MAKASSAR, PIJARNEWS.COM-– Beberapa waktu yang lalu pemerintah Republik Indonesia resmi menentukan batas maksimal kenaikan upah minimum bagi pekerja di Indonesia. Ketentuan tersebut telah ditetapkan dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan upah minimum untuk tahun 2023.
Hal tersebut secara spesifik diatur dalam Pasal 7 ayat 1 Permenaker Nomor 18 Tahun 2022, penetapan atas Penyesuaian Nilai UM tidak boleh lebih dari 10%.
“Dalam hal hasil penghitungan penyesuaian nilai upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 10% (sepuluh persen), Gubernur menetapkan upah minimum dengan penyesuaian paling tinggi 10% (sepuluh persen),” bunyi Pasal 7 ayat 2.
Sementara itu pada pemberitaan sebelumnya Dinas Keterangan Kerjaan (Disnaker) Sulsel, Ardiles Saggaf mengungkapkan pihaknya akan menentukan presentasi kenaikan upah minimum di Sulsel pada tanggal 28 November mendatang.
Namun Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel menilai, permenaker Nomor 18 tahun 2022 yang menjadi dasar penetapan kenaikan upah minimum dianggap telah melabrak peraturan pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan.
Sekretaris Apindo Sulsel, Yusran IB Hernald, menjelaskan penerbitan Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tidak memiliki dasar konstitusi yang jelas. Sebab Permenaker secara hirarki tidak bisa diterbitkan karena UU Cipta Kerja sementara ditangguhkan oleh mahkamah konstitusi.
“Kalau kita lihat hirarki terbitnya permenaker inikan seharusnya tidak ada lagi UU atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah terkait UU Cipta Kerja, karena itu kan ditangguhkan oleh mahkama konstitusi dalam rangka perbaikan dan itu ada putusannya,” ungkap Yusran saat dikonfirmasi pada Rabu (22/11/2022).
Selain itu Yusran juga menjelaskan, Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 telah melanggar karena melabrak ketentuan formula dalam PP 36 Tahun 2021.
Hal itu menurutnya tidak memiliki kesesuaian. Dalam PP 36 2021 telah ditentukan penetapan upah minimum pada tanggal 21 November tiap tahunnya. Sementara pada Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 ditentukan pada tanggal 28 November.
“Formula yang dilabrak permenaker adalah tidak sesuai dengan PP 36 yang ketiga adalah dia merubah waktu pengumuman dan penetapan upah minimum yang seharusnya tanggal 21 dia rubah tanggal 28 untuk provinsi dan 30 untuk kabupaten kota,” terangnya.
Baginya, itu tidak memberikan kepastian tentang dunia usaha dalam membuat peluang investasi di daerah dengan kehadiran Permenaker.
Tidak hanya itu menurutnya formula yang dibuat dalam Permenaker tidak mengabarkan keseluruhan komponen yang dibutuhkan dalam penentuan upah minimum.
Ia mencontohkan dalam penentuan upah minimum harus memperhatikan kondisi daerah, ketenagakerjaan dan belanja patok konsumsi rumah tangga.
Sedangkan penentuan upah minimum dalam Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 kata dia hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta variabel alpah yang dibuat tanpa pertimbangan dari sisi dunia usaha.
“Oleh karena itu kami menilai bahwa ini Permenaker Nomor 18 adalah aturan yang sewenang-wenang diatur oleh pemerintah tanpa melibatkan dunia usaha, seperti itu,” ujarnya.
Menanggapi opini bahwa Permenaker sebagai angin segar bagi para buruh, pihaknya menerangkan bahwa dalam penentuan upah minimum di Sulsel harus juga mempertimbangkan dunia usaha.
Berdasarkan analisis yang dilakukan ia menguraikan, formula dalam kedua dasar hukum pengupahan memiliki perbedaan yang signifikan.
Jika menggunakan formula PP Nomor 36 Tahun 2021 perhitungan upah di Sulsel akan naik sebesar 0,54 dengan nominal Rp. 17 ribu kenaikan. Sedangkan formula Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 perhitungan upah yang berlaku di Sulsel naik sekita 0,10 sampai 0,30 persen, jika menggunakan 0,10 makan secara angka naik senilai Rp. 200 ribu.
Berdasarkan analisis tersebut lanjut dia, itu akan menguntungkan para buruh akan tetapi pada disisi kelanjutan dunia usaha itu diberatkan.
“Yah harusnya pemerintah harus lihat itu juga, bukan hanya semata-mata hanya satu sisi,” tutupnya. (*)
Reporter : Sucipto Al-Muhaimin
Editor: Dian Muhtadiah Hamna