Oleh: Hartinah Sanusi, M. I. Kom
(Pengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
Saya membayangkan Rabu sore (19/3/2025) itu seperti sore biasa di redaksi Tempo. Kesibukan layaknya di ruang-ruang redaksi sebuah media, secangkir kopi bagi yang tidak berpuasa, tumpukan informasi yang harus segera diolah, dan diskusi tentang laporan investigasi terbaru. Tepat pukul 16.11 WIB, sebuah paket tiba. Isinya bukan naskah, bukan surat pembaca. Tapi kepala babi. Dikirim begitu saja ke kantor redaksi. Sebuah pesan ancaman dari zaman yang seharusnya sudah lewat.
Sempat terhenyak, peristiwa ini tidak hanya mengusik rasa kemanusiaan dan etika di masyarakat kita, tetapi juga menandai eskalasi bentuk-bentuk ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Di tengah meningkatnya represi simbolik dan digital terhadap media, peristiwa ini menjadi fenomena penting untuk menelaah bagaimana kekuasaan berkomunikasi melalui simbol-simbol kekerasan.
Kepala babi itu bukan lelucon. Ia adalah simbol. Ia bicara dengan bahasa yang tak memerlukan kata-kata. Bahasa yang dingin, bahasa yang mengancam, bahasa kekuasaan. Seperti semua simbol kekerasan, ia tidak berdiri sendiri. Melainkan bagian dari sistem, dari pola, dari sejarah panjang upaya membungkam.
Symbolic Violence
Ketika kepala babi dikirim ke kantor redaksi Tempo, mungkin banyak yang menganggapnya sekadar teror. Tapi sebagai akademisi komunikasi dan jurnalisme, saya melihatnya sebagai bagian dari praktik kekerasan performatif—kekerasan yang tidak hanya melukai secara fisik, tetapi dirancang untuk menyampaikan pesan: “Kami mengawasi. Jangan macam-macam.” Dalam konteks jurnalisme, ini bukan sekadar intimidasi, melainkan pesan agar media tunduk.
Saya teringat pada satu konsep dalam kajian komunikasi kritis— symbolic violence, Pierre Bourdieu (1991) menyebutnya sebagai kekerasan yang tak terlihat, tapi menghantam. Tak ada pukulan, tak ada luka fisik, tapi efeknya nyata, ada rasa takut, rasa hina, rasa dikucilkan. Itulah yang terjadi dan terasa di hari-hari belakangan ini.
Hal paling menyakitkan dari semua persitiwa ini bukan hanya ancamannya. Tapi sunyinya, negara tak sigap, bahkan menanggapi dengan lelucon konyol: “udah, dimasak aja”. Seolah teror kepala babi itu adalah hal biasa. Seolah kita semua sepakat bahwa mengintimidasi pers adalah bagian dari “dinamika”.
Ancaman Terhadap Kebebasan Pers: Dari Fisik ke Semiotic Control
Fenomena ini mencerminkan pergeseran bentuk represi terhadap jurnalisme. Jika di era Orde Baru represi dilakukan secara langsung—penculikan, pelarangan terbit, atau intervensi militer—maka dalam era demokrasi prosedural ini, represi lebih banyak terjadi dalam bentuk semiotic control. Ancaman bukan hanya datang dari negara, tapi juga dari aktor non-negara seperti buzzer, kelompok intoleran, atau individu dengan akses kekuasaan informal.
Penelitian dari Reporters Without Borders (2023) mencatat bahwa bentuk ancaman terhadap jurnalis semakin simbolik dan digital, seperti: doxing, intimidasi online, hingga penggunaan simbol-simbol kekerasan visual. Kekerasan ini sulit dilacak, tapi dampaknya nyata, di antaranya jurnalis memilih menahan diri, menghindari isu sensitif, atau bahkan hengkang dari profesinya.
Di Indonesia, data AJI menunjukkan peningkatan insiden kekerasan terhadap jurnalis dalam bentuk non-fisik selama lima tahun terakhir. Sepanjang 1 Januari-31 Desember 2024, tercatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media, dengan kategori teror dan intimidasi 17 kasus, pelarangan liputan delapan kasus, ancaman delapan kasus, serangan digital enam kasus, pemanggilan klarifikasi oleh polisi tiga kasus, kekerasan berbasis gender tiga kasus, penuntutan hukum berupa gugatan perdata ke media dua kasus, perusakan alat/penghapusan data lima kasus, dan swasensor di ruang redaksi satu kasus.
