Renovasi dimulai sejak kami tiba di sekolah. Melihat-lihat kondisi ruangan. Memikirkan akan seperti apa jadinya. Berembuk mengeluarkan ide masing-masing. Tidak lama. Eksekusi ruang perpustakaan dimulai.
Beberapa tim kerja dari Mahasiswa Ipmal sudah siap dengan alat kerjanya. Ada yang mulai memotong dan membelah bambu. Mengangkut sisa-sisa barang yang ada di dalam, termasuk batu-batu dan pasir yang bercampur sampah plastik ke luar ruangan.
Beberapa murid sekolah juga ikut membantu, mereka sangat bersemangat. Disuruh apa saja murid-murid itu langsung bergerak. Salah satunya mengumpulkan kulit kemiri yang sudah terbuang. Kulit kemiri itu digunakan untuk menambal lubang besar yang ada di lantai sekaligus menjadi landasan pijak bagi pengunjung kelak.
Belum berapa lama kami bekerja, Ato dan Kak Sahril tiba. Saya tentu senang. Akhirnya tugas rancangan perpustakaan bisa teralihkan. Kak Syahril cukup pengalaman membuat desain interior perpustakaan, di program Bintang ia “tulang punggungnya”.
Kerja kami lanjutkan. Mereka berdua diminta ke posko dulu. Beberapa papan kami cabut, lalu dialihfungsikan. Kami mencoba konsep semi terbuka, biar hawa dingin Mandianging bisa masuk ke dalam. Buku-buku juga akan terlihat dari luar, tidak terpenjara. Kami memanfaatkan bambu warga yang telah diminta dahulu.
Kami rehat sebelum kumandang maghrib. Saya, Rian, Burhan dan seorang lagi temannya berselonjor di halaman sekolah, menyaksikan warga dan beberapa mahasiswa Ipmal yang bermain voli. Ada dua lapangan voli. Lapangan khusus putra dan putri. Satu lagi lapangan futsal, di sini anak-anak laki-laki memainkan kulit bundar.
Kami berbincang-bincang. Rokok sudah keluar. Ditawarkan. Saya ambil satu batang, kretek, lalu saya sulut. Kami membincangkan soal sekolah ini. “Disini lebih sering honorer yang mengisi jadwal ngajar ketimbang PNS Guru yang sudah jelas gajinya.” Ucap Burhan membuka percakapan. “Di sini yang PNS cuma kepala sekolahnya saja.” Teman Burhan ikut menimpali.
Kondisi sekolah yang ada di sini tidak beda jauh dengan yang ada di Balaban. Persoalannya sama: kekurangan pengajar, ruang kelas yang kurang memadai, dan kurangnya buku bacaan anak.
Mereka, mahasiswa-mahasiswi asal Desa Letta, mesti bekerja keras jika ingin mengawal isu pendidikan ini ke kota Pinrang. Tahun lalu, mereka dihadapkan pada dua persoalan, masalah energi dan pendidikan. Mereka lebih memilih mengawal isu energi, demonstrasi di kantor cabang yang ada di kota. Para demonstran mengusulkan agar listrik bisa sampai ke kampung ini. Jarak pembangkit listrik Bakaru, penyuplai penuh energi di Sulawesi Selatan (Sulsel), hanya berjarak berapa kilometer saja. Bahkan dari atas gunung kita bisa lihat pipa jingga yang melintang membelah pegunungan. Dari situlah air mengalir, membuat kincir beroperasi menghasilkan energi listrik se-Sulsel.
Usaha mereka cukup berhasil, tiang penyuplai energi sudah berdiri di salah satu kampung. Kata Burhan, janji negara, akan terealisasi tahun depan. Kampung ini akan menyala lebih terang, tidak lagi mengandalkan genset atau pembangkit tenaga air yang dibuat swadaya oleh masyarakat setempat. Pembangkit swadaya itu kadang mandek, penyebabnya bisa karena sampah daun.
Malam hari setelah magrib usai ditunaikan, Kak Syahril mengajak kami mengecat dinding dalam ruang perpustakaan. Tidak tunggu lama, kami langsung bergerak.
Cuaca semakin dingin, menusuk. Malam semakin gelap. Segala penerangan dibawa serta ke sekolah. Penegasan: tidak ada penerangan di sekolah. Hanya satu dua rumah yang rumahnya diterangi cahaya. Itupun dibantu oleh genset.
Setiba di perpustakaan, kami mulai mengaduk dan mencampur cat dengan air. Kami memulai melakukan pengecatan dasar, warna putih. Setelah warna dasar diselesaikan, Kak Syahril mulai beraksi, melukis di dinding yang sudah mengering. Pengecatan dilakukan hingga tengah malam. Beberapa kali mahasiswa Ipmal datang mengabarkan, makanan sudah siap santap. “Tanggung, selesaikan ini dulu!” Ucap Kak Sahril. “Iya, saya juga mesti balik besok pagi jam delapan, kawan. Jadi ini harus selesai malam ini.” Timpal Ato. Kami pun ikut.
Kami santap malam lewat tengah malam. Nasi putih mulai dingin, sayur dan juga ikan. Cuaca betul-betul dingin. Hanya air putih di cerek yang hangat, sepertinya baru dipanaskan. “Inimi air es-nya orang sini.” Celetuk Kak Sahril. Kami makan dengan lahap dan penerangan seadanya dari senter gawai. Selepas makan, lagi-lagi, secerek kopi sudah siap di atas meja. Saya mulai kalah, ngantuk berat, dan mulai menyandarkan punggung. Tak sempat lagi menikmati kopi itu.
Minggu pagi, Kak Syahril sudah duduk di ruang tamu. Ato masih tidur. Saya bangun kemudian, kopi sudah sedia di atas meja, ditambah kambeng (pisang yang dikoyak lalu dicampur dengan tepung beras dan digoreng dengan minyak panas). Kak Syahril mulai membangunkan Ato, bersiap balik ke kota Pinrang. Sebelumnya kami sarapan dulu, sudah disiapkan tuan rumah. Jam sembilan lewat, mereka tinggalkan Mandianging.
Saya, Rian dan Burhan berencana menyelesaikan hiasan bagian atas ruang perpustakaan. Kertas origami yang sudah berbentuk dibawa ke sekolah. Para siswa antusias melihat ada ruangan baru yang berwarna-warni di samping kelas mereka.
Murid-murid yang sedari pagi sudah di sekolah ikut kegiatan tambahan dari Mahasiswa Ipmal, lagi-lagi ingin melibatkan diri menghias bagian atas perpustakaan. Usai Para siswa menghias sendiri ruang perpustakaannya, buku-buku donasi mereka bawa masuk, lalu mereka susun sedemikian rupa.
Selepas menghias bagian atas ruang perpustakaan, saya dan Rian bersiap untuk pulang. Teman-teman Ipmal yang lain masih di Balaban. Ada kerja bakti.
Kami pulang melalui akses Bungi. Kami tidak lewat Bakaru lagi. Di jalur ini pemandangan begitu indah. Gunung-gunung yang berkabut, air terjun, dan sungai, begitu akrab di pelupuk kami. Kalian harus ke sini!
Mandianging, 9-10 Februari 2019.
Penulis: S. Purwanda, Tetua Sampan Books
__________
Masyarakat sangat berterimakasih atas donasi buku bacaan anak, iqra, dan Qur’an.