MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas polemik tambang emas di Luwu Utara pada Jumat (19/5/2023).
Rapat yang dihadiri oleh beberapa masyarakat Rampi, pihak Pemerintah Kabupaten Lutra, DPRD Lutra dan pihak Pemprov Sulsel.
Adapun beberapa topik pembahasan polemik tambang emas dalam RDP tersebut yakni terkait hak penambang emas tanpa izin (Peti) alias ilegal serta pencabutan izin operasional perusahaan tambang di Rampi.
Terkait polemik tambang di Desa Rampi, salah seorang warga Rumpia, Wiliam Martom menjelaskan bahwa masyarakat Rumpia menolak izin operasi tambang dua tambang emas yang kini sementara beroperasi yakni PT. Kalla Arebamma dan PT. Citra Palu Mineral.
Di hadapan para stakeholder, Wiliam meminta agar operasi bagi pertambahan dari kedua perusahaan tersebut harus dihentikan lantaran memberikan dampak buruk bagi warga sekitar.
Ia menyebutkan dampak yang ditimbulkan yakni membunuh puluhan hewan ternak masyarakat seperti sapi dan kerbau.
Hal itu katanya, dikarenakan perusahaan tambang yang beroperasi mengunakan zat-zat berbahaya bagi tumbuhan dan makhluk hidup.
“Tetapi kenapa kami minta tambang ini dihentikan, karena dampaknya luar biasa. Mereka menggunakan zat-zat kimia yang berbahaya, bahkan, sapi hewan ternak milik warga Rampi itu sudah puluhan yang mati. Hanya saja tidak terlalu heboh karena mereka di daerah pelosok,” ungkap Wiliam.
Menurutnya, masyarakat lokal mestinya mendapatkan manfaat dari kekayaan alamnya bukan malah mendapat dampak buruk dari penambangan tersebut.
Oleh karena ini ia menyarankan agar, masyarakat lokal dengan kekayaan alamnya bisa mendapatkan solusi dari polemik tersebut.
“Pada soal wilayah solusi, kita sepakat bahwa masyarakat Rampi ini dengan kondisi yang terpencil memang perlu dicarikan solusi dengan kekayaan alamnya yang mereka miliki,” tukasnya.
Selain itu ia mendorong agar warga lokal diberikan legitimasi dalam melakukan aktivitas tambang di wilayahnya.
Adapun legitimasi yang dimaksud itu berupa status Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dari pemerintah provinsi.
“Kita butuh WPR soal legalitas,” ujarnya.
Tidak hanya itu ia juga menerangkan bahwa masyarakat yang melakukan aksi penambangan yang menggunakan alat berat itu bukan masyarakat lokal Rumpi melainkan pendatang dari luar.
“Jadi konkritnya adalah penambang di Rampi yang menggunakan alat-alat berat itu bukan orang Rampi,” imbuhnya.
Menanggapi hal itu Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Rachmawatika Dewi mengaku pihaknya mendorong kegiatan WPR sebagai solusi dalam masalah tambang di Rampi itu.
“Disinilah fungsi kami di DPRD Sulsel untuk mendorong kegiatan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) itu,” ungkapnya saat diwawancarai usai RDP.
Ia mengatakan, itu bisa dilakukan oleh pihaknya melalui koordinasi dengan pemegang kewenangan dalam hal ini Dinas ESDM Sulsel.
“Itu memungkinkan dilakukan apalagi masyarakat rampi menginginkan hal tersebut, itu bisa dilakukan melalui dinas ESDM Provinsi dan yang terakhir adalah kita meminta kepada,” tuturnya.
Selain itu ia juga mengaku berjanji akan mengupayakan agar bisa memberikan infrastruktur yang layak kepada masyarakat Rampi.
“Tentu perjalanannya akan panjang tapi harus ada niat dari sekarang,” imbuhnya. (*)
Reporter : Sucipto Al-Muhaimin