OPINI, PIJARNEWS.COM — Pada tanggal 24 Mei 2017, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bersama-sama dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, meneken Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (UU Sisbuk). Bisa dikatakan regulasi yang diteken itu lumayan eminen untuk Bangsa ini, sebab dibuat dengan tujuan dasar untuk membangun peradaban bangsa dan peningkatan budaya literasi masyarakat Indonesia (lihat konsideran menimbang UU Sisbuk).
Hampir dua tahun berselang—sejak diterbitkannya UU Sisbuk di tahun 2017—namun manfaatnya belum belum bisa dirasakan oleh masyarakat. Bahkan, ‘peraturan pelaksanaannya’ saja belum bisa dibaca—untuk tidak menyebutnya belum rampung.
Jika kita melakukan penelusuran di Google, dengan menulis: “Peraturan Pelaksanaan Sistem Perbukuan”, maka hasil penelusuran yang bisa ditemukan adalah: “mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pelaksanaan”. Beda halnya di laman Sekretariat Kabinet, setkab.go.id, ditemukan ada satu peraturan pelaksanaan yang pernah terbit di tahun 2018. Namun, itu hanya perubahan regulasi saja, bukan hal yang substansial (inti dari UU Sisbuk). Jadi pasca terbitnya UU Sistem Perbukuan dan UU Pemajuan Kebudayaan di tahun 2017, Presiden mengeluarkan Perpres No. 101 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Perpres No. 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Memang, pemerintah diberikan waktu paling lama dua tahun oleh UU untuk membuat peraturan pelaksanaan, terhitung sejak UU Sisbuk mulai diberlakukan (lihat Pasal 70). Di Pasal 70 memberikan frasa ‘paling lama’, berarti ada batas waktu yang telah ditentukan oleh UU Sisbuk. Jika menghitung dua tahun sejak diundangkannya UU Sisbuk (2017), berarti per-24 Mei 2019 resmi dua tahun, pas. Kalau dirinci lagi—dari tanggal artikel ini selesai dibuat—terhitung 14 Februari 2019 ke 24 Mei 2019, berarti tepat 99 hari lagi. Tentunya, pemerintah sudah mulai menghitung mundur dari sekarang, 99, 98, 97… .
Menurut Purnomo Sucipto (2015), yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan adalah aturan yang dibuat oleh eksekutif (pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan undang-undang. Berbeda dengan pembuatan undang-undang, peraturan pelaksanaan dibuat dengan tidak melibatkan lembaga legislatif (DPR). Peraturan pelaksanaan di sini bisa berupa: Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Menteri (Permen), dan Peraturan Kepala Lembaga.
Apakah UU bisa dibatalkan apabila peraturan pelaksanaannya tak kunjung terbit? Pada dasarnya hal tersebut tidak bisa membatalkan UU. Namun, perintah konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 5 ayat (2) telah mengamanatkan: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”. Jadi, urusan ini mengikat secara langsung terhadap kewenangan Presiden sebagai kepala negara yang bertanggungjawab terhadap masyarakatnya.
Dalam UU Sisbuk ditemukan ada 25 kali perintah UU agar membuat peraturan pelaksanaan, dengan rincian: 15 PP, 6 Permen, 2 Perda Provinsi, dan 2 Perda Kabupaten/Kota. Ada beberapa konsekuensi yang bisa timbul di masyarakat, apabila peraturan pelaksanaan tidak diterbitkan oleh Pemerintah. Konsekuensi itu akan berhubungan dengan isi muatan UU Sisbuk yang berdampak langsung terhadap “iklim” perbukuan di Indonesia.
Pasal 6 UU Sisbuk mengenai “jenis buku” yang terdiri dari buku pendidikan dan buku umum misalnya, jika tidak ada PP mengenai jenis buku pendidikan dan buku umum, maka jadinya akan rancu dan kesulitan membedakan mana buku pendidikan dan mana buku umum. Kemudian, siapakah atau lembaga apakah yang nantinya menetapkan kriteria terhadap jenis buku, dan bagaimanakah mekanisme penentuan jenis buku tersebut. Ini tentu akan menyulitkan bagi guru atau siswa di sekolah.
