MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Warkop legend yang diapit Petshop dan Apotek, tak jauh dari kampus Universitas Hasanuddin, menjadi oase bagi Iqbal dan teman-temannya. Malam-malam di sana selalu terasa hidup, di antara hiruk-pikuk kota dan deru kendaraan di jalan Perintis Kemerdekaan.
Meja kayu sederhana menjadi saksi adu strategi mereka bermain domino. Gelak tawa, bunyi “Ckraak, ckraak” kartu domino menghantam meja, dan aroma kopi hitam yang menggoda adalah bagian dari rutinitas mereka. Di sini, waktu terasa cepat; seolah Isya tak perlu menunggu lama untuk bertemu Subuh.
Iqbal, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, adalah salah satu yang paling setia menghabiskan malam di Warkop ini. Dia tidak peduli jika tugas akhirnya masih bertengger di folder laptop, menunggu disentuh. Malah, hampir setiap malam ia menyempatkan diri duduk di meja favoritnya, ditemani kopi hitam dan piring kecil berisi pisang goreng.
Baginya, bermain domino adalah pelarian. Dari tekanan akademik, dari tuntutan dosen pembimbing, bahkan dari pertanyaan pertanyaan keluarga yang mulai menagih kelulusan.
Teman-temannya, Sonni, Akbar, Muliadi, dan Mail, selalu ada untuk membuat malam lebih berwarna. Sonni, mahasiswa asal Kabupaten Buton Utara, Sulawesi Tenggara, terkenal dengan sifatnya yang skeptis. Dia sering mengomentari kelambanan Iqbal dalam menyelesaikan tugas akhir.
“Bals, kau yakin mau selesai kuliah? Rasanya kau lebih cepat jadi master domino daripada Magister Komunikasi,” sindirnya suatu malam, disela-sela nyebat surya.
Akbar, dengan dialek Makassarnya yang khas, lebih keras namun bermaksud memotivasi.
“Sonni, janganko bikin dia tambah malas. Iqbal, kau itu harus sadar diri. Kalau begini terus, baru selesai bab dua kau sudah tamat semester,” ucapnya sambil menatap Iqbal tajam, tapi tersenyum di ujung kalimatnya.
Muliadi adalah kebalikan dari Iqbal. Dia paling rajin di antara mereka. Muliadi sudah menyelesaikan tugas akhirnya, bahkan berhasil menerbitkan beberapa jurnal internasional terindeks Scopus dan jurnal nasional. Meski begitu, Muliadi selalu kalah dalam permainan domino melawan Iqbal.
“Seandainya dibuatkan jurnal. Saya orang
pertama yang sitasi cara bermain kalian!” keluh Muliadi sambil memperbaiki kacamata minusnya, yang disambut tawa dari semua teman di meja.
Namun, malam itu ada sesuatu yang berbeda. Mail, yang biasanya jadi pelengkap di permainan domino, terlihat lebih banyak diam. Wajahnya menyiratkan sesuatu yang berat, tapi dia menyembunyikannya di balik senyum tipis.
“Cepat, Bals! Giliranmu!” seru Akbar, memecah keheningan. Iqbal tersenyum lebar dan menjatuhkan kartu terakhirnya.
“Menang lagi, bro! Saya serius nih, mau buka kursus domino nanti,” canda Iqbal sambil menepuk pundak Muliadi, yang kembali kalah.
Namun, di balik tawa itu, Iqbal merasa ada bom waktu yang terus berdetak. Semester akhir semakin dekat, tetapi tugas akhirnya masih bertengger di folder laptop tanpa banyak kemajuan. Suatu malam, Iqbal dikirimkan pesan dari dosen pembimbingnya, Pak Hafied.
“Iqbal, bagaimana progresnya? Bab dua kamu belum selesai sejak bulan lalu. Jangan lupa tenggat waktu,” demikian bunyi pesan yang sudah diarsipkan tanpa jawaban.
Bagi Iqbal, membaca pesan itu saja sudah cukup membuatnya cemas. Namun, bukannya langsung menulis, ia malah kembali ke Warkop malam berikutnya. Kali ini, ia beralasan bahwa “pikiran jernih muncul di tengah keramaian”. Tapi kenyataannya, ia lebih sering fokus pada kartu domino daripada ide untuk tugas akhirnya.
