OPINI, Bulan ramadan merupakan ajang para penceramah menyampaikan nilai-nilai kebaikan dalam Islam. Penceramah yang ditemui biasanya merupakan santri dan santriwati yang baru berusia belasan tahun (anak-anak) yang menyampaikan ceramah-ceramah di Masjid. Tidak jarang pula, terdapat diantara mereka yang bukan dari latar belakang pesantren.
Masjid yang biasanya menjadi tempat bagi para penceramah untuk berceramah adalah Masijid-masjid yang ada di kampung masing-masing atau tetangga kampung. Meski pun cuma anak-anak yang masih berusia belasan tahun, akan tetapi seyogianya sebagai pendengar tetap menerapkan prinsip Iqra (belajar) dari apa yang mereka sampaikan.
Kata anak-anak merupakan kata yang menjadi titik permasalahan yang sering kali memunculkan keangkuhan dalam diri kita. Begitulah yang pernah saya rasakan dan alami langsung.
Singkat cerita, suatu ketika di Masjid, di kampung saya ketika bulan ramadan tiba, sangat jarang ditemui ustadz yang menyampaikan ceramah ramadan. Maklum saja, namanya juga kampung dan tergolong pelosok. Pernah saja satu kali, itu pun orang dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang mengisih ceramah ramadan pada malam ke 25. Justru para anak-anaklah yang banyak mengisi ceramah-ceramah ramadan di Masjid kampung saya. Mereka dari kampung setempat, baik dari pesantren, sekolah umum, maupun anak-anak dari tetangga kampung sebelah yang menjadi pengisi ceramah ramadan.
Mungkin, karena seringnya yang mengisi ceramah ramadan hanya dari kalangan anak-anak belasan tahun. Sehingga saya seringkali mendengar kalimat seperti “Ananak mi je’ macceramah” yang artinya cuma anak-anak yang memberikan ceramah, atau kalimat “ai ananak si!” yang artinya lagi-lagi anak-anak, atau kalimat-kalimat yang serupa. Seakan-akan pendengar yang berusia dewasa atau lebih dituakan tidak pantas untuk belajar oleh si penceramah yang masih berusia anak-anak.
Memang sangat disayangkan, reaksi yang seringkali kita perlihatkan justru tidak sesuai dengan perintah Iqra yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Padahal Al-Qur’an Al-Karim diturunkan pada bulan ramadan. Bulan dimana perintah Iqra diturunkan. Dan seharusnya dijadikan sebagai laku (diterapkan) dalam kehidupan.
Perintah untuk Iqra (membaca) terdapat pada Q.S Al-Alaq. Ayat yang petama turun kepada Nabi Muhammad Saw. Prof. Dr. M Quraish Shihab menjelaskan bahwa membaca tidak harus dari sebuah teks yang berbentuk aksara atau menyertakan tulisan, tetapi segala sesuatu yang dapat dilihat itu harusnya dibaca. “Ketika melihat air muka seseorang kita bisa membaca bahwa dia sedang marah, membaca alam raya dengan cara memperhatikanya, pandanglah segala sesuatu, pelajari dan tarik kesimpulan yang kita bisa ambil,” terangnya dalam sebuah tayangan YouTube MSQ Podcast, Kamis (24/11/2022).
Selain itu, masih menurut Prof. Dr. M Quraish Shihab bahwa untuk mencapai kemajuan dan membangun peradaban diperlukan seseorang yang banyak membaca. Iqra (membaca) yang terdapat pada Al-Qur’an tidak ditentukan objeknya. Demikian, karena kita disuruh untuk membaca (mempelajari) apa saja.
Oleh karenanya, momentum ramadan hendaknya menjadi aktualisasi Iqra dari hal-hal yang sifatnya terlihat sederhana. Yaitu Iqra (mempelajari) setiap apa yang didengar dan dilihat, yang disampaikan oleh penceramah tanpa pandang bulu, usia, ataupun latar belakang. Lagi pula apa yang anak-anak itu sampaikan notabenenya merupakan ceramah-ceramah yang umum kita dengar seperti; tujuan puasa, perintah shalat, silaturrahim dan lain sebagainya. Sehingga, kita bisa beragama secara substansial. Utamanya mengerjakan suatu ibadah karena paham maksud dan tujuan ibadah tersebut dilakukan.
Akan tetapi, karena berangkat dari pola pikir keangkuhan yang membesit bahwa dia hanyalah seorang anak-anak, menyebabkan kita tidak memberikan ruang kepada diri kita sendiri untuk mengambil pelajaran. Kita seringkali memandangnya hanya anak yang sekedar menyetor hafalan di atas mimbar. Bahkan tidak jarang, malah sibuk berbicara satu sama lain sembari menunggu ceramahnya selesai.
Padahal kata sayidina Ali Bin Abi Thalib, “Lihatlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang berkata”. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.