Tanggal 7 Februari, bagi warga dan santri Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) diperingati sebagai hari lahir (ulang tahun), dan untuk tahun ini merupakan ulang tahun yang ke-70. (7 Februari 1947 – 7 Februari 2017).
Kelahiran organisasi Darud Da’wah wal Irsyad (DDI), minimal dapat dilihat dari dua sisi.
Kelahiran DDI dapat dilihat dari sisi kesadaran para ulama ahlu al-sunnah wa al-jama’ah terhadap pentingnya sebuah lembaga yang menyatukan langkah dan usaha pendidikan dan da’wah yang dikembangkan dalam bingkai ajaran Islam ahlu al-sunnah wa al-jama’ah. Kesadaran ini yang mendorong dilakukan musyawarah di Wt. Soppeng pada bulan Februari 1947, yang bertepatan dengan bulan maulid ( 16 Rabiul Awal 1366 H), dan dalam musyawarah tersebut, disepakati mendirikan sebuah organisasi (perkumpulan) yang dinamakan Darud Da’wah wal Irsyad (DDI). Beberapa lembaga pendidikan (madrasah) yang sdh berdiri sebelumnya melebur dalam organisasi baru tersebut, seperti Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso dengan cabang-cabangnya, Madrasah al-Naajiyah di Pattojo Soppeng, Madrasah Nasrul Haq di Amparita yang dikelola oleh Anregurutta KH al-Yafie’ (ayah dari anregurutta KH.Muh.Ali al-Yafie’), Madrasah Tarbiyah al-Islamiyah yang dikelola oleh Anre Gurutta KH. Muh.Abduh Pabbaja di Allekkuang, termasuk juga madrasah yang di kelola oleh Al-mukarram annangguru Imam Lapeo di Lapeo. Serta beberapa pengajian yang dipimpin oleh para ulama yang hadir dalam pertemuan tersebut, atau sepakat dgn hasil pertemuan tersebut, seperti pengajian yang dikelola oleh Syech Abdurrahman Firdaus di Parepare, dan yang lainnya. Tetapi tidak bisa disangkal MAI Mangkoso dan cabang-cabangnya yang dipimpin oleh Anregurutta KH. Abdrrahman Ambo Dalle yang dominan sekaligus menjadi tulang punggung dari organisasi baru tersebut. Itulah sebabnya, dalam musyawarah di Wt.Soppeng ini diputuskan menunjukka KH. Abdurrahman Ambo Dalle sebagai Rais (ketua), serta KH.Muh. Abduh Pabbaja sebagai Katib (Sekretaris).
Pentingnya membangun sebuah organisasi untuk mewadahi upaya yang dilakukan oleh para pengelola pendisikan dan da’wah yang dikembangkan dalam manhaj aswaja di bumi nusantara, khususnya di wilayah luar jawa (Sulawesi) dianggap penting, apalagi pada saat itu, organisasi seperrti NU secara struktural belum sampai ke Sulawesi, yang sdh ada di Makassar adalah Organisasi Syarikat Islam (SI), dan Anregurutta Ambo Dalle menjadi salah seorang yang pernah belajar di sekolah SI. Di sisi lain, gerakan dan ajaran puritanisme Islam yang disounding Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi, nampaknya sudah mulai dirasakan oleh para ulama tersebut, dan pada sisi lain pencampuran antara ajaran spiritual lokal dengan ajaran Islam juga sangat terasa dalam pemahaman bahkan amalan masyarakat Islam di Sulsel. Dalam konteks inilah menurut saya mengapa para ulama memandang penting hadirnya sebuah wadah berkumpul ini.
Ada hal menarik dan menurut saya perlu dikaji lebih jauh, meski bukan alasan untuk mengatakan mereka berbedah–, tetapi dalam beberapa hal ada sedikit perbedaan antara Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle dengan guru beliau Anre Gurutta Al-‘alimu al-‘allamah KH. Muh. As’ad di Sengkang. Misalnya dalam fiqh, kalau Anre Gurutta Sade’ menyampaikan khutbah jum’at menggunakan Bahasa Arab, maka Anre Gurutta Ambo Dalle, bisa menggunakan bahasa lokal (Bugis), yang penting rukun khutbahnya terpenuhi. Meski ini bisa difahami, karena Anregurutta Sade’ lahir dan besar di tanah Mekkah, dan dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, bahwa orang tua Anregurutta Sade’ waktu itu mengkhawatirkan putranya terpengaruh dengan ajaran dan faham Wahabi yang mulai berkuasa pada waktu itu di Saudi, sehingga memilih untuk meminta putranya kembali ke tanah Bugis (kampung leluhurnya) untuk berda’wah dan mengajarkan Islam.
