OPINI–Benarkah 1 Oktober akan kita jumpai kelak dengan perasaan duka dan kebencian?.
Namun jangan larut dengan semua itu. Peristiwa perang Dunia dan bencana alam sudah kita hadapi dan lalui yang jauh dari kata tragis dan konfrontatif. Finalnya, doa iringan kita haturkan kepada para korban. Ulama dan para Auliyah setiap malam membacakan syair-syairnya untuk keselamatan kita semua dan para korban.
Poinnya tidak untuk pesimis, bagaimana berjuang untuk terus mapan, dermawan dan mendewasa, soalnya disini. Bukankah manusia terus belajar dari ukiran sejarah yang mereka ciptakan sendiri? Semuanya berbenah dan terus menjahit luka untuk konstelasi Indonesia yang lebih baik untuk rakyat dan pemuda.
Agenda yang sebenarnya adalah warisan kreatifitas bagi anak dan cucu menyambut era kegemilangan. Institusi Polri harus tegar dan lapang dada menerima sanksi dan konsekuensi akibat dari peristiwa dan kultur anarki masyarakat hari ini ‘Baca: Akibat Krisis Ekonomi dan kesehatan fisik dan mental’.
Segelintir anak muda bermimpi bahwa suporter tidak sekedar menepuk tangan dikemudian hari. Semua menjadi aset pembaharu yang juga mengambil peran keterlibatan sektoral. Anda dan anda-lah yang menentukan kedaulatan Bangsa kemudian hari.
Kita bangkit dan pulih, karena konteksnya Indonesia adalah Negara. Maka tak salah jika yang paling bertanggung jawab adalah pemangku kebijakan. Apa yang salah dengan steatment itu? Tidak menyalahkan, konklusi perbaikan tetap lahir dari bawah dan atas. Bukankah penguasa tetap membutuhkan partisipasi sipil?.
Sinergi yang dibangun bukan ingin meruntuhkan dan menjatuhkan, kami memang berniat menghadirkan kerinduan masa lalu, gerakan yang muncul dari keresahan dan hegemoni. Namun tidak gegabah karena ada intervensi asing ‘Baca: Neo-kolim’, kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan situasi dan kondisi.