Malam itu, suasana di Warkop sedikit berbeda. Meja domino mulai dipenuhi diskusi yang tak biasa: rencana wisuda. Sonni, Akbar, dan Muliadi, teman-teman Iqbal, mulai membahas toga, undangan, dan prospek karir. Iqbal hanya mendengarkan sambil menata kartu di tangannya.
“Eh, Bals, kau bagaimana? Sudah sampai mana tugas akhirmu?” tanya Sonni tiba-tiba, dengan nada setengah meledek.
Iqbal mencoba tersenyum santai. “Ya… masih proses. Tenang saja, saya punya banyak waktu,” jawabnya, meski dalam hati merasa bersalah.
Jawaban itu langsung disambut gelak tawa Akbar. “Banyak waktu dari mana? Semester ini terakhir, bro. Kalau tidak selesai, ya tamat!” kata Akbar dengan tegas.
Iqbal tahu Akbar benar. Setelah itu, ia tak lagi fokus pada permainan. Malam itu, ia pulang lebih awal dari biasanya. Di kamar kosnya yang terbatas, ia menatap laptop yang sudah lama tak disentuh. Folder “Tugas Akhir Magister” tampak seperti monster yang menantang, menyeramkan dan menuntut keberanian untuk dihadapi.
Pagi berikutnya, Iqbal akhirnya memberanikan diri menemui Pak Hafied. Ia tahu, teguran sudah menunggunya, tapi ia mencoba menyiapkan mental.
“Saya pikir kamu lupa jalan ke ruangan ini,” kata Pak Hafied saat Iqbal masuk, suaranya terdengar setengah bercanda, setengah menuntut jawaban.
Iqbal mengangguk canggung. “Maaf, Pak. Saya sempat kesulitan mengatur waktu”
“Kamu terlalu santai, Iqbal. Ini sudah hampir tenggat waktu. Kalau kamu terus begini, saya tidak yakin kamu bisa selesai tepat waktu,” kata Pak Hafied tegas.
“Jangan sia-siakan waktu yang sudah kamu habiskan di sini. Beruntung kamu di circle yang suportif, diam-diam ada yang mengingatkan saya untuk memberi perhatian lebih pada perkembangan tugas akhirmu,” kata Pak Hafied.
Iqbal kebingungan. “Maksudnya, Pak?”
Pak Hafied tersenyum. “Mail, temanmu itu. Dia beberapa kali datang menemui saya tanpa kamu tahu, memastikan bahwa kamu tetap mendapat bimbingan meskipun kamu lambat dalam menyelesaikan bab-bab selanjutnya. Dia bahkan membawa draftmu yang belum kamu kumpulkan dan meminta saya memberikan komentar.”
Kata-kata itu membuat Iqbal terkejut. Ia tidak menyangka Mail, yang selalu terlihat pendiam dan santai, ternyata berperan besar dalam membantunya.
Di Warkop malam itu, Iqbal menatap Mail dengan penuh rasa terima kasih. Ia akhirnya mengerti bahwa Mail, meski jarang berbicara, adalah teman yang selalu mendukungnya dibalik layar.
“Kau ini diam-diam manipulatif juga ya,” canda Iqbal sambil menepuk pundak Mail.
Mail hanya tersenyum. “Kau ingat apa yang sering kau bilang, Bals? Domino itu soal strategi. Hidup juga begitu. Kadang, kau butuh bantuan untuk memainkan kartu yang tepat.”
Kata-kata itu menjadi cambuk bagi Iqbal. Ucapan Mail menjadi titik balik bagi Iqbal. Ia mulai bekerja lebih keras, membagi waktu antara menyelesaikan tugas akhir dan bermain domino untuk melepas penat. Teman temannya pun mendukung penuh.
Muliadi bahkan membantu Iqbal mengumpulkan referensi, sementara Akbar dengan candaannya menjaga semangat Iqbal tetap tinggi. Sonni, meski pesimis, akhirnya berkata, “Kalau kau bisa selesai, saya bakal traktir kau kopi sebulan penuh.”
Pada akhirnya, perjuangan itu terbayar. Iqbal menyelesaikan tugas akhirnya tepat
waktu. Di malam wisuda, ia kembali ke Warkop bersama teman-temannya. Hidup, pikir Iqbal, memang seperti permainan domino. Kita harus tahu kapan bermain, kapan berhenti, dan kapan melangkah maju. Dan meski permainan itu kadang penuh kekalahan, ada pelajaran yang selalu bisa dipetik di setiap putarannya.(*)