OPINI — Corona hadir bagaikan mimpi buruk bagi dunia, tetapi bisa menjadi pangsa pasar strategis bagi siapa saja yang memiliki kepentingan bisnis. Ada sebab, ada akibat. Kiranya seperti itu. Dalam ekonomi , ada yang untung, maka pasti ada yang buntung. Beragam sorotan aspirasi kini mulai berkumandang dari kalangan masyarakat kalangan menegah yang minim finansial. Bahkan kalau ingin melihat realitas yang lebih menyentuh di kalangan bawah adalah orang-orang yang senantiasa membenturkan nasibnya di jalanan, seraya dengan harap dagangan mereka laku hari ini untuk makan di malam hari bersama sanak keluarga.
Mereka sama sekali tidak menyoalkan apa itu lockdown, isolasi, Social Distancing, maklumat tetapi bagaimana cara bertahan hidup di sela-sela masyarakat lebih asyik di rumah mengisolasi diri. Risihnya, adanya imbauan terkait penggunaan masker sebagai salah satu media proteksi menjaga diri dari virus, malah condong dieksplotasi beberapa pihak. Buktinya omset penjualan masker naik dengan pesat di tengah mewabahnya virus. Penguatan anjuran dari pemerintah setempat kemudian diskon besar-besaran seakan-akan memberikan sinyal ke masyarakat dengan nada “cepat, nanti kehabisan”. Apalah daya sebagian masyarakat masih bergumam masker gratisan dari pemerintah. Kejadian serupa, kita lihat kafe-kafe, restaurant, di tempat kerumunan dan hiburan lainnya harus menerima aturan pelarangan dan pembatasan waktu operasional sebagai pencegahan virus, efeknya turunnya pemasukan. Mau tidak mau para pengamen juga mencutikan diri melihat tempat-tempat itu sebagai ladang keuntungnya tidak lagi ramai seperti biasanya. Sungguh gejolak yang amat besar ditimbulkan oleh Covid-19.
Indonesia negara dengan berbagai elemen masyarakat sangatlah beragam dalam menanggapi pandemi Covid-19. Psikologis masyarakat sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, moral masyarakat bahkan otoritas agama. Kepanikan yang muncul di masyarakat Indonesia sudah pasti akan terjadi. Informasi dan berita hoaks yang merajalela kadang dijadikan alat untuk mempropaganda masyarakat Indonesia untuk memunculkan reaksi yang berlebihan.
Pola pemikiran masyarakat Indonesia akan lebih condong eksklusif dengan serangan berita-berita yang mengatasnamakan kepentingan kemanusiaan, agama, ternyata hanya bualan kepentingan bisnis belaka, celakanya. Perspektif yang lain bahwa pola interaksi dan komunikasi berpengaruh besar terhadap perubahan tatanan ekosistem masyarakat sehingga efektifitas sangat dipertanyakan. Kalangan milenial yang mumpuni di bidang teknologi lebih diuntungan bahkan produk kesehatan mampu mereka ciptakan dalam menghadapi wabah dunia Covid-19. Bisnis online memang menjadi sasaran pasar bagi yang lebih memilih beraktivitas di rumah. Kecanggihan zaman, banyaknya kebutuhan, krisis budaya antri, belanja instan adalah menjadikan teknologi sebagai vaksin dalam menjawab polemik hari ini. Teknologi hari ini bukan hanya sebagai sumber informasi dan komunikasi, melainkan sebagai jalan bisnis bagi kalangan masyarakat.
Terus bagaimana dengan pelaku pasar tradisonal yang sampai saat ini masih dengan metode tatap muka antara penjual dan pembeli?
Kita cermati bahwa pasar tradisional mulai tidak lagi menjadi prioritas malah menjadi alternatif akibat pembaharuan besar-besaran di bidang teknologi. Ditandai dengan kehadiran berbagai macam alat-alat transaksi dan beragam aplikasi lainnya. Perlu adanya penanaman kesadaran dan mindset hubungan sosial interaksi dan metodologi pendekatan ekonomi di kalangan masyarakat agar tetap belanja di pasar tradisional dalam rangka normalisasi ekonomi. Sebab di situ ada para pedagang kita yang berusaha sejak pagi-petang menunggu kehadiran pembeli. Anjuran untuk tetap di rumah tentu berpengaruh dengan pemasukan pasar mereka yang memang hanya berharap pelanggan langsung. Begitu juga penjual-penjual pinggiran jalan di depan kampus misalnya mengeluhkan minimnya pemasukan akhir-akhir ini setelah beredarnya maklumat untuk penerapan kuliah daring.
Mayoritas mahasiswa lebih memilih pulang ke kampung halaman masing-masing sambil menjalankan kuliah berbasis teknologi. Di sisi lain ada kontrakan atau ruko para pedagang sebagai lokasi penjualan dengan beban ocehan tagihan setiap bulan, tahunnnya dan tuntutan kebutuhan primer lainnya, sungguh keprihatinan.
Kita lihat Malaysia misalnya. Negara dengan terinfeksi terbanyak di ASEAN katanya pada bulan April mendatang siap memberikan bantuan finansial kepada pekerja yang tidak memperoleh penghasilan akibat Covid-19. Mungkinkah Indonesia akan melakukan hal yang sama atau ada alternatif yang lebih produktif dalam turut memberikan perhatian lebih kepada masyarakat pinggiran kota, kami menanti hal serupa walaupun hanya janji semata yang penting kan ada upah yang jelas solusinya bukan Khilafah.
Marilah bersama-sama meningkatkan kesadaran dalam menghadapi pandemik Covid-19 dengan mengedepankan nilai-nalai kemanusiaan. Boleh panik tetapi dengan kadar tidak melupakan rasio dan kemaslahatan umum. Mengedepankan sikap waspada, proteksi dan dibarengi dengan kegiatan produktif dalam mengisi kekosongan sambil bernostalgia dengan bantal.
Doakan Indonesia!
Jalin Komunikasi,-
IG : @ahmad_riecardy
FB : Ahmad Riecardy
Email : Cardy.danger@gmail.com
***
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.