Oleh : Adira, S.Si
(Guru SMA Negeri 1 Parepare)
Pembahasan tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) melalui jalur zonasi masih terus menghangat hingga akhir masa PPDB. Pro kontra kebijakan muncul dari berbagai kalangan, tidak sedikit yang mendukung namun yang risau juga tidak sedikit.
Zonasi harusnya tak merisaukan, andai semua sekolah memiliki standar kualitas yang sama. Setiap anak berhak merasakan pelayanan pendidikan yang terbaik, namun tidak dipungkiri bahwa sekolah yang menyediakan layanan itu hanya sekolah-sekolah tertentu yang berlabel sekolah favorit dan letaknya di pusat kota serta dekat dengan layanan publik.
Tampak perbedaan yang sangat signifikan antara sekolah yang berada di kota dan di daerah pedalaman. Bangunan sekolah di perkotaan sudah permanen dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang menunjang pembelajaran, perpustakaan digital, laboratorium IPA, laboratorium komputer hingga laboratorium multimedia yang tersambung dengan jaringan WIFI memudahkan akses informasi bagi peserta didik.
Sedangkan kondisi bangunan sekolah di desa relatif belum memadai. Tak jarang dari pemberitaan media didapati sekolah-sekolah yang sudah rusak parah dan tak layak untuk ditempati belajar. Fasilitas yang menunjang pembelajaran pun masih sangat minim hingga kadang-kadang masih mengandalkan media alam.
Sekolah dengan kondisi mirip Film Laskar Pelangi masih ditemui di beberapa daerah, khusus di Sulawesi Selatan disebuah kecamatan di Kabupaten Maros, selain kondisi fisik sekolah yang jauh dari kata layak, sistem pembelajaran bagi siswa terbilang miris. Pasalnya hanya ada satu guru yang mengajar setiap harinya. Siswa harus antre menunggu guru yang mengajar sesuai dengan tingkatan kelas dengan mata pelajaran yang berbeda-beda. (detiknews, 3 Januari 2019).
Sekolah-sekolah unggulan yang difavoritkan di perkotaan biasanya memilki guru-guru ahli dalam mengajar di bidangnya. Kemudahan akses informasi melalui berbagai pelatihan atau workhshop seringkali dengan mudah diperoleh oleh guru-guru di sekolah favorit sehingga sangat menunjang dalam peningkatan kompetensi mengajarnya, tentunya sangat bersinergi dengan nilai capaian kompetensi siswa di sekolah tersebut.
Maka sangat wajar jika setiap orang tua berkeinginan untuk meloloskan putra-putinya ke sekolah-sekolah favorit.
Sebelum kebijakan ini digulirkan seharusnya pemerintah memikirkan pemerataan infrastruktur di bidang pendidikan hingga ke pelosok.
Bagaimana solusi pemerataan pendidikan dalam Islam?
Dalam Islam, pendidikan adalah salah satu kebutuhan pokok bagi seluruh manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara menjamin tiap warganya dari segala kalangan untuk mengakses pendidikan berkualitas bahkan tanpa pembebanan biaya.
Pendidikan dalam Islam juga memilki peran yang sangat vital dalam membentuk kecerdasan akal dan kepribadian tiap warganya, sehingga negara tidak segan-segan untuk menyediakan layanan terbaik.
Rasulullah pernah menetapkan tawanan perang badar untuk mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang bernilai ekonomis yang cukup tinggi, yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Ini menunjukkan perhatian besar negara untuk mewujudkan pendidikan berkualitas yang dapat dengan mudah diakses warganya.
Perhatian yang begitu besar untuk penyediaan layanan pendikan terbaik, berlanjut sampai masa kekhilafaan. Khalifah Umar Bin khattab di masa pemerintahannya menetapkan kebijakan untuk memerintahkan kepada setiap panglima perang bila berhasil menaklukkan suatu wilayah harus mendirikan masjid di wilayah itu sebagai Islamic Center atau pusat ibadah dan pendidikan. Dari sekian banyak penaklukan bertambah pula ketersediaan tempat belajar.
Pada era di bawah pemerintahan Harun Al Rasyid dan Al Ma’mun, dunia Islam mengalami kemajuan ilmu pengetahuan, sains, dan budaya yang luar biasa pesat. Ahli sejarah banyak yang berpendapat bahwa pada rentang masa itu (750 – 1258 M) kemajuan ilmu ditandai dengan berdirinya Bayt al Hikmah yang menjadi pusat studi, perpustakaan sekaligus universitas terbesar di dunia pada saat itu.
Periode yang cukup panjang itu (sekitar 500 tahun), bisa dikatakan tidak ada peradaban lain di dunia yang bisa menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam, dari mulai Eropa, Cina, India karena kegigihan kekhalifahan yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan melebihi peradaban manapun pada masa itu.
Dengan pemerataan kesempatan layanan akses pendidikan yang memadai dan seluas-luasnya seperti yang diterapkan pada masa kekhilafaan tentunya tidak akan menimbulkan kerisauan terkait kebijakan zonasi, karena di manapun setiap warganya berada, negara khilafah berkewajiban menunaikan tanggung jawab penuh menyediakan akses untuk mendapatkannya. (*/dmh)