CERITA, PIJARNEWS.COM — La Rahing. Anak Sekolah Dasar yang setiap hari bertugas sebagai kurir. Tugas utama La Rahing, menunaikan pengantaran makan siang untuk Bapaknya yang bekerja di sawah. Sepulang dari sekolah, segera ia bergegas kembali ke rumah. Menerima paket dalam bungkusan sarung yang telah Mama La Rahing siapkan. Isinya, seperangkat makan siang.
Tak beberapa lama dari rumahnya, ia berjalan ke belakang menelusuri jalan setapak, lalu melewati kuburan, dan melintasi sungai, juga pematang-pematang. Bapak telah menunggunya di rumah-rumah sawah. Semacam teratak yang bersandar di pohon, di atas pematang. Tempat berteduh, berkumpul, makan, ngopi, atau menenangkan peluh, kadang juga menjadi panggung pertunjukan Mappalili (upacara memulai penggarapan) dan Mappadendang (pesta panen).
La Rahing tiba di sawah disambut dengan sukacita. Padi telah mulai menua dan matang. Beberapa hari lagi panen tiba. Bapak menuliskan di papan dinding rumah jadwal panen berdasarkan Ompona ulengE
(perhitungan bulan). Panen jatuh di 1 Januari 1998. Artinya, selain tugas sebagai kurir, La Rahing memiliki tambahan tugas khusus bermalam di sawah pada malam tahun baru.
Sepulang sekolah, La Rahing bersama anak petani lainnya menuju ke sawah untuk bermalam. Mereka seperti datasemen khusus yang diberikan tanggung jawab mengamankan padi yang esok hari panen. La Rahing, Beddu, Sakka’, dan Sudding melalui malam tahun baru di sawah menangkap jangkrik dan bakar-bakar jagung. Setelah siang hingga sore, bersama beberapa petani mereka turut mempersiapkan rumah-rumah sawah untuk jadi panggung Mappadendang.
Tahun baru tiba, pesta panen berlangsung, dan Presiden Soeharto berpidato, meminta rakyat rela berkorban. Krisis ekonomi alasannya, perusahaan-perusahaan tutup, demo mahasiswa mewarnai dunia dalam berita, dan harga gabah terjun bebas. La Rahing dan keluarganya yang petani tetap tabah. Bapak La Rahing, Ketua Kelompok Tani Timpa’ Cere (Teko yang Terbuka) bersepakat bersama petani lainnya. Gabah-gabah hasil panen, sebahagian mereka sisihkan untuk berbagi kepada keluarga di kota juga masyarakat yang membutuhkan.
“Taro ni masempo gabaE,
naikia aja’ na masempo alE,” La Iman.
Penulis:
Ibrah La Iman