PAREPARE, PIJARNEWS.COM–Fenomena figur politisi pindah partai jelang Pemilu di Indonesia marak terjadi, baik figur dari daerah hingga nasional. Hal tersebut sebenarnya sudah biasa dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Akademisi Hukum Tatanegara IAIN Parepare yang konsen dalam bidang politik, Rusdianto Sudirman mengistilahkan figur politisi yang pindah partai sebagai politisi kutu loncat. “Fenomena politisi kutu loncat marak terjadi menjelang pemilihan anggota legislatif (Pileg) 2024,” kata Rusdianto kepada Pijarnews.com, Rabu (3/5/2023).
Rusdianto menilai hal tersebut sudah biasa terjadi dalam kancah perpolitikan di Indonesia. “Ini juga karena partai politik (Parpol) dan publik membuka jalan dan membiarkan praktik pindah partai atau kutu loncat jelang pemilu berkembang pesat,” ujarnya.
Dalam konteks ini, pemilu diperlakukan hanya sebagai momentum untuk menduduki jabatan tanpa kesungguhan untuk memikirkan persoalan kebangsaan dengan bekal ideologi yang memadai.
Lebih lanjut, Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Forum Advokat dan Pengacara Republik Indonesia (FAPRI) Kota Parepare itu berpendapat, mudahnya caleg berpindah Parpol untuk bertarung di pemilu menjadi salah satu indikasi lemahnya pelembagaan politik partai.
“Dalam jangka panjang kondisi ini tidak sehat bagi demokrasi, karena aktivitas politik di partai didekati secara pragmatis bukan ideologis,” tandasnya.
Oleh karena itu, kata dia, perlu ada paksaan UU agar membatasi kader pindah-pindah partai menjelang pemilu.
“Misalnya kader parpol baru bisa di calonkan sebagai anggota DPR/DPRD minimal telah menjadi pengurus selama 5 tahun. Di calonkan sebagai Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota minimal pernah menjadi pengurus dan anggota partai selama 20 tahun,” pintah Rusdianto.
“Kita menginginkan parpol menawarkan konsep kenegaraan yang matang, untuk itu ideologi parpol harus betul di pahami dan dilaksanakan ketika kadernya terpilih di lembaga eksekutif maupun di legislatif,” ucapnya.
Sehingga jika ada caleg yang pindah parpol setiap pemilu dapat dipastikan partainya tidak memiliki basis ideologi yang kuat dan tidak memiliki konsep kenegaraan yang jelas. Pada akhirnya parpol hanya ibarat kendaraan politik yang hanya digunakan setiap 5 tahun sekali.
“Untuk itu, ke depan perlu ada restukturisasi kepengurusan partai politik, agar proses kaderisasi, pendidikan politik, dan rekrutmen politik benar-benar berjalan sesuai dengan ideologi dan konsep tujuan bernegara yang termaktub dalam pembukaan UUD NRI 1945,” jelas Rusdianto. (*)
Reporter : Wahyuddin