tidak sabar ingin melihat lokasi perpustakaan. Cuma tertahan, karena kopi sudah dituang ke gelas. Kami ngopi kembali. “Yasudah”, saya membatin. Saya keluarkan kertas origami dari dalam tas. Menawarkan ke beberapa orang yang ada di dalam rumah. Seorang mahasiswi menghampiri kami di ruang tamu, “sini saya coba!”
Lepas asar kami ke sekolah. Seorang mahasiswa Ipmal yang juga warga kampung Mandianging menunjukkan kami ruangan sekolah yang tak terpakai lagi.
Sebenarnya ada dua opsi tempat penyediaan buku bacaan. Pertama di rumah warga yang juga mengelola sebuah PAUD, dan terakhir di sekolah ini. Keduanya sudah dapat lampu hijau. Cuma, kendala di tempat pertama, karena tidak adanya ruangan yang siap. Jika tidak ada yang siap, maka kami tentu akan membuat bangunannya, dan itu butuh waktu dan biaya yang banyak. Kami memilih yang kedua, lebih efisien, ada ruangan yang sisa direnovasi saja.
SELANJUTNYA..