ESAI,- Sulit membangun peradaban tanpa budaya tulis dan baca. Seperti itulah ungkapan penyair migran Inggris, T.S. Eliot.
Ada tiga komponen yang paling signifikan dalam memajukan peradaban. Signifikansi itu hadir dalam sistem perbukuan. Signifikansi ini erat kaitannya dengan membangun kultur komune di sekitaran kita. Tiga komponen itu ialah aktivitas kelompok membaca, menulis, dan menerbitkan. Ketiga kelompok ini saling koheren.
Dalam beberapa literatur sejarah, kita bisa menemukan kultur komune itu dibangun, dirawat, dan diupayakan terus tumbuh dan berkembang demi menjaga kelangsungan peradaban.
Kultur komune ‘membaca’ (paling) bisa ditemukan dalam klub-klub buku. Salah satu klub buku masyhur dalam sejarah yang bisa kita telusuri keberadaanya ialah Klub Buku James Joyce di Zurich, Switzerland. Di klub buku itu, ada sebuah buku yang terus diulas tiap pekannya—secara reguler—berjudul Ulysses, karya Joyce. Ada 20-an anggota klub yang kesemuanya sudah memasuki usia senja. Mereka menamakan diri Joycean—istilah untuk menyebut pengikut James Joyce—yang betah duduk selama 1,5 jam mendengarkan buku setebal 600 halaman itu dibacakan secara bertahap.
Tahun 2017, di Parepare dibentuk klub buku, namanya Kelab Buku Parepare—dulunya bernama Kelab Buku Educafe A/24 untuk merujuk tempat pertemuannya di Gud Mud Educafe Blok A/24 Perumnas Wekke’e Parepare. Klub ini dibuat untuk mempertemukan pembaca dengan pembaca. Tujuan praktisnya, lebih pada aktivitas “bersenang-senang” saja, itulah sebabnya menggunakan istilah ‘kelab’. Beberapa tema buku yang pernah dibincangkan dalam klub ini, di antaranya seputar buku sastra, pendidikan, dan sains.
Memasuki tahun 2019 klub buku ini belum lagi aktif. Tapi hal ini ditutupi oleh diskusi buku oleh komune lain, semisal kegiatan Dik Manis (Diskusi Malam Kamis) yang dikelola oleh Pustaka Kaki Lima.
Klub buku dijadikan sebagai ajang pertemuan bagi para pembaca, dan isi pertemuan itu dikemas dengan hiburan dan percakapan seputar isi buku. Klub buku merupakan sarana lain mengintimasi buku, selain di perpustakaan dan toko buku.
Setali tiga uang dengan kultur pertama, aktivitas menulis, juga bisa ditemukan dalam sebuah komune. Yang membedakan dengan kultur pertama, mungkin ialah jumlah komune dan orang yang bergiat dalam komune. Orang-orang giat berkumpul dengan tujuan bisa menulis!?
Memang tidak ada data yang bisa memberikan jumlah akurat terkait berapa komunitas kepenulisan yang dimiliki republik ini. Hal ini hanya bisa direka-reka saja dengan melihat antusiasme orang-orang dalam mengikuti seminar kepenulisan atau pelatihan kepenulisan. Mungkin benar prinsip umum ini, penulis adalah orang yang menulis. Namun, mungkin lupa bagaimana menulis yang baik, seperti kata Gabriel Garcia Marquez: “tugas seorang penulis adalah menulis yang baik.”
Untuk di Parepare—tercatat dalam narasi media sosial seperti Facebook—merekam aktivitas beberapa komune, di antaranya ada Komunitas Parepare Menulis, Forum Lingkar Pena Parepare, Agupena Parepare, dan Orazine. Khusus Parepare menulis, sejauh yang diterangkan dalam aktifitasnya di Facebook, komunitas menulis ini telah melahirkan dua karya bersama, sebuah buku puisi dan cerpen.
Kultur ketiga, penerbitan, hal yang tidak kalah signifikan dibanding kedua uraian sebelumnya. Untuk penerbitan di Parepare, lembaga yang hadir mengisi posisi ini adalah penerbit Sampan. Penerbit ini sudah menerbitkan tidak kurang dari 10 karya, mulai dari buku cerpen, puisi, sejarah, dan pendidikan. Sejauh ini di Sampan, belum pernah ada satu buku yang oplahnya di atas angka 500 eksemplar. Angka oplah tertinggi berada di angka 360 eksemplar untuk buku puisi “dua sampul wajah” yang segera diluncurkan awal bulan Juni 2019. Buku yang berjudul Syair Sihir Penyair Penyihir; Rinai Hujan & Binar Bintang ini ditulis oleh Ballodi Lawwing.
Tiga komponen ini beberapa kultur komunenya masih ada yang aktif, dan selebihnya ada yang tidak diketahui bagaimana nasibnya. Sinergitas kultur komune ketiga komponen ini signifikan dalam memajukan sistem perbukuan di Parepare.
Sistem perbukuan mesti tetap dihidupkan, dengan melahirkan para pembaca, kemudian pembaca yang mulai menjadi penulis, yang lalu melahirkan karya berupa buku.
Karyanya masuk ke perpustakaan dan toko-toko buku serta ke pegiat pengedar bacaan, menemui pembaca baru, menciptakan penulis, dan melahirkan karya. Begitu seterusnya, hingga pengetahuan itu tetap menjadi sebuah pegangan kesadaran manusia dalam merawat peradaban dunia ini.
Selamat Hari Perbukuan Nasional.
Penulis: S. Purwanda