Mengenai Pasal 69 UU Sisbuk. Di pasal ini, kata “pengawasan” mestinya diperjelas lagi dengan menerbitkan PP. Sebab tanpa definisi yang jelas, memungkinkan terjadi bias makna. Orang-orang bisa menafsirkan apa saja mengenai arti dari kata pengawasan. Begitu juga dengan cakupan pengawasan yang diserahkan kepada lembaga tertentu, semisal Kejaksaan. Mesti ada pengawasan terlebih dahulu oleh Dewan Buku atau Komite Buku yang ditunjuk oleh Kemendikbud tanpa perlu ada pelibatan awal dari Kejaksaan atau bahkan dari pihak TNI-Polri misalnya. Apabila ditemukan ada unsur pidana dalam buku, maka barulah hal ini diserahkan kepada Kejaksaan. Kemudian PP juga nantinya mengatur mengenai mekanisme pengawasan terhadap buku-buku. Mesti diperjelas, jangan asal main sita.
Kebutuhan akan buku teks pelajaran (elektronik) juga sangat mendesak bagi masyarakat, khususnya para siswa di sekolah. Pasal 59 (1) dan (2) UU Sisbuk menerangkan, mengenai “buku teks utama” dapat dikonversi ke dalam bentuk buku elektronik dan dapat diunduh secara gratis dan digandakan”. Namun, ketentuan ini hanya akan mulai bisa berlaku dan dimanfaatkan oleh para siswa jika Peraturan Menteri-nya sudah ada atau telah diterbitkan.
Tidak hanya peraturan pelaksanaan di pusat, di daerah dan kabupaten/kota juga demikian (lihat Pasal 38, 39, 40, dan 41 UU Sisbuk). Perda menjadi dasar peraturan pelaksanaan di daerah, nyatanya belum mampu menopang dan menjamin sistem perbukuan yang adil dan merata. Mengenai pendistribusian buku bacaan misalnya, masih banyak sekolah yang kekurangan buku-buku bacaan yang bermutu, bahkan untuk gedung perpustakaan kadang sekolah tidak memilikinya. Satu contoh bisa saya berikan, di SDN 125 Dusun Mandiangin-Letta, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, tidak ada bangunan perpustakaan di sana. Nanti setelah ada inisiasi warga, beberapa orang donatur dan mahasiswa yang berasal dari desa tersebut, barulah kemudian perpustakaan dan buku-buku bacaan bisa menjamah anak-anak yang ada di dusun tersebut.
Nasib sama dengan inisiatif kabupaten/kota untuk memfasilitasi tumbuhnya toko buku di wilayah pemerintahannya, bisa dikatakan: nihil. Di Kota Parepare, Sulawesi Selatan, inisiasi pemerintah menghadirkan/menumbuhkan toko buku, tidak nampak ada upaya sama sekali. Beda halnya dengan yang ada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Kebijakan Pemerintah Daerah setempat untuk menghadirkan toko buku telah terealisasi di awal tahun ini, dengan menghadirkan toko buku besar kenamaan (lihat tribunnews.com). Bukan hanya itu, bahkan kebijakan bupati “setor buku di Kotak Pustaka” dilakukan berkala oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bulukumba (lihat Sindonews.com).
Hal paling fatal yang bisa menghalangi kelangsungan peradaban bangsa dan peningkatan budaya literasi masyarakat, apabila peraturan pelaksanaan UU Sisbuk mandek di pusat dan daerah. Adalah nasib sial menjadi UU namun semata hanya berfungsi sebagai “pajangan” saja; tersimpan kaku di lembaran negara. Ibarat bunga, ia layu sebelum berkembang.
Penulis: S. Purwanda