Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), M Ramli Rahim
MAKASSAR, PIJARNEWS.COM–Setelah mewacanakan pengapusan Ujian Nasional, pemerintah berniat menarik semua guru menjadi pegawai negeri sipil (PNS) pusat.
Saat ini, status ke-PNS-an guru masih dualisme. Guru taman kanak-kanak, SD sederajat hingga SMP sederajat itu menjadi “milik” pemerintah kabupaten/kota.
Guru sekolah menengah atas (SMA) sederajat itu di bawah kewenangan pemerintah provinsi (pemprov).
Presiden Jokowi menggulirkan wacana menarik kewenangan tata kelola guru yang sekarang berada di pemerintah daerah, dikembalikan lagi ke pemerintah pusat.
Ikatan Guru Indonesia (IGI) sangat berterima kasih kepada Presiden Jokowi ingin menarik penanganan guru yang saat ini ada di daerah ke pemerintah pusat.
“Penanganan teknis, kebijakan ada di pemerintah pusat. Bisa saja nanti misalnya, perhitungan kemendikbud seperti apa, guru ditarik lagi ke pusat. Bisa saja dilakukan,” ucap Jokowi di Karawang, Jawa Barat, Kamis (12/12/2019).
Hal ini disampaikan Jokowi ketika bicara soal penanganan teknis penghapusan ujian nasional (UN) dan diganti dengan asesmen kompetensi. Di mana selain siswa, penilaian juga dilakukan terhadap sekolah dan guru.
Ketua IGI, M Ramli Rahim, mengatakan, persetujuan Ikatan Guru Indonesia sebenarnya adalah wacana yang sudah cukup lama digulirkan oleh Ikatan Guru Indonesia.
Menurut Ramli Rahim, pelibatan guru dalam politik praktis menjadi masalah utamanya dan seringkali guru-guru kita harus menjalani hukuman yang sebenarnya dilakukan oleh para pimpinan daerah tanpa dasar yang cukup.
Apalagi jika dalam pilkada tersebut pimpinan daerah berposisi sebagai petahana.
“Selain itu penanganan guru oleh daerah sangat beragam sehingga menimbulkan kesenjangan antara guru di satu daerah dengan guru di daerah lain. Misalnya, kita membandingkan antara pendapatan guru di DKI Jakarta yang seluruhnya sama dengan upah minimum provinsi atau lebih dari itu dibanding dengan Kabupaten Maros yang memberikan upah hanya Rp100.000 per bulan,” jelas Ramli Rahim seperti dikutip dari Tribuntimur.com.
Ketimpangan lain, lanjut Ramli Rahim, adalah penggantinya pemerintah daerah mengusulkan PPPK ataupun formasi PNS karena ketidakseimbangan keuangan daerah.
Sehingga yang menjadi korban adalah guru-guru yang harus dibayar murah oleh pemerintah daerah.
Rekrutmen guru yang dilakukan di daerah, dinilai Ramli Rahim, juga sangat tidak jelas.
Pemerintah pusat melarang pengangkatan honorer, sementara di lapangan kebutuhan akan guru sangat mendesak baik karena pensiun masuk ke struktural atau diangkat menjadi kepala sekolah atau pengawas sekolah.
“Rekrutmen guru sangat tidak jelas prosesnya sehingga kualitas terabaikan. Bahkan empat kompetensi yang seharusnya dimiliki oleh guru sama sekali tidak terdeteksi dalam proses rekrutmen guru di daerah-daerah,” kata Ramli Rahim.
“Pengangkatan guru pun kadang sangat berlebihan meskipun semuanya berstatus non PNS terkadang kebutuhan guru hanya dua orang tapi yang diterima lima orang. Bukan karena kebutuhan sekolah, tetapi karena mengakomodasi orang-orang penting daerah yang mengajukan anak-anak mereka menjadi honorer di sekolah-sekolah.,” jelas Ramli Rahim menambahkan.
Masalah lain pendidikan di Indonesia, menurut alumnus Fakultas Matematikan dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Hasanuddin (Unhas) itu adalah alokasi anggaran pemerintah daerah terhadap pendidikan yang sangat minim.
Catatan Ikatan Guru Indonesia, enam kabupaten/kota dan satu provinsi di Indonesia yang menganggarkan APBD mereka di atas 20%.
“Karena itu IGU sangat setuju jika kewenangan guru ditarik ke pusat sehingga tak lagi terjadi saling menyalahkan antara pemda dan pemerintah pusat,” tegas Ramli Rahim.
UN Dihapus Duitnya Bisa Gaji Guru Honorer Rp 5 Juta/Bulan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, menghapus Ujian Nasional (UN) disayangkan oleh sejumlah aktivis dan pemerhati pendidikan di Sulsel.
Bukan karena mereka “cinta ujian nasional”.
Mereka menyayangkan keputusan Nadiem Makarim menghapus ujian nasional karena ditunda setahun lagi. Ujian nasional baru dihapus pada 2021.
Sistem ujian nasional yang berlaku saat ini tidak akan digunakan lagi pada 2021.
Ujian seperti yang kita kenal sejak 2005 ini akan diganti dengan penilaian (asesmen) kompetensi minimum dan survei karakter Pancasilais.
Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), M Ramli Rahim, menegaskan, pengapusan ujian nasional sudah sangat terlambat jika menunggu 2021.
