OPINI-Situasi politik Indonesia sedang memasuki tahapan yang seru, momentum politik menuju pemilihan umum 2024 sudah tinggal menghitung bulan.
Sejauh ini, ada banyak hal yang menarik pada kontestasi politik menuju 2024. Peta persaingan partai politik, fenomena calon Presiden-Wakil Presiden, hingga konfigurasi Kepala Daerah pada level Gubernur, serta Bupati-Walikota, semuanya dipengaruhi oleh persaingan politik saat ini, dan juga berimbas pada warna politik dimasa depan.
Sejatinya politik adalah tentang proposal ide dan gagasan. Politik itu adalah tentang narasi, bukan tentang bagi-bagi nasi. Momentum politik itu adalah tentang keluhuran akal, kesucian niat, budi pekerti yang baik, dan tentang pengabdian. Bukan tentang adu logistik. Politik itu bukan tentang jumlah saldo dan tentang isi dompet. Tapi, politik itu tentang isi otak. Politik itu memang keras, walau sebenarnya banyak juga kelembutan. Perlu mental yang tangguh dengan kesabaran ekstra dan itu bisa ditempa dengan terjun ke dalamnya.
Seperti yang kita lihat, banyak aktivis dari berbagai partai politik berlomba-lomba memanfaatkan momentum tersebut. Mereka memaksimalkan situasi dengan melakukan aktivitas kampanye yang dikemas sebagai sosialisasi. Seperti yang terjadi pada saat bulan ramadan kemarin. Dalam sosialisasi tersebut mereka memang tidak menjanjikan apapun, akan tetapi momentum Ramadan mereka gunakan untuk mencari dukungan suara pada masa yang akan datang dengan melakukan kegiatan positif.
Padahal, sejak jauh hari Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) sudah mengingatkan, Partai Politik (Parpol) tidak boleh melanggar aturan kampanye, termasuk memanfaatkan momen Ramadan. Tidak boleh ada kampanye terselubung, seperti berbuat kebaikan atas nama Ramadan, apalagi yang berpotensi politisasi identitas yang menggunakan bulan suci Ramadan.
Bagi kalangan elit parpol, menang tentu menjadi sebuah kemestian. Parpol penguasa akan berusaha agar kekuasaannya tetap ada di tangan. Sedangkan parpol lainnya benar-benar harus cermat berhitung, apakah akan tetap berada di pihak oposan, atau merapat pada parpol yang terbukti sudah menang. Semua resiko dan pengorbanan pun benar-benar harus mereka ukur agar kelak tetap mendapat kekuasaan.
Namun, tidak demikian halnya jika sebelum hari ini muncul manuver dan daya tarik politik. Politik elit sangat berfokus pada konsolidasi internal selain komunikasi eksternal antar individu. Karena sarat dengan ketegangan dan persaingan posenya tampak cukup cair.
Apa Arti Dari Nasib Rakyat?
Faktanya, pada hari yang sama, individu tersebut mungkin telah bangkit dihadapan harta terpendam yang belum diketahui. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengangguran Indonesia menembus 8,42 juta, dan yang bekerjapun mayoritas berpenghasilan rendah. Harga kebutuhan pokok makin tidak terjangkau ditengah kebijakan impor yang jor-joran. Sementara, pada saat yang sama, arus masuk tenaga kerja asing diberi pintu selebar-lebarnya.
Generasi muda pun dalam kondisi terbajak potensinya. Sebagian mereka bahkan terjerumus dalam pergaulan bebas yang mengancam masa depannya. Kriminalitas merajalela, tanpa bisa dicegah dengan sistem hukum yang ada. Bahkan, mirisnya, kejahatan yang dilakukan elit berdasi makin lama makin marak saja.
Dengan demikian, kondisi rakyat benar-benar seperti tanpa pengurusan negara. Kebijakan penguasa selama ini banyak yang menyusahkan mereka. Pembangunan seakan berjalan, tetapi tidak didedikasikan untuk rakyat, malah membuat negara makin tenggelam dalam utang berbunga. Ditengah suasana itulah, berbagai mantra indah kembali dibacakan para pelaku politik. Mimpi kesejahteraan ditebar dengan berbagai cara. Rakyat benar-benar dibuat lupa bahwa janji-janji politik para politisi di pemilu-pemilu sebelumnya belum lunas dibayarkan. Bahkan mereka lupa bahwa mereka dalam posisi dimanfaatkan. Habis manis sepah dibuang.
Masalahnya, kemanfaatan bagi siapa? Sebagaimana diketahui, ongkos politik yang harus dipertaruhkan diajang lima tahunan ini sangatlah besar. Bukan hanya biaya ekonomi untuk iklan atau kampanye saja, melainkan juga biaya sosial. Mau tidak mau, mereka yang terlibat harus berjuang mati-matian untuk menang. Setelah menang, mereka dipastikan akan balik modal, plus dengan keuntungan besar.
Wajar jika ada yang mengatakan, politik itu kotor. Para pelaku memang kerap berbicara kepentingan bangsa dan negara, tetapi realitasnya semua hanya berujung pada ikhtiar melanggengkan kepentingan partai, elit partai, serta kelompok pendukung dan para pemodal. Kedaulatan rakyat yang terus digadang-gadang, nyatanya hanya khayalan. Yang berdaulat nyatanya adalah para pemilik modal.
Berharap kebaikan pada sistem politik, hanya membuang energi saja. Tidak ada jaminan yang pasti selain janji-janji manis politisi yang berulang kali dikhianati. Sudah saatnya kita kembali pada habitat kita sendiri, yakni sistem politik yang mewujudkan ketaatan hakiki sekaligus menjamin kemuliaan sejati. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.