JAKARTA, PIJARNEWS.COM–Hidayah memang bisa kapan saja. Termasuk kepada seseorang yang dianggap mustahil bagi masyarakat untuk terbuka hatinya menerima pencerahan akidah.
Namun, jika Allah SWT berkehendak, maka tiada sesuatu pun mustahil di dunia ini. Termasuk yang dialami ustaz Felix Siauw yang menuliskan kisah Kakak Kandungnya, Freddy Siauw yang memeluk Islam pada Sabtu, 7 September 2019. Padahal kakak tersebut sempat dibencinya selama 35 tahun lantaran banyak perbedaan antarkeduanya. Berikut petikan tulisan Ustaz Felix Siauw seperti dilansir dari akun Facebook pribadinya @felixsiauw pada Ahad, 8 September 2019.
24 Juni 2019, satu WA datang ke saya dari nomor yang nggak dikenal. Baru esok harinya ketika senggang, saya mengenali itu nomor kakak kandung saya.
Saya nggak pernah menyimpan nomor kakak-adik saya, khususnya yang satu ini, Freddy namanya, menyebut nama saja malas, saya lebih dari benci kepadanya.
Masa kecil tak ada yang saya ingat kecuali dendam. Disakiti sejak kecil namun tak bisa membalas, itu yang membuat saya akhirnya berbeda 180 % dengan dia.
Freddy bertato, merokok, kuliah di luar negeri, gonta-ganti pacar, antingan. Saya? semua yang tidak dia lakukan, sebab saya benci dia dan semua yang dia lakukan.
Di WA itu, saya terkejut, ini pertanyaannya:
Orang yang berusaha memenuhi kebutuhan janda dan orang miskin, pahalanya seperti mujahid fii sabilillah atau seperti orang yang rajin puasa di siang hari dan rajin tahajud di malam hari – HR Bukhari Muslim
Tulisnya, “Lix ini maksudnya gimana? Ada referensi yang bisa gue pelajari?”. Sontak saya jawab, dan kirimkan 11 buku ringan baginya untuk mengenal Islam.
2 Agustus 2019, malam itu gempa melanda Jawa Barat dan sekitarnya, WA dari Freddy lagi: “Kau lagi di BDG?”. Rupanya dia juga sedang tugas di Bandung
Harusnya malam itu kita berjumpa dan bicara, tapi saya terlalu lelah. Akhirnya esok harinya kita berjumpa di event ShafMuslimah, saya undang Freddy untuk hadir.
Kajian dimulai sebelum Freddy hadir, dan saya tak sadar kalau selama pembicaraan 1 jam itu, kakak saya mendengarkan. Kemudian kita bawa dia naik ke panggung
Dia menceritakan, bahwa wajar saya membencinya, sebab hal masa lalu. Dia menceritakan, saat ini respect dengan Islam, bahwa di sekelilingnya banyak yang Muslim.
Kata-kata “assalamu’alaikum” “alhamdulillah”, “insyaAllah”, mudah keluar darinya. Awkward, saya mengharu. Tertampar, begini cara Allah mengajari saya.
Orang yang tak pernah saya doakan, tak pernah saya minta agar Allah berikan padanya hidayah. Saat ini begitu dekat dengan ke-Islaman. Yang mustahil itu nyata.
Selepas dari itu, berkali-kali kita berjumpa dan WA dengan intens. Menemui orangtua yang makin galau karena akan “kehilangan 1 orang anak lagi” versi mereka.
Beberapa kali saya menyanyakan pada Freddy, kalau sudah siap, syahadat saja. Namun berkali-kali pula beliau bilang, “Nanti”, belum siap dengan konsekuensinya.
Sampai hari itu, 7 September 2019. Kajian Musawarah mengundang Ust. Adi Hidayat. Saya sampaikan pada Freddy, “Mau syahadat?”. Dijawab, “Belum”, ya sudah.
Saya jemput dengan mobil, kepala saya seolah melayang. Maklum 4.30 pagi baru tiba setelah 10 jam menyetir dari pesantren Alila di Karangpandan.
Saya tanyakan, “Apa sih yang buat kau masih belum mau untuk syahadat?”. Dia jelaskan, “Gue takut, dengan semua konsekuensinya, orangtua, keluarga, pekerjaan”, begitu.
Saya sambung, “Pisahkan masalah inti dengan cabang, Islam itu urusan kita dengan Tuhan, itu intinya, selesaikan itu sebelum yang lainnya, biar nggak menumpuk”, lanjut saya.
Lalu, “Untuk masuk Islam, hanya perlu 1 poin saja. Kau meyakini Tuhan itu hanya Allah hanya ke Allah kau menyembah, dan Nabi Muhammad itu utusan Allah, dengan caranya kita tau cara menyembah Allah itu kau yakin?”, tanya saya.
Dia sampaikan, “Kalau itu gue yakin, Allah itu Tuhan satu-satunya, semua agama. Dan Muhammad itu Rasul Allah, dan Islam serta Al-Qur’an adalah update terakhir dari Tuhan”, jelasnya.
Saya bilang, “Lha, kau itu sudah Islam secara maknawi, cuma belum syahadat aja! Lagian agama mana lagi yang bisa mengadopsi paham begini? Cuma Islam”, pungkas saya.
Lalu saya jelaskan kepadanya soal Raja Najasy yang menjadi Islam tanpa saksi, bagaimana Rasulullah menshalatkan gaib sebab ia sudah beriman walau tak disaksikan.
Saya tambahkan, “Bila kau sudah Islam, kau tanggung jawab gue, gue tanggung jawab kau, sebab kita saudara sedarah, sampai mati gue bela”. Saya simpulkan.
Lalu dia katakan, “Bagaimana dengan konsekuensi Islam?”. Saya jawab, “Saya pun sampai sekarang masih mempelajari, kita tuh nggak sempurna, makanya masuk Islam, bukannya kita sempurna baru boleh masuk Islam, gue bantu”, kata saya.
The rest is tears and pray, istighfar dan hamdalah. Hari itu Allah berikan pelajaran berharga pada saya. Sangat berharga. Bahwa semua ini, semuanya, dalam genggaman-Nya.
Begitu mudah Allah membolak-balikkan hati, begitu mudah bagi Allah mengubah manusia. Bahkan yang paling saya benci dalam hidup, bahkan semustahil itu bagi saya.
Saya memeluknya, menenggelamkan benci dalam lautan kasih sayang dari Allah, hingga karam tak terlihat. Hari itu Allah ajarkan kasih sayang karena iman.
37 tahun baginya, 35 tahun bagi saya, darah tak persaudarakan kami, harta tak menyatukan kami. Islam yang bisa mengikat hati, Allah yang punya kuasa.
Fase baru baginya, ujian berat segera datang, kini Freddy sedang berusaha menghadapinya. Dia tak sendiri, ada banyak airmata dan doa baginya, dia punya saya.
Doakan, sebab semua ini benar-benar tak mudah. Setan dan balatentaranya, pasti berusaha mengerahkan usaha terbaiknya untuk berbuat jahat dan nista.
Tapi diatas segala-galanya, tanggung jawab kita ada pada Allah sebelum semuanya, sebelum manusia. Hanya pada Allah kita berharap, tak ada kekuatan selain Dia. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna