Terik matahari siang itu sangat terasa hingga di sudut meja warung kopi yang padat dengan pelanggan setianya, ketika saya tengah menyeruput suguhan kopi, seorang ibu berusia sekitar tujuh puluh tahunan, berperawakan sedang dengan penampilan lusuh, sambil berjalan tertatih-tatih mendekati saya dan menengadahkan tangannya degan muka memelas dan berkata “minta sedekahta pak” tanpa fikir panjang saya pun mencoba merogoh kocek dan berniat, berapa pun uang keluar dari usi kantongku akan saya berikan pada ibu tersebut. Tapi ternyata hanya ada beberapa lembar uang kertas ribuan, dalam hati saya bertutur “Ahh…. Sudahlah mungkin segini saja rejeki ibu ini melalui perantara isi kantong saya”
Ibu itu pun pergi meninggalkan meja saya dan beranjak ke meja lain, dari gelengan kepala beberapa pengunjung lain tampaknya terlihat tidak bersedia memberinya uang, namun tetdengar kalimat menggerutu “jangan biasakan memberi uang sama pengimis, itu sama halnya kita mengajarinya jadi pemalas” mendengar kata itu lalu kuhela nafas panjang.
Melihat kejadian tadi, saya mencoba meriview ingatan seorang sahabat se profesi saya sebagai seorang jurnalis, saya pun bertanya kondisi seperti apa yang bisa membuat kamu merasa menolong seseorang dengan profesi kita, dengan spontan ia berkata, ketika kita sudah memberitakan seseorang yang mengalami kondisi yang kurang beruntung, lalu kemudian orang berbondong-bondong memberinya bantuan, sambil memegang dadanya, ia berkata disitu kami merasakan memilik kepuasan batin.
Alam bawah sadar saya pun mulai mengorek ingatan saya, pada apa yang pernah saya alami, ketika kami mengantar seorang donatur yang hendak membantu seorang gadis yang terpaksa harus mengemis buat biaya operasi ayahnya yang mengalami gangguan katub jantung, usai mengantar sang donatur itu, saya kembali ke rumah dan menemui anak pertamaku yang sedang asyik bermain dengan kawannya, lalu iya menyambutku dengan memangilku ayah, besok hari terakhir saya membayar uang perpisahan sekolah, saya pun lalu bergegas ke mesin ATM terdekat, duh.. Ternyata isi rekeningku nominalnya tidak cukup untuk membayar uang perpisahan anakku, kembali saya hela nafas panjang dan berharap ada rejeki halal dalam waktu dekat buat biaaya perpisahan anakku, dari peristiwa itu saya belajar bahwa menolong itu suatu keikhlasan, suatu ketulusan, tidak boleh ada pamrih, maka menolonglah sepanjang kia bisa.
Kalau kita cermati di sekitar kita yang begitu banyak orang menjadi pengemis, terkadang juga mungkin terbesit di benak kita apakah mereka yang mengemis ini layak dibantu? Tentulah, semuanya berpulang kepada niat tulus yang menari-nari di dalam lubuk hati kita yang terdalam.
Lagipula, perbuatan meminta-minta memang tergolong kurang baik. Sebab bisa kita mendengar kalimat lebih baik tangan di atas atau menolong, dari pada menerima pertolongan. Setidaknya, kita berupaya keras agar kita tidak meminta pertolongan, seperti halnya pengemis.
Kalau pun kita harus menolong, sepatutnya kita tidak menjadikan orang yang ditolong berada pada posisi mengemis. Artinya lebih jauh, kalau kita memang harus menolong, maka janganlah membuat orang yang akan ditolong itu menghambakan dirinya, terlebih bila ternyata bila orang menolong itu mempisisikan dirinya sebagai super hero dan memiliki jasa baik.
Tanpa bermaksud menggurui, orang tua saya pernah berkata, berusahalah terus berbuat baik meski pun perbuatan baik itu belum tentu dinilai baik, itu artinya sama dengan mereka menabur benih yang banyak, maka suatu saat dia akan menuai hasilnya kelak di kemudian hari, tentu hal ini terus berlaku, sebab menolong yang banyak sama halnya menabung amal kebaikan yang akan menolong kita, bila mana suatu saat kita akan berhadapan dengan kondisi yang sangat sulit. (*)
Abdillah MS
(Ketua Perhimpunan Jurnalis Ajatappareng – PIJAR)
(Pemimpin Redaksi PIJARNEWS.COM)