OPINI, PIJARNEWS.COM — Sejak terpilih menjadi Presiden RI ke-7 pada 2014 lalu, program Dana Desa memang menjadi program unggulan dari pemerintahan Jokowi-JK. Meskipun Dana Desa adalah perintah konstitusi dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, yang lahir pada masa Pemerintahan Presiden SBY, akan tetapi di Pemerintahan Jokowi-JK manfaat Dana Desa begitu terasa di masyarakat.
Sehingga wajar kalau Dana Desa ini lebih populis merupakan kinerja Pemerintahan Jokowi, karena masyarakat menilai pada manfaat dan keberhasilan programnya, bukan pada siapa yang mengusulkannya. Apalagi program Dana Desa merupakan Perintah UU Desa sehingga siapapun presidennya selama masih ada UU Desa maka Dana Desa akan tetap terus ada.
Jika kita perhatikan, jumlah Dana Desa memang mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada 2015, alokasi dana desa hanya sebesar Rp 20,67 triliun. Angka itu naik menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016, dan naik lagi menjadi Rp 60 triliun pada masing-masing tahun 2017 dan 2018. Tahun 2019 anggaran dana desa naik menjadi Rp 70 triliun. Sehingga muncul stigma dari kalangan politisi bahwa Dana Desa juga dapat menjadi jualan politik Jokowi menjelang Pemilu 2019.
Meskipun secara konsep program ini bermanfaat bagi pembangunan desa, namun, sejak periode peluncurnanya, sebenarnya banyak kritik yang menyerang program Dana Desa. Isu yang di kembangkan seperti ketidaksiapan aparat desa dengan skema program dana desa, Kemudian Pendamping Desa yang berafiliasi dengan Partai Politik, bahkan ada pendamping desa yang menjadi calon legislatif dan merupakan fungsionaris parpol.
Sehingga yang ditakutkan adalah program ini tidak bisa sepenuhnya tepat sasaran bahkan rawan disusupi dengan kepentingan politik pragmatis. Di tambah dengan maraknya Kepala Desa yang tertangkap karena korupsi Dana Desa yang terjadi di berbagai daerah.
Tentu realitas politik tersebut bukan suatu hal yang menggembirakan bagi siapapun. Pertanyaan yang menarik kemudian adalah, jika potensi penyelewengan dana desa begitu besar, kenapa Jokowi terkesan mengunggulkan program ini bahkan menaikkan anggaran tiap tahunnya?
Menurut penulis, dalam politik, memanfaatkan akses kebijakan untuk kepentingan pemilu sudah sangat lazim terjadi di berbagai negara. Hal ini termasuk bagian dari incumbency advantages di mana petahana memang kerap kali diuntungkan oleh status tersebut. Terkait dengan kemungkinan politisasi Dana Desa oleh para aparat desa untuk kepentingan pemilu, nampaknya hal tersebut kerap menjadi hal yang tak terhindarkan dalam politik.
Strategi itu disebut oleh Carlos Vilas dalam papernya berjudul Latin American Populism: A Structural Approach sebagai bentuk dari populisme struktural dimana kekuatan program pembangunan pemerintah pada level tertentu akan berkorelasi terhadap dukungan politik yang akan diterima pemerintah.
Tentu bukan tanpa alasan kenapa Jokowi memaksimalkan program Dana Desa ini menjelang Pemilu 2019. Meskipun tak dapat dibuktikan bahwa praktek politisasi Dana Desa terjadi, namun hal yang menarik untuk dilihat adalah populisme yang akan diraih sang petahana di level paling bawah kantong-kantong suara, yakni Desa. Mengapa desa menjadi penting dalam setiap momentum politik? Tak lain jawabanya adalah bahwa desa menjadi wilayah yang rawan untuk dimobilisasi secara politik.
Hal ini terkait dengan kondisi pengetahuan politik masyarakat desa yang cenderung berbeda dengan masyarakat kota yang lebih melek politik. Sehingga dalam konteks partisipasi politik, masyarakat desa masih cenderung bergantung pada figur, tokoh atau pelaku politik yang ada di Desa.
Zilong Li dari Duke University, dalam papernya yang berjudul The Power‐Sharing Struggle in Chinese Village Elections, politik desa memang kerap kali melibatkan mobilisasi penduduk desa sebagai salah satu strategi pemerintahan untuk mendapatkan legitimasi dukungan. Hal ini tidak terlepas dari struktur penduduk yang tinggal di wilayah Tiongkok daratan.
Nampaknya cara yang sama tengah dilakukan Capres petahana jika dilihat dari visi misinya membangun desa melalui dana desa. Dalam konteks Dana Desa, politik Desa Jokowi seolah menjadi realitas yang tak terhindarkan. Pasalnya, politik jenis ini menjadi sangat jamak bagi Negara-negara yang memilik geografis pedesaan yang banyak.
Dalam konteks politik Indonesia, Desa memang menjadi salah satu kawasan strategis dalam mendulang suara. Menurut data BPS 2010, komposisi penduduk di Indonesia masih didominasi penduduk desa dengan presentase sebesar 56% dan penduduk kota sebesar 44%.
Sehingga tidak dapat dipungkiri, baik secara langsung maupun tidak, adanya Dana Desa akan berpengaruh terhadap upaya Jokowi untuk mengamankan suara di tingkat terbawah sumber suara, yakni Desa.
Maka bukan tidak mungkin kebijakan yang disebut Vilas sebagai populisme struktural akan mampu memberikan dampak secara elektoral terhadap Jokowi. Memang, tidak ada bukti bahwa terjadi politisasi, tetapi sebagai petahana Jokowi boleh jadi selangkah di depan dalam merebut suara dari Desa. Namun yang perlu di sosialisasikan kepada masyarakat bahwa Dana Desa bukan karena Jokowi akan tetapi perintah Konstitusi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Penulis:
Rusdianto Sudirman
Pengamat/Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare