BULUKUMBA, PIJARNEWS.COM–Di bawah teriknya matahari siang, seorang anak berusia sekitar 10 tahun dengan kaki yang pinjang terlihat berjalan menyusuri lorong pasar di Desa Tanahberu Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
Tampak jauh, tidak ada yang mengganjal dari penampilan anak lelaki itu. Namun, setelah saya mendekati, jalannya tak normal. Kakinya pincang. Ia memegang beberapa lembar uang seribuan dengan senyum yang tak pudar. Anak itu mencoba menarik perhatian orang-orang yang lalu-lalang.
Namanya David. Ia berasal dari Desa Tanahberu. Di usianya yang masih belia, David sudah di tinggal merantau oleh kedua orang tuanya. Sejak kecil dia tinggal bersama dengan neneknya yang telah uzur. David di usia yang masih belia harus berusaha sendiri mencukupi kebutuhan sehari-hari dikarenakan nenek yang sudah tidak cukup kuat untuk bekerja.
Penampilan fisiknya yang tidak sempurna itu, setiap hari David harus selalu menelan cacian dan ejekan dari anak-anak sebayanya. Jika anak-anak lain sibuk sekolah, ia hanya bisa melihat dari luar gerbang sekolah. Mengecap dunia pendidikan, baginya sesuatu yang mustahil.
Ejekan demi ejekan dia dapatkan setiap hari disaat dia berkeliling. Alih-alih mendapatkan teman, bahkan seringkali uang hasil kerjanya diambil oleh anak-anak nakal itu.
Sulit untuk bisa berbicara dengannya. Rasa trauma begitu menderanya.Bahkan untuk sekadar mengobrol, saya menunggunya selama empat hari. Dia selalu menghindar.
“Lain kali kalau diejek bilang saja kita semua ini sama. Jadi jangan ejek saya terus,” saran saya saat menemuinya, Rabu (20/11/2024). Dia tertawa kecil.
“Saya tidak punya tenaga untuk membalas mereka karena kaki saya tidak begitu cukup kuat untuk berlari. Jika saya diejek, saya hanya bisa menangis,” jawabnya polos.
Sebelumnya dia pernah bekerja di tempat pembuatan batu. Itu tak lama. Dia dikeluarkan karena selain umurnya masih belia, dia juga memiliki masalah di bagian otaknya.
Orang-orang menganggap dia gila. Namun, masih ada orang yang berbelas kasih kepadanya. Recehan pun kadang dia terima. Uang itu, digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari, bersama nenek yang amat disayanginya.
“Sebenarnya saya juga mau merasakan sekolah biar bisa pintar dan tidak diejek lagi,” harapnya.
Di tengah perjuangannya, David sering bertemu dengan orang-orang baik yang memberinya sumbangan berupa uang maupun pakaian. Beberapa orang mengatakan dia adalah anak baik dan pintar, dilihat dari seberapa sering dia membantu ibu-ibu yang ada di pasar tanpa meminta imbalan sekalipun.
“Dia anak yang gigih. Saya salut melihat dia tetap semangat meski usianya masih kecil,” kata kakek saya, Muhammad Zaenal.
Setelah mengobrol beberapa menit dia memilih untuk pergi lantaran neneknya tidak ada yang menemani di rumah.
“Saya pulang dulu kak, saya sudah terlalu sering keluar keluyuran nanti nenekku khawatir,” katanya. Lalu dia berpamitan tanpa menerima pemberian dari saya.
Kisah David adalah potret perjuangan anak-anak yang tumbuh dalam keterbatasan, tetapi tetap menyimpan harapan besar. Tangisan-tangisan yang selalu menggema di lorong pasar menjadi bukti bahwa David adalah anak kesepian. Dia butuh perhatian tetapi juga menyampaikan pesan bahwa dibalik kesulitan selalu ada cahaya harapan. (*)
Citizen Reporter: Ainun Israni Arlina (Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Unismuh Makassar)