Kesadaran untuk mengawal dan mengembangkan Islam dalam manhaj aswaja yang telah dianut dan diyakini oleh masyarakat Islam nusantara inilah yang menyatukan semangat para ulama untuk berkumpul bersama mendeklarasikan organisasi DDI pada tanggal 7 Februari 1947, yang dihadiri oleh ulama-ulama seperti Anregurutta KH. Abdurrahman Ambo Dalle, anregurutta KH. Muh. Abduh Pabbaja, Anregurutta KH. Daud Ismail, Syech Abdurrahman Firdaus, KH.Tahir Usman, Qadhi Balanipa Sinjai, Qadhi Mallusetasi, dan yang ulama-ulama lainnya.
Kelahiran DDI, juga dapat dilihat dari sisi upaya penguatan dan konsolidasi komitmen kebangsaan, dengan menjadikan DDI sebagai wadah untuk menggelorakan pentingnya kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Pemilihan Wt. Soppeng sebagai tempat berkumpul dan bermusyawarah, adalah upaya untuk menghindari tekanan dan kecurigaan kolonialis Belanda yang ingin kembali menguasai dan menjajah bangsa Indonesia, karena Wt. Soppeng waktu itu masuk dalam wilayah afdheling Bone, dan dianggap sedikit longgar pengawasan Belanda. Ini tentu berkaitan dengan sikap para ulama, khususnya Anregurutta Ambo Dalle yang anti kolonialis dan telah menjadikan dirinya sebagai tempat meminta do’a dan “berkah” para pejuang sebelum mereka berangkat ke medan tempur.
Dalam hal semangat anti kolonialis ini, juga ditanamkan pada santrinya. Beberapa santri dan guru yang diutus oleh Anregurutta untuk mengajar ke cabang, ikut berjuang dan gugur di medan perang, seperti Muhammad Shaleh Bone dan Muhammad Sofyan dari Toli-toli yang diutus sebagai guru di cabang DDI Baruga Majene, gugur dalam peristiwa Wasterling di Majene. Anre Gurutta KH. Abduh Pabbaja, aktif dalam gerakan perjuangan melawan pasukan Belanda. Dari sisi ini, jelas bahwa komitmen kebangsaan DDI sejak awal didirikan sampai saat ini adalah sebuah realitas.
Dalam perjalanannya, perkembangan DDI mengalami berbagai tantangan, baik ekaternal maupun internal. Tantangan itu adalah sesuatu kemestian dalam sejarah organisasi, yang diharapkan dapat lebih mendewasakan dan sekaligus menguji keshahihan dasar dan tujuan awal didirikannya organisasi tersebut. Peristiwa diculiknya Anregurutta Ambo Dalle oleh kelompok DI/TII dibawah pimpinan Kahar Muzakkar tahun 1955, tidak menjadikan DDI surut apa lagi bubar, demikian pula “badai” kebijakan Orde Baru yang menghendaki dukungan secara sukarela atau terpaksa semua komponen bangsa, yang kemudian menuntut Anre Gurutta Ambo Dalle sebagai ketua DDI, setelah melakukan istikharah memutuskan –secara pribadi– bergabung dengan Partai Golkar melalui pintu Guppi, pada Pemilu tahun 1977. Keputusan Anre Gurutta Ambo Dalle bergabung ke Partai Golkar, menimbulkan reaksi besar di internal DDI, yang dominan waktu itu memilih PPP, sebagai peleburan partai-partai berbasis Islam. Tetapi sekali lagi DDI mampu lolos dalam ujian dan tantangan tersebut, sebagai bukti dasar dan tujuan yang dipilih adalah sesuatu yang sangat kuat dan mengakar dalam semangat ke-Islaman yang tumbuh dan berkembang dalam Negara Kesatuan Rwpublik Indonesia (NKRI).
Anre Gurutta Ambo Dalle beserata teman sejawat yang juga murid-murid dia telah membuktikan kebenaran pilihan dan komitmen mereka dalam membangun, mengembangkan dan memelihara organisasi DDI, rumah besar (دار) sebagai pusat pengembangan dan penyebarluasan da’wah dan pendidikan yang dapat memberi arah pada kebaikan yang hakiki ( الدعوة و الارشاد) mereka telah lakukan dengan baik, mereka juga telah mencetak dan menelorkan banyak murid yang diharapkan dapat melanjutkan warisan perjuangan mereka. Mereka juga telah mencontohkan dan mengajarkan nilai-nilai yang dapat menyanggah keberlangsungan dan keberhasilan usaha dan perjuangan mereka. Nilai utama yang diajarkan oleh Anre Gurutta, adalah nilai ketulusan dan keikhlasan dalam membangun DDI, simbol ketulusan itu, beliau sampaikan dengan kalimat, “Anukku, anunna DDI. Anunna DDI, tania anukku”. Anregurutta juga mengajarkan perlunya generasi DDI memiliki visi kedepan yang kuat. Anregurutta mau menerima seorang yang tidak sekeyakinan dengan beliau (Mr.Robert) untuk tinggal dan mengajar bahasa Inggris di pesantren, karena anregurutta menginginkan santrinya masuk dalan percaturan dunia global.
Visi pelayanan pada umat anregurutta sangat kuat, dia tidak pernah menolak permintaan masyarakat yang datang pada dia untuk memberi nasehat (da’wah) atau sekedar memintakan, tanpa membedakan status dan asal mereka, sehingga pesantren yang dia kelola, adalah pesantren yang ada untuk menjawab kebutuhan warga pada waktu itu.
disamping nilai-nilai tersebut, anregurutta juga sangat piawai dalam membangun relasi dan jaringan di luar pesantren, meski demikian dia juga selalu menjaga nilai yang diyakininya.
DDI di usia yang ke-70, bukanlah usia yang muda, bahkan usia yang sdh matang dan dewasa, tantangan kedepan, adalah menjaga dan memelihara warisan suci ini, dengan nilai dan ajaran yang juga telah diwariskan. Jika nilai dan ajaran itu ditinggalkan, maka warisan itu juga bisa stagnan dan tersandera. Tidak bisa dipungkiri, ada masa transisi “panjang” pasca wafatnya Anregurutta tahun 1996 yang lalu, masa transisi ini nampaknya tidak dapat dilalui dengan mulus, bahkan nampaknya terasa sampai sekarang. DDI juga diposisikan pada kondisi yang tidak strategis, di satu sisi harus bangkit menjawab tantangan perkembangan zaman, dinamika kehidupan masyarakat yang terus bergerak, tuntutan kebutuhan warga DDI di semua lapisan, dan semua sektor khususnya yang mejadi ruh perjuangan DDI semakin kompleks. Dan di sisi lain, generasi DDI masih berdiskusi tentang format DDI, apakah mesti kembali ke format awal (mabda’) sesuai potret awal berdirinya, menjadikan ulama (kiyai) yang menjadi sentral kepemimpinan seperti yang dilakoni oleh Anregurutta Ambo Dalle, atau menata organisasi secara modern dengan menjadikan nilai awal (mabda’) sebagai nilai yang mesti diterjemahkan dan difahami dalam konteks kekinian. Nilai (mabda’) yang dimaksud adalah komitmen DDI untuk fokus pada upaya pengembangan triologi DDI, atau tiga garapan pokok DDI, yakni pendidikan, da’wah dan usaha-usaha sosial, sesuai dengan manhaj ahlu al-sunnah wa al-jama’ah yang lahir dan tumbuh di bumi nusantara.
Saya lihat, diskusi para generasi pelanjut masa transisi ini, masih belum selesai. Dan mungkin inilah tantangan tersendiri yang mesti dihadapi dipase ini. Semoga tidak larut dalam diskusi panjang, lalu lupa dan abai pada apa yang mesti dilakukan….
Selamat Harlah DDI yang ke-70.
Saiful Jihad (Santri DDI)