JAKARTA, PIJARNEWS.COM— Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengancam akan menaikkan harga BBM tiga kali lipat jika masyarakat tidak mau membayar pajak, sehingga pada akhirnya bisa menjadi shock absorber.
Ia mencontohkan, kenaikan harga minyak yang mencapai USD120 per barel, apabila tidak ditahan dengan subsidi yang mencapai Rp552 triliun, masyarakat bisa membayar BBM hingga tiga kali lipat.
“Kita tidak ingin ini terjadi. Nah, dananya dari mana? Tentu saja dari rupiah yang Anda bayarkan melalui pajak,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam Economic Outlook 2023, dikutip dari akun Instagram @smindrawati, Selasa (28/2/2023).
Menanggapi pernyataan Menkeu Sri tersebut, ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Fahrul Ulum, M.E.I. mengatakan bahwa ini menyakitkan.
“Tentu saja ini sangat menyakitkan. Setidaknya ada tiga alasan, pertama, pajak itu sendiri sudah menyakitkan. Kedua, tingkah pemungut pajaknya. Ketiga, ada ratusan triliun dipakai sebagai cara memperkaya diri,” ungkapnya di Kabar Petang: “Harga BBM Bisa Naik 3 Kali Lipat?” melalui kanal Khilafah News, Kamis (9/3/2023).
Menurutnya, logika yang dipakai Menkeu adalah logika subsidi. Akan tetapi, kalau dicermati, 75,7% atau sekitar Rp2.351 triliun APBN itu digunakan untuk belanja negara.
“Kalau mau ngotot antara pemerintah dengan rakyat saat rakyat benar-benar tidak mau bayar pajak, maka risikonya negara enggak bisa belanja. Ini sebenarnya pernyataan blunder,” kritiknya.
Fahrul berpendapat, BBM tidak perlu dinaikkan jika dikelola sendiri oleh negara, bukan dengan pola kontrak.
“Produksi minyak kita itu sekitar 223 juta barel per tahun. Selama ini model pengelolaannya dengan kontrak. Pemerintah dapat 57%, perusahaan kontrak dapat 43%. Dari situ saja pemasukan sudah cukup besar. Nah seandainya dikelola sendiri maka 100% bisa utuh dinikmati,” jelasnya.
Fahrul menjelaskan, biaya produksi minyak itu per liternya hanya kurang lebih Rp1.500. Menjadi mahal karena model pengelolaan sharing kontrak yang investornya menginginkan keuntungan besar.
“Ini risiko ketika kita mengatur negara dengan model oligarki, lagi-lagi rakyat yang dikorbankan. Jadi pernyataan kalau tidak bayar pajak, harga BBM akan naik tiga kali lipat, ini logika menyesatkan,” tegasnya lagi.
Oleh karena itu, menurut Fahrul, model pengelolaan ekonomi oligarki ini tidak layak untuk diteruskan. “Kita tidak bisa terus menjadikan pengelolaan ekonomi negara itu mengadopsi sistem kapitalisme, yakni pemerintah hanya sebagai fasilitator. Harta rakyat diberikan kepada investor untuk dikelola, negara duduk manis menunggu pajak. Selama ini begitu,” bebernya.
Rakyat yang sebenarnya pemilik dari kekayaan alam itu akhirnya berposisi sebagai pembeli. “Sudah jadi pembeli, kena pajak pula. Ini artinya rakyat itu sudah jatuh ditimpa tangga pula,” sesalnya.
Agar keluar dari permasalahan ini, Fahrul menawarkan konsep Islam dalam tata kelola BBM. “Islam menawarkan konsep pengelolaan BBM dengan menjadikan seluruh kekayaan alam sebagai milik rakyat yang pengelolaannya dilakukan oleh negara, tetapi seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat,” terangnya.
Kalau dikelola seperti itu, maka BBM bisa murah, dan tidak hanya BBM, tetapi juga tambang yang lain. Ia mencontohkan batu bara. “Produksi batu bara kita 600 juta ton per tahun. Harga sekarang sekitar USD450 per ton. Kalau dirupiahkan itu bisa mencapai 3.600 triliun rupiah. Itu baru dari batu bara,” bebernya.
Padahal, menurut Fahrul, APBN Indonesia hanya Rp3.000 triliun sehingga dari batu bara saja sudah cukup untuk membiayai APBN.
“Sistem ekonomi seperti itu adalah sistem ekonomi Islam yang kita referensikan yang jika diterapkan akan mengantarkan kepada kesejahteraan, mengantarkan kepada keadilan, mengantarkan kepada kemajuan negara, produktivitas masyarakat makin baik, dan kemakmuran terjadi,” pungkasnya. (*)
Sumber: Muslimah News