Oleh: Budiman Sulaeman
(Dosen IAIN Parepare)
OPINI — Tiga Januari merupakan tanggal-bulan bersejarah bagi Kementerian Agama. Setiap tanggal tersebut, keluarga besar Kementerian Agama memperingati hari lahir yang juga akrab dengan Hari Amal Bakti (HAB) dengan motto “Ikhlas Beramal”.
“Ikhlas Beramal” sejatinya merupakan nilai dasar dan keyakinan inti terhadap pengabdian ‘awak’ (pegawai) Kementerian Agama.
Kalimat “ikhlas beramal” bermakna bahwa pegawai Kementerian Agama dalam mengabdi kepada masyarakat dan negara berlandaskan niat dan beribadah dengan tulus dan ikhlas.
Bahkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin sesaat setelah dilantik di Istana Negara, Senin, 9 Juni 2014 membuat gebrakan dengan menjadikan “ikhlas beramal” sebagai slogan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan moral pegawai Kementerian Agama.
Diksi (pilihan kata) “ikhlas beramal” ini sungguh sangat tepat dan memiliki spirit/ruh yg sanggup menembus batas waktu dan ruang dalam pengabdian kepada agama, bangsa dan negara.
Pilihannya “ikhlas beramal”. Bukan “beramal ikhlas” atau “beramal seikhlasnya”. Dan “ikhlas beramal” mesti terpatri dalam pola pikir dan tertanam dalam hati sanubari serta mengejawantah dalam sikap, perilaku dan budaya kerja.
Kalimat “ikhlas beramal” yang melekat dalam logo Kementerian Agama itu adalah semboyan yang identik dengan “kinerja”, bukan sekadar “kerja”. Karena kinerja adalah prestasi kerja.
Prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja seorang pegawai merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya.
Karena itu, kinerja mesti berwujud pelayanan tulus, loyalitas tinggi, tanggung jawab penuh dan kesadaran kuat terhadap pekerjaan yang diberikan negara kepada pegawai yang bersangkutan.
Pertanyaannya adalah bagaimana cara agar amal (kerja) itu bisa bermetamorfosis menjadi kinerja?
Muhammad Haqqiy al-Naaziliy dalam Kitabnya Khaziinatul Asraar menyebutkan bahwa:
العمل يحتاج الی أربعۃ أشياء
Amal (kerja) itu butuh 4 (empat) hal. Pertama, ilmu sebelum beramal. Kedua, niat ketika hendak beramal. Ketiga, sabar saat beramal; dan keempat, tetap menjaga keikhlasan dalam beramal.
Keempat hal itu dapat disebut SOP (Standard Operating Prosedure) amal (kerja). Namun, ada yang menarik dari kalimat itu. Yang dimaksud adalah ditempatkannya kata “ikhlas” di depan kata “beramal”. Padahal sah-sah saja menempatkan kata “beramal” di depan kata “ikhlas” sehingga membentuk kalimat: “beramal ikhlas”.
“Ikhlas beramal” semacam isyarat bagi segenap ASN di lingkungan Kementerian Agama untuk memiliki ketulusan hati sebelum bekerja agar pekerjaannya dapat bernilai ibadah di sisi Allah swt. dan bermakna bagi manusia dan kemanusiaan. Bahkan hasil kerja itu akan langgeng, bukan hanya di dunia, tetapi kekal abadi sampai di akhirat.
Walhasil, slogan “ikhlas beramal” pada intinya mendorong para ‘awak’ Kementerian Agama untuk memaksimalkan kecakapan/kompetensi (ilmu); meluruskan motivasi (niat); menumbuhkan sikap optimisme dan kekuatan fisik-mental (sabar); dan tetap menjaga ketulusan (ikhlas) dalam bekerja dan berkarya.
Jika empat syarat amal (kerja) ini bersinergi positif dan menjadi budaya di lingkungan kerja, maka kerja akan menjadi apik yang melahirkan kinerja optimal atas dasar motivasi lillaahi ta’aalaa (demi karena Allah) untuk menggapai ridho-Nya, bukan karena pertimbangan adanya tukin (tunjangan kinerja).
Wallaahu a’lam
Parepare, 2 Januari 2019