MAKASSAR, PIJARNEWS.COM — Gubernur Sulawesi-Selatan, Prof. HM Nurdin Abdullah selalu menekankan pelibatan multipihak atau pentaheliks dalam penanggulangan bencana, termasuk dalam penanganan Covid-19. Pentaheliks diantaranya adalah pemerintah, akademisi atau pakar, masyarakat, lembaga usaha dan media massa.
Nurdin menyebutkan bahwa pemerintah tidak mungkin sendiri untuk menghadapi pandemik Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Peran masyarakat maupun sukarelawan sangat dibutuhkan.
“Tenaga kesehatan, stakeholder, relawan, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, PKK, Dekranasda dan seluruh elemen masyarakat, serta tidak kalah penting adalah kesiapan TNI dan Polri, menjadi salah satu garda terdepan menjadikan semua pihak menjadi kuat untuk bersama-sama melewati krisis ini,” kata Nurdin Abdullah.
Relawan memiliki peranan yang signifikan dalam penanganan virus corona. Unsur ini dapat membantu tenaga medis sebagai garda terdepan dalam penanganan pandemi ini. Mereka dapat bergerak cepat memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga. Adapun kasus pertama di Sulsel tercatat pada 19 Maret 2020.
Di Sulsel peranan relawan juga dilibatkan, termasuk mereka yang berasal dari unsur mahasiswa sebagai relawan pendamping di Program Duta Wisata Covid-19, juga penyintas yang kemudian aktif berperan di tengah masyarakat.
Hal ini juga yang menjadi perbincangan Nurdin Abdullah dengan Koordinator Program Psikologi Sub Bidang Medis, Bidang Koordinasi Relawan Satuan Tugas Covid-19, Dr. Endang Mariani, M.Psi. di Hotel Swiss-Belhotel, Jalan Ujung Pandang Makassar, 14 November 2020. Hotel lokasi penanganan masyarakat positif covid tanpa gejala dalam Program Wisata Duta Covid-19.
Sebagai salah satu anggota Bidang Koordinator Relawan Satgas Penanganan Covid-19 bersama BNPB, Endang juga terlibat dalam memberikan pelatihan kepada liaison officer (LO), fasilitator dan relawan yang ada di Makassar, Gowa dan Maros yang rencananya akan dibuka langsung oleh Gubernur Sulsel, pada 20 November 2020. Pelatihan berlangsung dari 18 hingga 25 November mendatang dengan materi di antaranya adalah prinsip-prinsip kerelawanan, perubahan perilaku, komunikasi efektif, isu lokal dan protokol kesehatan.
“Jadi nanti para relawan yang akan dilatih mulai dari LO dan para fasilitatornya. Para fasilitator yang berasal dari relawan di daerah terkait, akan melatih relawan dan calon relawan lainnya dari tiga kabupaten/kota, yakni Makassar, Gowa dan Maros. Setelah dilatih, nanti mereka akan menyebar ke masyarakat untuk membantu mengedukasi dan melakukan sosialisasi secara masif tentang perubahan perilaku sebagai bentuk adaptasi kebiasaan baru,” sebut Endang.
Imbuhnya, dalam menghadapi covid-19, penting bagaimana bisa tetap bertahan, tidak terpapar dan ‘terkapar’ baik dari sisi kesehatan fisik dan psikologis, ekonomi maupun kehidupan sosial. Perubahan perilaku dan adaptasi norma dan kebiasaan baru di tengah masyarakat bisa menjadi kunci dalam pencegahan dan penanggulangan pandemi ini. Kehidupan bisa tetap berjalan tanpa harus terpenjara dengan ketakutan dan kekhawatiran.
Tidak ada cara lain. Paling utama adalah, bagaimana perilaku dalam menerapkan protokol kesehatan yang tepat diterapkan di masyarakat untuk mencegah dan menekan penularan virus. Seperti penerapan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
Di Sulawesi Selatan sebutnya telah diterapkan 3T dalam hal ini testing (pemeriksaan), tracing (pelacakan), dan treatment (pengobatan) dengan baik. Demikian juga dengan kampanye aman, iman, dan imun dalam menghadapi pandemi. Bukan sekedar slogan.
Dalam pelatihan yang akan diberikan juga diharapkan dapat tergali solusi dari kearifan lokal (local wisdom) dari peserta.
“Jadi pada saat pelatihan nanti diharapkan adanya juga kearifan lokal yang tergali. Hal ini cukup penting karena adaptasi kebiasaan baru tidak dapat diseragamkan begitu saja penerapannya. Meskipun ada prinsip-prinsip umum, masyarakat di setiap daerah punya budaya, adat istiadat dan kebiasaan masing-masing yang punya kekhasan dan tidak bisa begitu saja disamaratakan. Masyarakat Sulawesi Selatan tentu punya kearifan budaya atau kearifan lokal yang dapat digunakan untuk bisa beradaptasi dengan kondisi akibat pandemi ini,” jelasnya.
Kehadiran satuan tugas ini juga untuk mempelajari praktik terbaik (best practice) yang ada di Sulsel. Keberhasilan yang bisa menjadi model contoh untuk daerah lain. Para relawan juga diharapkan dapat memberikan pengalaman dan masukan, sehingga akan terjadi interaksi membangun.