Peristiwa pengiriman kepala babi ke redaksi Tempo bukan sekadar “kasus kriminal biasa”. Ia adalah bagian dari praktik kekerasan simbolik yang bekerja secara performative. Untuk apa? tentu saja dilakukan untuk mengintimidasi tanpa perlu kekerasan fisik, untuk membungkam, dan menjadikan ketakutan sebagai pengganti argumen dalam demokrasi.
Membaca ini dari perspektif komunikasi memungkinkan kita melihat kekerasan bukan hanya sebagai tindakan, tapi sebagai pesan—dan bahkan sebagai strategi komunikasi kekuasaan.
Simbol, Ruang Publik, dan Demokrasi
Dulu, ketika media dibungkam, para jurnalis melawan lewat puisi, kartun, poster, dan tulisan yang menyelinap dalam metafora. Ketika penguasa bicara dengan represi, mereka bicara dengan ironi. Ketika ada ancaman, mereka membalas dengan keberanian.
Dalam demokrasi prosedural seperti Indonesia hari ini, bentuknya berubah. Represi dilakukan melalui simbol, narasi digital, hingga teror personal. Bahayanya, ketika terjadi normalisasi rasa takut. Jurnalis mulai menyensor dirinya sendiri, redaktur lebih berhati-hati memilih angle, dan ruang debat publik menyusut. Peter Gross dan Karol Jakubowicz (2012) menyebutnya soft censorship, yaitu tekanan yang tidak formal tetapi berdampak besar pada kebebasan redaksi. Dalam konteks ini, teror kepala babi bukan hanya ancaman, tapi alat untuk mendisiplinkan tubuh dan pikiran jurnalis.
Jika kita membiarkan pesan-pesan kekuasaan berbicara lewat simbol kekerasan, maka ruang demokrasi akan terus dikikis—bukan oleh senjata, tapi oleh isyarat. Membaca kekerasan sebagai praktik komunikasi membantu kita memahami bahwa demokrasi bisa mati bukan karena larangan, tapi karena rasa takut yang merayap perlahan, dari simbol ke simbol, dari pesan ke pesan.
Tanggung Jawab Akademisi dan Masyarakat Sipil
Akademisi memiliki peran penting untuk mengurai bahasa kekerasan ini, memberi konteks, dan membekali masyarakat dengan literasi simbolik. Kebebasan pers bukan sekadar isu profesi jurnalis, tetapi indikator kesehatan demokrasi. Ketika jurnalis diintimidasi dengan simbol menjijikkan, maka masyarakat telah kehilangan satu suara kritis dalam diskursus publik.
Melawan simbol kekerasan bukan hanya soal keberanian, tapi juga soal pengetahuan—untuk mengerti cara kerja bahasa, kekuasaan, dan ketakutan. Pengetahuan ini bisa jadi bentuk perlindungan terbaik bagi pers dan publik yang ingin tetap merdeka, melalui tulisan, dengan suara, dan dengan keberanian untuk menolak diam.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, kita harus membaca simbol—sebagaimana jurnalis membaca peristiwa. Jika kekuasaan kini bicara lewat simbol kekerasan, maka tugas kita adalah membongkar maknanya, bukan hanya mengutuk bentuknya.
Kedua, media perlu mereklaim makna—mengganti ketakutan dengan keberanian, stigma dengan solidaritas. Pengiriman kepala babi bukan hanya soal Tempo, tapi tentang kita semua yang percaya bahwa komunikasi publik seharusnya dibangun dengan argumen, bukan ancaman.
Terakhir, publik mesti sadar bahwa yang diserang bukan hanya jurnalis, tapi hak mereka untuk mendapat informasi. Dukungan publik dalam bentuk kampanye, petisi, dan tekanan politik bisa membuat teror semacam ini kehilangan daya gentarnya. Seperti yang dikatakan Edward Said: “To speak out and risk being called oppositional or dangerous is the beginning of intellectual responsibility.” Keberanian menyuarakan hal-hal yang ‘mengganggu’, meski berisiko adalah bentuk tanggung jawab intelektual terhadap publik.
Saat teror menjadi simbol, maka melawan harus dimulai dengan pembacaan. Kita tidak hanya perlu jurnalis yang berani, tapi juga pembaca yang cerdas—yang bisa melihat bahwa demokrasi bisa mati tanpa peluru, cukup dengan diam.(*)
*)Penulis adalah Pemerhati, Peneliti bidang kajian Komunikasi dan Jurnalisme, Lingkungan, Gender, dan Budaya
Email: tina.sanusi@uin-alauddin.ac.id