OPINI — Momen Idul Fitri memang telah berlalu, namun suasana kemenangan itu masih terasa sampai saat ini. Meskipun di tengah pandemi, semarak Idul Fitri tetap membahana. Kaum muslim merayakannya dengan khidmat sesuai tradisi masing-masing.
Di Indonesia sendiri, tradisi bermaaf-maafan dan bersalam-salaman yang biasanya dengan bertemu muka, kini berganti melalui media sosial. Ucapan selamat Idul Fitri dan harapan-harapan yang menyertainya, beragam dengan kreativitas khas masing-masing melalui WA, FB, IG dan lain-lain. Namun semua ini tidak mengurangi ketulusan dan keikhlasan dalam bermaaf-maafan, sehingga diri kembali suci.
Secara umum kata ‘Id’ (عيد) dalam Idul Fitri (tulisan baku: id al-Fitri ) berarti kembali, dari kata akar ‘aada (عاد). Juga bisa berarti kebiasaan, yang merupakan turunan kata al-Adah (العادة). Karena kaum muslim merayakan 1 Syawal sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berbeda-beda. Sementara kata fitri (فطر) artinya makan, yang dimaksudkan dari kata afthara – yufthiru (أفطر – يفطر), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa.
Dengan demikian, jika digabungkan, Idul Fitri berarti hari diizinkannya makan, atau kembali makan setelah berpuasa di bulan Ramadan. Namun sering juga Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada ‘fitrah’ (فطرة) yang berarti suci. Ketika digabungkan akan menjadi Idul Fitrah.
Di dalam memaknai fitrah tahun ini, Presiden Jokowi melalui KUMPARAN pada 23 Mei 2020, merilis pesan Idul Fitri. Menurutnya lebaran kali ini dirayakan dengan cara berbeda dari biasanya, karena masih mewabahnya Covid-19. Perubahan cara berlebaran ini memang sungguh berat. Namun Presiden menekankan bahwa kebersamaan adalah cara untuk melawan dan mengakhiri wabah pandemi. Dari pesan Lebaran ini, jelas tersirat bahwa Presiden menginginkan dan mengharapkan kebersamaan dari semua rakyat.
Tempo.co dalam rilisnya pada Sabtu 23 Mei 2020, menandaskan kembali pesan lebaran Presiden Joko Widodo dalam video conference. Dinyatakan bahwa Presiden mengisyaratkan, bahwa jika Allah benar-benar menghendaki dan jika kita menerima dengan ikhlas dalam takwa dan tawakal, niscaya wabah pandemi global bisa diatasi.
Senada dengan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga menyampaikan dalam acara yang sama, agar umat Islam memperkuat kesabaran, keimanan dan ketakwaan supaya Allah turunkan kesuburan, kemakmuran, keamanan, keselamatan dan dihilangkan berbagai kesulitan. (nasional.tempo.co, 23 Mei 2020)
Kedua pemimpin tertinggi di negara kita sama-sama menyerukan tentang ketakwaan. Secara etimologi takwa berasal dari kata waqa – yaqi – wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Sedangkan pengertian takwa secara terminologi adalah takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa, mengutip percikaniman.org.
Dari tafsir Ibnu Katsir disebutkan makna takwa dijelaskan oleh Thaiq bin Habib yang merupakan murid dari Ibnu Abbas, yaitu mengerjakan ketaatan kepada Allah Swt. berdasarkan cahaya-Nya dengan mengharapkan pahala-Nya dan meninggalkan kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya-Nya karena takut kepada azab-Nya.
Oleh karena itu dari penjelasan arti takwa ini tersirat, bahwa takwa adalah sesuatu yang sifatnya aplikatif -melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya- bukan hanya sekadar jargon atau pemanis kata ketika beretorika. Dengan kata lain takwa adalah kembali ke pangkuan syariat Islam.
Namun sungguh disayangkan tatkala pemerintah justru tidak menghadirkan takwa dalam mengelola urusan rakyatnya. Hal ini terlihat dari kebijakan-kebijakan dalam menangani wabah Covid-19 yang sampai saat ini masih tinggi tingkat penyebarannya. Terlebih pada saat yang sama, pemerintah dengan tega menaikkan iuran BPJS. Sungguh kebijakan yang tidak populer di tengah kondisi rakyat sedang terjepit ekonominya, PHK terjadi dimana-mana, bisnis banyak yang gulung tikar, dan berbagai kondisi keterpurukan akibat wabah.
Bukankah pemimpin -dalam hal ini pemerintah- yang bertakwa tentu tidak akan membuat kebijakan yang menyakiti dan menyengsarakan rakyatnya? Semestinya mereka akan merasa takut, karena kelak urusan rakyat pun akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Rasul Saw bersabda :
Pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia yang bertanggung jawab atas rakyatnya. (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad)
Karakter pemimpin yang memelihara urusan rakyat selaras dengan makna takwa secara syariat. Penanganan wabah yang berpijak pada syariah dalam mengantisipasi penyebaran virus tersebut tergambar dalam hadis yang tertuang dalam kitab Shahih Muslim Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian mendengar tentang wabah-wabah di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Tetapi jika terjadi wabah di suatu tempat kalian berada, maka janganlah kalian meninggalkan tempat itu,” (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Jelas bahwa karantina wilayah atau bisa juga disebut lockdown, menjadi solusi di tengah wabah. Dalam masa ini seharusnya pemerintah hadir memenuhi kebutuhan pokok rakyat yang membutuhkan. Bagi rakyat yang sakit, disediakan rumah sakit beserta dokter, tenaga kesehatan, dipenuhi kebutuhan obat-obatannya dan berbagai fasilitas kesehatan lainnya. Sehingga tidak akan terjadi kekurangan APD, misal, sebagaimana kondisi saat ini.
Faktanya, saat ini tenaga kesehatan terlihat berjuang sendiri, menjadi garda terdepan melawan wabah. Padahal pemerintahlah yang seharusnya berperan menjadi garda terdepan melawan wabah ini dengan membuat kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran, sehingga rakyat mampu keluar dari kemelut yang begitu menyesakkan dada.
Lebih dari itu dengan landasan takwa, semestinya pemerintah mengajak rakyat untuk taubatan nasuha (taubat yang sebenarnya) dari segala kemaksiatan yang dilakukan di negeri ini. Bukankah semua ujian ini bisa jadi merupakan teguran dari Allah Swt karena kita mencampakkan aturan-Nya? Maka sudah sepatutnya pemerintah dan rakyat kompak melakukan taubat nasional untuk bersungguh-sungguh kembali pada tatanan kehidupan sesuai petunjuk dan aturan Allah Swt. serta menerapkannya di setiap lini kehidupan.
Dengan demikian, takwa yang diserukan para pemimpin negeri ini bukan hanya sekadar retorika, melainkan menjadi sebuah solusi terutama di saat umat tertimpa wabah pandemi. Dengan kolaborasi dan sinergi yang baik antara rakyat dan pemerintah dalam mewujudkan ketakwaan yang hakiki, insya Allah wabah pandemi ini akan segera berakhir. (*)