Ket: Sukri dan keluarga, korban tewas kecelakaan di KM7 Lapadde, Minggu 25/6. (foto: ist)
PIJARNEWS.COM — Di saat seluruh umat Islam bersuka cita menyambut hari kemenangan dengan takbir dan tahmid di Idul Fitri, ada suasana yang berbeda yang saya rasakan jika dibanding pada tahun-tahun sebelumnya, setelah menyaksikan peristiwa nahas yang menimpa satu keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu, serta seorang anak laki-laki dan perempuannya yang meregang nyawa secara tragis Minggu 25 Juni 2017 bertepatan dengan 1 Syawal 1438 Hijriyah.
Sebagai manusia biasa, rasa sedih yang mendalam langsung menyeruak di benakku, pasalnya bocah laki-laki yang turut menjadi korban usianya kira-kira tak jauh berbeda dengan anak sulungku.
Sebagai seorang Jurnalis tentu naluri untuk mengabadikan peristiwa itu langsung terlintas di kepala, namun saat mengambil gambar peristiwa nahas itu, tiba-tiba saya diperhadapkan pada pilihan yang sulit, yakni naluri sebagai seorang Jurnalis atau naluri kemanusian, karena korban seorang ibu yang diketahui bernama Santi yang terpental di pinggir jalan yang agak curam sulit dievakuasi lantaran hanya ada dua orang laki-laki yang mengangkatnya yakni petugas dari emergency call centre 112 Parepare, dan salah seorang warga.
Duh… sungguh sesak nafas ini melihat tragedi kemanusian tersebut, karena sebagian warga yang menyaksikan peristiwa itu lebih memilih peristiwa tragis ini sebagai ajang tontonan dibanding mengambil peran untuk turut mengevakuasi korban, saya pun memutuskan untuk mematikan kamera dan memilih mengangkat korban ke mobil ambulance setelah mendengar kemungkinan ibu itu masih hidup.
Memang menjadi dikotomi yang saling bertentangan. Dari sisi kemanusiaan, saya sebagai manusia tentulah “hero”. Akan tetapi di sisi jurnalistik, saya tergolong benar-benar “zero”, dan tentu sebagian dari kalangan saya mungkin ada yang menganggap saya tidak bertanggung jawab pada profesi “suci”-nya yang seharusnya mengabarkan berita penting kepada pemirsa.
Bagi saya menjadi seorang Jurnalis bukan hanya persoalan mengabadikan momen, akan tetapi juga kemampuan membaca kondisi dan mengelola sisi humanis yang kerap menjadi dilema, dalam beberapa kondisi, seringkali Jurnalis kerap terbentur dengan peran kami apakah sebagai Jurnalis atau manusia.
Terlebih saat diperpahadapkan dengan kondisi menyaksikan sebuah musibah, apakah ia akan menolong korbannya sebagai manusia atau mendahulukan meliput peristiwa tersebut sebagai seorang jurnalis. “Dalam kondisi seperti itu saya akan memilih menolong korban dulu, baru setelah itu meliput. Karena kita dilahirkan sebagai manusia saat pertama lahir ke bumi, bukan sebagai Jurnalis,”.
Yang saya petik dari peristiwa ini adalah, tentu mengigatkan kita tentang kematian, “Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27). Ya… semua yang hidup pasti akan mati, mati tak mengenal momen, tempat, sendiri-sendiri, atau bersamaan dengan keluarga kita, mati juga tak mengenal siapa dia, apakah warga biasa, pejabat, atau kita sebagai Jurnalis. (*)
Parepare, 25 Juni 2017, bertepatan 1 Syawal 1438 H
Abdillah MS
Pemimpin Redaksi Pijarnews.com
Koordinator Perhimpunan Jurnalis Ajatappareng (PIJAR)