OPINI — Engka eppa cappa’ bokonna to laoe, iyanaritu saisanna : Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa kallangnge, enrengnge Cappa’ kawalie,
(Terdapat empat ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian, di antaranya, yaitu :Ujung lidah, Ujung kelelakian (ujung kemaluan), Cappa Kallang (Ujung pena/ Pulpen), dan Ujung badik/kawali (senjata).
Kajian integrasi antara Islam dan Budaya berikut ini bokong tammetti na ta cappu (bekal yang tidak surut dan tidak habis) adalah cappa oroanewe (ujung kemaluan) secara konteks dimaknai pemeliharaan terhadap keturunan.
Problematika hidup memang sulit diprediksi namun ketika diperhadapkan dengannya, langkah awal adalah dengan mengkomunikasikan, namun jika itu gagal maka melangkah pada tahap berikutnya. Tahap ini biasanya cukup efektif dengan menyambung hubungan kekerabatan melalui nikah.
Pesan bijak pada lontara tersebut, mengisyaratkan bahwa kemaluan bisa menjalin hubungan kekerabatan, bahkan dalam tradisi bugis alasan utama melangsungkan pernikahan adalah untuk mendekatkan kembali hubungan keluarga yang dianggap sudah jauh. Tradisi ini bukan hanya dikalangan masyarakat bawah semata, melainkan juga pada lapisan bangsawannya.
Tradisi bugis meyakini bahwa pernikahan bukan hanya menjalin hubungan pada batas kekerabatan yang masih hidup, tapi secara spiritual pernikahan itu masih disaksikan oleh keluarga yang sudah meninggal.
Keyakinan awal orang bugis sebelum berintegrasi dengan Islam, prosesi nikah turut dihadiri oleh roh pendahulunya. Tidak semua roh itu berniat baik, sebaliknya terdapat roh berniat jahat atas dua mempelai dan keluarganya, maka untuk mengusir roh jahat dibuatlah lawasoji dari anyaman bambu dengan pola segi empat, secara simbolik penguasaan empat arah (eppa sulapa).
Bagi islam, pernikahan memiliki dua dimensi yakni ubudiyah dan mu’amalah. Pengikut madzhab Syafi’ meyakini kalau pernikahan tidak hanya pada batas interaksi sosial (المعاملة) semata tapi merupakan ibadah ritual (العبودية) yang disakralkan, sehingga pelaksanaannya disaksikan langsung oleh Allah swt dan Rasulullah saw pada saat membaca dua kalimat syahadat dalam ijab qabulnya.
Prosesi ijab qabul inilah kemudian melegalkan bagi dua pasangan dengan latar belakang keluarga berbeda untuk hidup satu atap. Hasrat biologis dibolehkan jika terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan. Inilah kemudian disebut pemeliharaan terhadap “Cappa oroanewe” maksudnya memelihara kemaluan, dalam Ushul Fiqh lebih jelas ditemukan pada pembahasan al Maqashid al Syar’iyah. Lima pemeliharaan kategori primer dengan skala prioritas terstruktur seperti berikut ini:
المحافظة علي الدين (pemeliharaan terhadap agama)
المحافظة علي النفس (pemeliharaan terhadap jiwa)
المحافظة علي العقل (pemeliharaan terhadap akal)
المحافظة علي النسب (pemeliharaan terhadap keturunan)
المحافظة علي المال (pemeliharaan terhadap harta)
Pemeliharaan terhadap keturunan ini dituangkan dalam bentuk larangan oleh Allah swt pada QS. al Isra’: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs al-Isra’: 32).
Kalimat awal pada ayat tersebut berbentuk larangan لا تقربوا (jangan dekati) zina, sehingga pemaknaanya dalam kajian ushul al fiqh adalah sesuatu yang haram, bukan hanya pada delik zina semata melainkan segala sesuatu yang bisa nenggiring untuk melakukannya, karena dalam manhaj ushul al fiqh dikenal sadd al dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
Berikut teks ayat menyebutkan bahwa delik tersebut sebagai fahisyah (فاحشة) yang dalam bentuk jamaknya “fawahisy” (فواحش). Bentuk lain darinya adalah “fuhsy” (فحش) dan “fahsya’” (فحشاء). Artinya sesuatu yang amat buruk dan menjijitkan. Term ini biasanya digunakan pada delik moralitas, secara spesifik diperuntukkan pada zina, lesbianisme/homoseksual dan ada juga menikahi istri ayah. Berikut dapat di kaji dengan mengkolaborasikan ayat-ayat yang dimaksudkan.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Qs al-Isra’: 32).
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ . إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Terjemahnya
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (Qs al-A’raf: 80-81).
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ . أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ ۖ فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا ائْتِنَا بِعَذَابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ . قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ
Terjemahnya
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu”. Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu? Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. Luth berdoa: “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.” (Qs al-‘Ankabut: 28-30).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Terjemahnya
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Qs an-Nisa’: 19).
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۚ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Terjemahnya
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Qs an-Nisa’: 22).
Bentuk-bentuk pelanggaran pidana di atas terkait dengan perbuatan penyimpangan seksual sehingga secara simbolik dikategorikan fahisyah (perbuatan kotor dan keji), sehingga sanksi hukum terhadap pelanggaran tersebut berdampak pada sanksi moralitas dengan asumsi bahwa mereka bejat dan hina.
Integrasi nilai ini cukup relevan dengan budaya bugis, karena laki-laki bugis sangat terhormat jika berhasil memelihara kehormatan dirinya dan kehormatan orang lain. Karena itu, kesucian mesti terpelihara hingga melangsungkan pernikahan. Budaya mappacci pada prosesi nikah tidak hanya pada batas simbolik semata, melainkan terdapat nilai spiritual dan sosial. Orang tua, tokoh adat, tokoh agama dan kerabat secara bergilir diminta kesediaannya untuk memberikan doa dan kesaksian bahwa calon mempelai adalah suci.
Bugis berpesan, dua hal penting yang perlu dipelihara sebab bisa menjadi sumber petaka yakni “sijakka iyase’na posie nasijakka iyawana” (satu jengkal di atas pusat dan satu jengkal di bawahnya). (*)
No Whatsapp Penulis : 0852-5574-6171