Oleh : Nur Jamilah Ambo (Ketua Kopri PC PMII Kota Parepare)
OPINI — Kekerasan terhadap perempuan tak kunjung surut. Baru-baru ini, Selasa 3 Oktober 2023 terjadi penganiayaan yang diduga dilakukan anggota organisasi mahasiswa kepada tiga kader PMII Komisariat IAIN Bone.
Penganiayaan tersebut terjadi setelah tiga orang kader PMII menghadiri kegiatan pelantikan salah satu organisasi eksternal kampus dengan maksud menjalin silaturahmi, namun berakhir pada tindak penganiayaan.
Salah satu korbannya ialah perempuan, yakni Ketua Kopri (Korps PMII Putri) IAIN Bone. Ia dianiaya pada bagian kepala dan kaki. Sedangkan dua orang lainnya mengalami luka lebam dan robek bagian dahi.
Kasus tersebut termasuk dalam tindak pidana penganiayaan dan juga termasuk tindak Kekerasan Berbasis Gender (KBG).
Menurut Komnas Perempuan, KBG termasuk dalam pelanggaran serius Hak Asasi Manusia (HAM).
Lagi-lagi, kaum yang merasa kuat melawan kaum yang dipandang lemah. Laki-laki memang selalunya memandang lemah kaum perempuan, namun bukan berarti perempuan itu lemah dan tidak mendapatkan perlindungan hukum.
Perempuan juga manusia. Sebagai manusia, perempuan berhak atas hak asasi yaitu bebas dari penindasan.
Betapa mirisnya tindak pidana kekerasan terhadap perempuan ini dapat berdampak pada fisik ataupun psikis sang korban yang bisa berujung depresi.
Karena itu, pelaku mesti dibuat kapok. Tindakan pidana tersebut dapat dijerat penjara dan atau pidana denda.
Tindak pidana penganiayaan telah diatur dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 KUHP. Mulai dari penganiayaan biasa, ringan hingga berat. Pidana penjara untuk penganiayaan biasa adalah dua tahun delapan bulan.
Selain tindak penganiayaan dalam KUHP, pidana pada kasus tersebut juga merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, segala bentuk kekerasan terhadap perempuan telah diatur dalam Undang-undang TPKS.
Dalam UU RI No 2 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, pasal 12 menegaskan bahwa setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, dipidana penjara paling lama 15 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.
Tindak penganiayaan dan kekerasan ini harus ditegasi oleh berbagai pihak aparat hukum. Bila tidak demikian, seseorang akan dengan mudahnya melakukan penganiayaan.
Pihak kepolisian dalam hal ini tidak boleh lengah dalam penyidikan. Sebagai polisi, yang memiliki tugas pokok memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan kepada masyarakat, harus memenuhi tugasnya dengan baik.
Pelaku penganiayaan dan kekerasan tidak boleh diberi ampun. Jika diberi ampun, pelaku tidak akan jera atas tindakannya. Sehingga kejadian seperti ini akan terus terjadi. Selama tidak ada konsensus bahwa boleh saja melakukannya jika memiliki uang untuk membayar denda.
Sekali berdamai, maka penganiayaan dan kekerasan sukar dihindari. Untuk itu, polisi harus tegas terhadap tindak kriminal tersebut. Maka, jika terjadi tindak pidana penganiayaan dan kekerasan atau tindak kriminal sejenisnya, maka pihak aparat hukum terutama polisi harus segera menangani dan mengusut tuntas kasus tersebut. Agar pelaku tidak lagi mengulangi aksi asusila tersebut. (*)