MAKASSAR, PIJARNEWS.COM—Beragam reaksi masyarakat menyampaikan duka citanya kepada mendiang BJ Habibie. Mulai mengirimkan doa, salat gaib, hingga menuliskan curahan hatinya akan sosok manusia jenius itu. Dari penelusuran Pijarnews.com di Facebook, salah satu akun atas nama Imam Dzulkifli, menuliskan tentang BJ Habibie. Berikut tulisannya:
Isa Anshori akhirnya tidak akan pernah lagi melihat lelaki berkopiah hitam itu duduk memegang sebuah pusara. Lelaki yang datang setiap hari Jumat untuk menjenguk kekasih.
Sudah beberapa Jumat ini, lelaki itu memang tak datang lagi. Hanya beberapa orang yang dia utus mewakili. Membawa bunga dan doa untuk perempuan yang di nisannya tertulis nama Hasri Ainun Habibie itu.
Isa sudah menebak, Rudy, nama lelaki itu sedang tidak begitu sehat. Tak ada yang bisa menahannya untuk berziarah ke makam di Blok M 121 itu kecuali perawatan intensif. Atau sesekali lawatan ke luar negeri.
“Ini kok hanya stafnya terus yang ke makam Bu Ainun, ya saya kira sakit,” kata Isa kepada CNN.
Dan tebakan Isa benar. Rudy sakit. Terbaring di RSPAD Gatot Soebroto.
Hingga pada usai Magrib kemarin, kabar itu tiba ke ponsel Isa. Dia sudah di rumah saat itu. Tetapi ini tidak bisa ditunda. Sebuah lubang seluas 200 x 70 meter harus dia gali malam itu juga. Bergantian dengan 14 temannya, petugas di situ juga.
Lubang itu ada di Blok M 120. Persis di samping makam Ainun. Dan jasad yang akan dibaringkan di situ adalah jasad Rudy. Lelaki paling setia yang pernah dikenal Isa sepanjang hidupnya.
Mulai hari ini, Isa sebenarnya justru bisa melihat Rudy setiap hari. Tetapi pusaranya saja. Bukan lagi wajahnya yang teduh dan khusyuk mengirim doa.
Ini sungguh kehormatan, menjadi salah satu yang bertugas menyiapkan tempat peristirahatan terakhir untuk Rudy. Baharuddin Jusuf Habibie lengkapnya, seseorang yang pandai membuat pesawat dan pernah menjadi presiden di negeri ini. Seseorang yang namanya mahsyur hingga nun jauh di Eropa dan Amerika, sangat jauh dari Parepare kota kelahirannya malah.
Rudy, atau kita lebih sering menyebutnya Habibie, adalah salah satu pria paling cerdas yang diakui dunia. IQ-nya di atas Einstein, Galileo, hingga Newton. Pesawat-pesawat yang lalu lalang di ribuan bandara bisa memiliki bobot lebih ringan 25 persen dari masa-masa sebelumnya karena teori yang ditemukannya.
Habibie sekaligus adalah salah satu pria paling romantis di planet ini. Cintanya hanya untuk Ainun. Bahkan ketika Ainun telah lama pergi karena kanker. Isa siap menjadi saksi betapa Habibie membawa cinta yang besar dan sama setiap kali datang ke makam Ainun.
Dan mulai hari ini juga, Habibie selamanya akan ada di samping Ainun. Jasadnya. Ruh mereka mungkin akan bertemu di surga.
Tetapi tahukah Anda, ada perempuan yang lebih dahulu membuat Habibie menangis tersedu-sedu? Perempuan yang menyeberangkannya dari Parepare ke Jawa saat usianya baru 13 tahun.
Perempuan bernama Tuti Marini itu terpaksa melepas anak lelaki yang begitu disayanginya agar bisa leluasa menuntut ilmu. Anak lelaki yang wajahnya sangat mirip dengan suaminya, Alwi Abdul Jalil Habibie.
Di sebuah tayangan, Habibie pernah menceritakan itu. Berlinang air matanya mengenang ketegaran ibunya. Perempuan yang berjuang membesarkan anak-anaknya seorang diri karena suaminya berpulang cepat lantaran serangan jantung. Alwi wafat saat Rudy masih kanak-kanak.
Kalau Anda menemukan quote Habibie bahwa selain kecerdasan, seseorang juga perlu bermodalkan kerja keras, itu mungkin kalimat warisan dari ibunya.
Akhirnya semuanya akan jadi kenangan. Saya sendiri insyaallah akan selalu mengingat Habibie. Sebab di rumah kami ada Ayyubi.
Anak laki-laki yang di usianya yang belum 4 tahun ini, sudah memiliki dua kesamaan dengan Habibie; bola mata besar dan kecintaan yang dalam pada Indonesia.
Tadi pagi Ayyubi merengek. Minta dipasangkan juga bendera merah putih, setengah tiang. Dia pun sudah paham, bangsa ini sedang berduka.
Selamat jalan, Eyang. Tak akan terwakilkan jasa-jasamu di ribuan tulisan sekalipun. Tetapi izinkan kami mendoakanmu juga melalui teks. (*)
Tulisan dikutip dari akun Facebook, Imam Dzulkifli.
Editor: Dian Muhtadiah Hamna