“Penghapusan Ujian Nasional mulai tahun 2021 sesungguhnya sudah sangat terlambat. Ujian nasional sudah seharusnya dihapuskan mulai tahun 2020 ini. Mengapa? Karena ujian nasional selama ini lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya bahkan kita tidak menemukan manfaat sama sekali dari ujian nasional,” jelas Ramli Rahim.
Menurut Ramli Rahim, ujian nasional mengakibatkan siswa dan guru-guru kita lebih fokus menghadapi ujian dibanding mempersiapkan kemampuan siswa.
Bagi mereka, ujian nasional jauh lebih penting daripada bakat, kemampuan nalar, kemampuan sosial dan kepribadian, serta kemampuan dasar siswa.
“Ujian nasional selama ini hanya menghidupkan bimbingan bimbingan belajar dan dengan demikian tes di sekolah-sekolah. Bimbingan-bimbingan ini tentu saja bukan melatih siswa agar memiliki kemampuan nalar yang baik, bukan pula melatih siswa memiliki kemampuan analisa yang tinggi,” jelas Ramli Rahim, alumnus Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alama (MIPA) Universitas Hasanuddin (Unhas).
Pendiri Bimbingan Belajar Ranu Prima College (RPC) itu mengatakan, bimbingan belajar hanya melatih siswa lebih pada kemampuan menjawab soal UN dengan benar tanpa harus memahami isi soalnya.
Dan karena itu kemudian ujian nasional ini justru berpartisipasi terhadap rendahnya kemampuan literasi, kemampuan matematika, dan kemampuan sains anak didik kita karena fokusnya bagaimana mendapatkan jawaban yang benar, maka cara-cara praktis ditempuh dan ini mengakibatkan kemampuan siswa jauh menurun.
Di sisi lain, lanjut Ramli Rahim, ujian nasional membutuhkan anggaran yang begitu besar, meskipun tidak lagi menggunakan kertas.
Tahun 2019 Kemendikbud masih menganggarkan Rp 210 miliar untuk ujian nasional.
Andai saja Rp 210 miliar ini digunakan untuk pengangkatan guru, pemerintah akan mampu mengangkat 3.500 guru dengan pendapatan rata-rata Rp.5.000.000 per bulan.
“Dan jangan menyangka bahwa anggaran yang digunakan untuk ujian nasional hanya berasal dari anggaran kemendikbud. Bisa dibayangkan, berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh orangtua siswa untuk mempersiapkan anaknya menghadapi ujian nasional yang tidak banyak berguna itu,” kata Ramli Rahim.
Biaya lain yang dihitung Ramli Rahim adalah pengeluaran orangtua menjelang ujian nasional hingga pelaksanaan ujian nasional.
Biaya dimaksud, mulai dari bimbingan belajar, membeli buku paket belajar, kemudian biaya transportasi ke bimbingan belajar, serta paket data untuk belajar online.
“Dan sekali lagi, dana itu digunakan bukan untuk membangun kecerdasan dan daya nalar, tapi lebih pada upaya mendapatkan nilai yang baik meskipun dengan cara yang sangat opportunist. Jika dikatakan bahwa ujian nasional ini adalah untuk pemetaan pendidikan Indonesia, kita pun tidak menemukan adanya tindak lanjut dari pemerintah terhadap nilai ujian nasional ini,” jelas Ramli Rahim.
Celakanya, Ramli Rahim mengaku tidak menemukan adanya upaya pemerintah untuk mengintervensi daerah-daerah yang nilai ujian nasionalnya paling rendah sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap keterbelakangan pendidikan.
Ini semakin menampakkan bahwa ujian nasional ini tidak dibutuhkan sama sekali.
“Kami yakin, penghapusan UN tidak akan berdampak pada siswa, apalagi guru. Paling yang terdampak terhadap penghapusan ujian nasional ini adalah para pelaku bimbingan belajar, percetakan buku saku, dan para pemain proyek di balik ujian nasional. Ingat, anggaran sekali ujian nasional mencapai ratusan miliar rupiah,” kata Ramli Rahim.
Selain itu, ujian nasional tidak punya dampak apapun karena itu memang harus diubah.
Salah satu yang diusulkan Ikatan Guru Indonesia adalah sistem portofolio, dimana catatan siswa tersimpan sejak mulai pertama kali masuk sekolah sampai kemudian tamat.
“Dari catatan itu dapat terlihat dengan jelas bakat minat dan kemampuan siswa serta pencapaian mereka mulai dari sejak pertama masuk sekolah hingga mereka menamatkan pendidikannya. Khusus untuk pemetaan kebutuhan pemerintah terhadap dunia pendidikan, hal ini bisa dilakukan tanpa harus melibatkan seluruh siswa,” jelas Ramli Rahim.
Menurutnya, cukup menggunakan sampel dan data statistik yang sangat baik Insya Allah hasilnya akan tetap baik dan terlihat dengan data statistik yang baik.
Ikatan Guru Indonesia terus mendorong pemerintah agar kegiatan-kegiatan yang tidak banyak bermanfaat terhadap siswa dihapuskan dan digunakan untuk pengangkatan guru.
Sekadar informasi bahwa 52% guru kita di Indonesia statusnya sudah tidak jelas pendapatannya tidak jelas dan karir mereka juga tidak jelas karena itu pemerintah Seharusnya lebih fokus untuk mencukupkan guru di seluruh Indonesia dibanding sibuk dengan ujian nasional atau hal-hal yang tidak diperlukan oleh anak didik kita. (*)
Sumber: Tribun Timur.com
Editor: Dian Muhtadiah Hamna