Privatisasi, Sumber Korupsi
Kebijakan privatisasi mulai diadopsi oleh negara-negara berkembang setelah didorong oleh dua lembaga keuangan raksasa internasional, yaitu Bank Dunia dan IMF. Bank Dunia menjalankan program penyesuaian struktural dan menyediakan pinjaman khusus untuk proyek-proyek privatisasi lewat asistensi teknis dan finansial.
Sedangkan IMF menerapkan Instrumental Letter of Intent (LoI) dan menggalakkan pendanaan program pengurangan kemiskinan dan fasilitas pertumbuhan di negara-negara berkembang sejak tahun 1980-an.
Dua lembaga keuangan yang juga merupakan badan khusus PBB ini menekankan dan mensyaratkan kepada negara-negara berkembang untuk membangun liberalisasi perdagangan dan keuangan, mendorong pengurangan defisit anggaran dan memperbaiki pemerintah dalam membayar hutang.
Bagi negara yang terlilit krisis keuangan, tidak ada jalan keluar kecuali berhutang kepada IMF dan Bank Dunia. Dimana keduanya mensyaratkan adanya privatisasi sebagai salah satu mekanisme kebijakan yang harus diambil demi penyelamatan krisis. Privatisasi adalah pengalihan aset-aset pemerintah kepada swasta dan pemindahan kepemilikan umum kepada individu maupun korporasi.
Supaya terlihat legal sesuai dengan UU yang berlaku, maka proses privatisasi ini memerlukan lisensi dan izin dari pemerintah setempat. Lisensi diperlukan bagi perusahaan untuk memperjelas kepemilikan maupun hak pengelolaan tanah negara. Semua kegiatan yang berlangsung di kawasan hutan atau di darat perawan memiliki persyaratan ijin khusus.
Kegiatan seperti pertambangan, pembalakan, dan pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan memerlukan serangkaian izin dari instansi pemerintah yang berbeda, dan dari berbagai tingkatan pemerintahan tergantung pada jenis kegiatan dan tanah yang direncanakan.
Proses perijinan inilah yang memberi celah kepada para pejabat pemerintah untuk melakukan korupsi. Demi untuk memperkaya diri sendiri, mereka rela menjual murah sumber daya alam milik rakyat Indonesia. Tanpa memperhatikan dampak buruk bagi masyarakat setempat.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pengelolaan lahan oleh swasta ini menimbulkan berbagai masalah. Eksploitasi SDA besar-besaran menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal ini berdampak pada menurunnya mata pencaharian penduduk setempat.
Karena pada umumnya warga berbasis ekonomi agraris sehingga sangat mengandalkan penghidupannya pada kekayaan agraria dan SDA di sekitarnya. Walhasil, terjadi pemiskinan struktural secara legal dan masif.
Tak heran bila BPS mencatat kondisi pada tahun 2017, jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 897,69 ribu orang. Mereka ini terkategorikan miskin lantaran rata-rata pengeluaran bulanan untuk memenuhi kebutuhan baik makanan dan non makanan di bawah garis kemiskinan Rp 457.541/orang/bulan. Dengan estimasi jumlah penduduk di Papua pada 2017 sekitar 3,26 juta orang, maka sekitar 27 dari tiap 100 orang atau 1 di antara 4 orang di Papua adalah orang miskin. Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia justru tergolong provinsi dengan penduduk miskin terbesar di Indonesia.
Namun fakta ini tidak membuat pejabat pemerintahan setempat berpikir ulang dan melindungi wilayahnya dari eksploitasi SDA tak terkendali. Alih-alih melarang, para abdi negara itu malah berlomba untuk menjualnya atas nama liberalisasi ekonomi. Rakyat pun dibuai oleh angan-angan kesejahteraan karena berharap mendapatkan lapangan pekerjaan yang layak dari para kapital.
Wajar, karena pejabat dalam sistem kapitalis ini tidak berfungsi sebagai pelindung rakyat. Tetapi bersinergi dengan para kapital untuk memuluskan agenda ekonomi mereka.
SELANJUTNYA..