Foto: Harfi Muthia Rahmi, M.Psi
MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Bagi netizen alias warga internet yang aktif di jagad dunia maya, sudah tak asing lagi dengan platform media sosial (medsos) seperti Instagram, Facebook maupun Twitter.
Dalam kolom komentar saat netizen mengupload foto/gambar maupun tulisan, beragam komentar bermunculan. Mulai yang berkomentar bijaksana hingga yang menghakimi. Padahal, belum tentu si netizen kenal baik dengan si pengupload gambar tersebut.
Mereka yang tergolong sering berkomentar negatif di medsos dikenal istilah orang yang suka “nyinyir”.
Meski dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah nyinyir ini ditujukan kepada orang yang suka memerintah berulang-ulang atau pun orang yang cerewet. Tetapi netizen sudah “terlanjur” memahami bahwa nyinyir adalah bagian dari gibah (membicarakan keburukan/aib orang lain).
Nah, bagaimana jika ada orang yang suka nyinyir?
Konsultan SDM di Lembaga Psikologi “Psycognito” Semarang, Harfi Muthia Rahmi, M.Psi. mengatakan, sifat nyinyir asal muasalnya karena seseorang memiliki gangguan kepribadian yang berdampak dengan terganggunya kepribadian sosialnya.
“Ini masuk gangguan kepribadian narsistik. Orang yang menderita kondisi ini merasa yakin bahwa dirinya lebih istimewa dibandingkan orang lain,” katanya saat dihubungi pijarnews.com, Minggu, 28 Juli 2019.
Kepribadian tersebut, cenderung arogan dan terus-menerus mengharapkan pujian dari orang lain. Mereka akan membanggakan dan melebih-lebihkan prestasi yang dicapai. Ketika merasa ada orang lain yang lebih unggul daripada mereka, penderita gangguan kepribadian narsistik akan merasa sangat iri.
Menurut dosen di Sekolah Tinggi Psikologi Yogyakarta ini, faktor utama gangguan kepribadian biasanya faktor gen, adanya kelainan pada struktur atau komposisi kimia di dalam otak, adanya riwayat gangguan kepribadian atau penyakit mental dalam keluarga, menghabiskan masa kecil di dalam kehidupan keluarga yang kacau, perasaan sering diabaikan sejak masa kanak-kanak,
mengalami pelecehan sejak kanak-kanak, baik verbal maupun fisik, tingkat pendidikan yang rendah, dan hidup di tengah-tengah keluarga berekonomi sulit.
“Tetapi untuk lebih memastikan lagi bahwa dia kena gangguan atau tidak perlu di asesmen lebih lanjut untuk menentukan tepatnya diagnosa psikologisnya,” tambah Afi, panggilan akrabnya.
Lalu bagaimana menghadapi orang yang suka nyinyir? Afi menyarankan mensikapinya adalah dengan tidak bertindak apapun. Semakin ditanggapi, semakin diperhatikan maka mereka akan semakin mengganggu.
“Jika didiamkan, maka akan merasa diabaikan, tidak istimewa. Secara tidak langsung akan membuat perasaan pelaku tidak nyaman atau menyakitkan. Hal yang dirasa tidak nyaman dan menyakitkan bagi manusia, umumnya tidak akan diulangi,” tutup penulis buku best seller The Master Book of Psychology. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna