OPINI, PIJARNEWS.COM — Sepekan terakhir di akhir bulan pertama tahun 2019 menjadi ujian bagi masyarakat Sulawesi Selatan. “Banjir Mengepung Sulawesi Selatan”, demikian headline berita terupdate di layar-layar kaca. Hingga per 24 Januari 2019, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan mencatatkan 30 orang meninggal dunia, 25 orang hilang, 47 orang luka-luka, dan 3.321 orang mengungsi.
Selain itu, banjir mengakibatkan 76 unit rumah rusak, 2.694 unit rumah terendam, 11.433 hektare sawah terendam, sembilan jembatan rusak, dua pasar rusak, enam unit fasilitas peribadatan rusak, dan 13 unit sekolah rusak. Dan sejauh ini dampak banjir terparah selama satu dekade terakhir terasa di 10 daerah di Sulawesi Selatan. Bantaeng, Jeneponto, Gowa, Soppeng, Wajo, Sidrap, Barru, Pangkep, Maros, dan Makassar.
Terlepas dari tata kelola setiap daerah yang terdampak banjir, juga seperti apa partisipasi masyarakat dalam tindakan pencegahan banjir pada kehidupan sehari-hari di setiap daerah. Kejadian banjir ini sangat bisa menjadi momentum untuk meninjau ulang Ibu Kota Sulawesi Selatan, Makassar.
Makassar sebagai ibu kota saat ini telah merayakan hari kejadiannya yang ke 411 tahun. Makassar semakin menunjukkan tanda-tanda penuan dengan berbagai kompleksifitasnya. Dibandingkan misalnya dengan Kota Parepare yang di 17 Februari 2019 mendatang, masih berumur 59 tahun. Masih muda dengan gairah perkembangan yang terus bertumbuh. Parepare dalam tataran kota setingkatnya masih ‘virgin’ dan membutuhkan sentuhan ‘pernikahan’ yang membuatnya juga layak menjadi alternatif ibu kota.
Sebagai kota yang menerima amanah sebagai ‘ibu’, Makassar tentu punya dan diberikan banyak treatment khusus selayaknya ibu kota di suatu provinsi. Dengan umur yang menghampiri 5 abad itu, Makassar sepatutnya mulai menjadi kota yang semakin bijaksana. Paling tidak banjir tidak lagi terjadi, bagaimana caranya? Mungkin memang sudah seharusnya membatasi diri menanam beton dan menghabisi pepohonan. Dan penting untuk terus menumbuhkan sumber daya manusia agar menjadi developer kehidupan.
Langkah Gubernur Andalan Sulawesi Selatan, Prof. Nurdin Abdullah yang membagi beberapa zona untuk ia tempati berkantor terbilang langkah progresif, walau secara khusus belum maksimal mendukung pembangunan sumber daya manusia di daerah-daerah yang berada tak dekat dari ibu kota.
Di Kota Parepare sebagai contoh sederhana, untuk dapat menyandang Ibu Kota Sulawesi Selatan memang masih sangat jauh dan tentu akan memunculkan pertanyaan besar. Bagaimana Parepare bisa menjadi alternatif Ibu Kota Sulawesi Selatan?
Kota Parepare yang luasnya hanya 99.33km persegi tak mencukupi 100km persegi ini saja sama sekali belum memiliki Toko Buku representatif. Bagaimana mau jadi Ibu Kota?
Menyalahkan minat baca yang rendah, hingga Toko Buku tak hadir, saya kira bukan alasan yang tepat, karena bisa jadi buku kurang menjadi perhatian dari masyarakat maupun pemerintah Kota Parepare. Selain dari pada literasi, seni, dan budaya hanya sekedar menjadi pemanis pariwisata. Mungkin ini alasan kuat Parepare tidak menorehkan satupun event pada kalender tahunan pariwisata Sulawesi Selatan.
Pembangunan sumber daya manusia di Parepare juga masih mencari polanya, belum menjadi tujuan utama, karena suatu anggapan, mungkin tidak menguntungkan secara material. Padahal di beberapa kota dengan tingkat pemahaman literasinya yang tinggi mampu menjadi rujukan kota terbahagia skala internasional. Yang artinya disana tentu tidak ada banjir. Sebutlah misalnya Finlandia.
Yah, walau tidak menjadi rujukan utama, yang menjadikan suatu daerah sebagai ibu kota bukan semata tingkat pemahaman literasinya. Namun segelintir orang tetap mengupayakan gerakan literasi di Kota Habibie yang saat ini masih skala kecil dari satu titik ke titik yang lainnya di Kota Parepare. Tentu tujuannya bukan hanya menjadikan Parepare Ibu dari kota-kota yang ada di Sulawesi Selatan, namun lebih dari pada itu. Menjadi bagian dari Guardian of the Galaxy.
Dengan cara paling tidak pemahaman kolektif masing-masing yang terbentuk karena membaca sebagai salah satu jalur menjadi cerdas. Masyarakat tetap dapat menjaga kehidupan baik di Kota Parepare dengan membuang sampah pada tempatnya. Dengan itu semoga banjir atau tsunami tidak menjadi ujian di daerah ini. Bukankah ‘tindakan sederhana’ itu adalah cerminan keimanan.
Sesungguhnya, Parepare tanpa harus menjadi Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan pun, kota ini akan tetap menjadi kota yang dicintai masyarakatnya. Karena tanpa kita sadari kota ini telah menjadi ‘ibu’ untuk siapa saja, semoga kita sebagai masyarakat yang hidup di Parepare dapat merasakan kasih sayang itu. Dan sebagai anak, pantaslah kiranya kita terus mengupayakan dan mendoakan kebaikan-kebaikan untuk ibunya. Kota Parepare.
Dan pada akhirnya, kita tetap menjadi manusia yang biasa. Membantu sesama sekemampuan kita sangat diharapkan, begitu juga doa masih tetap menjadi hal terbaik yang bisa kita lakukan dengan hati. Karena menurut salah seorang Imam dari Tunisia, apa yang kita panjatkan tanpa hati hanya akan berakhir sebagai permintaan, bukan doa. Semoga hati kita berkenan menyampaikan doa terbaik untuk seluruh korban bencana banjir yang menyelimuti Sulawesi Selatan. Al Fatihah.
Penulis:
Ibrah La Iman
Rakyat Indonesia ber KTP Parepare