Lanjut Endang, bahwa pelibatan penyintas menjadi relawan dan duta di tengah masyarakat adalah hal yang menarik. Sebuah pendekatan yang mungkin belum menjadi fokus perhatian di daerah lain. Para duta ini, dapat menjadi agen-agen perubahan di tengah masyarakat. Pendekatan yang dilakukan akan lebih dalam karena pernah terpapar dan mengalami sendiri.
“Kalau yang belum kena, mungkin apa yang disampaikan cuma teori berdasarkan pengetahuan. Beda Kalau sudah pernah kena dan mengalami langsung. Pengalamannya itu akan bisa lebih dalam. Bagaimana agar tidak terpapar, apa yang dirasakan, bagaimana bisa survive. Mereka pun bisa meminta orang lain untuk tidak memberikan stigma. Termasuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya perubahan perilaku, serta bagaimana cara mengkomunikasikannya kepada orang lain,” sebutnya.
Endang menjelaskan bahwa para relawan yang telah dilatih akan melaporkan kegiatan yang mereka lakukan di tengah masyarakat melalui aplikasi INARISK yang dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Termasuk solusi mereka dalam penanganan Covid-19.
Dialog dengan Gubernur Sulsel pada kesempatan ini juga terkait bagaimana meningkatkan imunitas masyarakat dalam masa pandemi Covid-19 ini. Dalam kondisi virus masih ada, vaksin masih diusahakan di seluruh dunia, obatnya juga belum ada. Imunitas yang terbangun dari dalam tubuh, merupakan sistem pertahanan tubuh dan obat terbaik saat ini.
“Apa yang disampaikan Pak Gub tadi, sangat tepat. Imunitas paling penting. Sekarang bagaimana imunitas itu bisa ditingkatkan. Tentu bukan hanya pakai obat-obatan atau vitamin. Menjaga kondisi psikologis menjadi sangat penting. Sebisa mungkin menghindari kecemasan yang berlebihan, stress dan depresi, karena kondisi psikologis berpengaruh pada produksi hormon-hormon di dalam tubuh yang bisa melemahkan maupun memperkuat imunitas kita,” jelasnya.
“Sebenarnya, Allah sudah melengkapi manusia dengan kecerdasan tubuh alami. Termasuk bagaimana menghadapi virus. Cara kita dapat mengaktivasi, perlu dipelajari. Berjemur matahari pagi dengan cara yang tepat, adalah salah satu upaya efektif untuk meningkatkan imunitas. Menarik tadi apa yang disampaikan Pak Gubernur terutama tentang Wisata Duta Covid, sebagai cara menghadapi covid 19 dari segi kesehatan fisik dan psikologis,” tambahnya.
Diketahui Pemprov Sulsel sendiri dalam Program Duta Covid-19 sangat menekankan dukungan psikososial kepada para peserta sebagai komponen penting dalam melawan covid. Para praktisi kesehatan jiwa, seperti psikolog, ikut dilibatkan. Organisasi kesehatan dunia World Health Organization atau WHO juga mengapresiasi program ini.
“Yang pasti tadi kita sepakat bahwa bukan hanya ditangani dari sisi kesehatan fisik secara medis saja, tetapi dari sisi psikologis, spritual, budaya dan yang tidak kalah penting adalah dari sisi ekonomi yang punya dampak luar biasa. Jadi penanganannya harus holistik,” tegasnya.
Endang yang juga merupakan seorang dosen dan peneliti di bidang psikologi sosial di Universitas Indonesia ini mengungkapkan, bahwa Nurdin juga meminta kepada dirinya agar penanganan Covid-19 di Sulsel untuk dibukukan. Termasuk pelatihan kepada para relawan. Terutama dari sentuhan kemanusiaan atau humanistik dan pendekatan kesehatan jiwa masyarakat atau psikososial.
Buku ini akan menekankan aspek ilmiah berdasarkan riset, termasuk teori di dalamnya, dan bagaimana pengaplikasiannya. Demikian juga dengan kerangka teoretis dan cara berpikir dari Gubernur Sulsel dalam menentukan keputusan.
“Saya ingin melihatnya secara terukur. Seharusnya, semua bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah atau siapapun harus terukur, base line-nya bagaimana, intervensinya seperti apa, end line-nya bagaimana. Apakah ada perubahan signifikan sesuai tujuan? Jadi tadi Pak Gub tanya, kalau sudah dilatih mau disuruh apa mereka? Nah pemikiran seperti ini yang menurut saya sangat diperlukan,” jelasnya.
Misalnya dalam pembagian masker. Jangan cuma dibagikan, tetapi harus dibarengi dengan edukasi cara pemakaian yang baik dan benar. Apa akibatnya jika tidak dilakukan secara benar, harus jelas disampaikan.
“Apa yang ingin dicapai adalah bagaimana kita ajak semua orang taat pada protokol kesehatan. Tentu bukan karena ada pengawasan saja, tetapi memunculkan kesadaran,” pungkasnya.
Diketahui, Endang yang juga peneliti di Laboratorium Psikologi Politik UI dan Laboratorium Riset Indonesia ini, bersama tim pernah menulis sebuah buku dengan judul “Revolusi Mental: Belajar dari Bantaeng”. Buku yang ditulis berdasarkan riset kualitatif dan kuantitatif tentang kepemimpinan Nurdin Abdullah sebagai bupati di Bantaeng dalam menerapkan revolusi mental.(*)