CERITA,- La Rahing bergegas menyeruput kopi panas hitam pekat yang baru saja sandar di mejanya. Belum tiga menit ia duduk, Rahing beranjak tergesa-gesa setelah menutup kopi pesanannya dengan piring kecil. Sembari ia melambaikan tangan pada Daeng Abu pemilik kedai kopi, Rahing menggeber motor Harley versi tiruannya melaju menuju ke rumah Ambo Bunga, Wali Kampung Bunga.
Ana’ Bunga, julukan masyarakat sekelurahan pada La Rahing telah membuatnya menjadi orang yang semakin jadi perhatian. Tentu juga hal itu mengharuskannya mengambil bagian lebih, sibuk mengurusi masyarakat sekelurahan atas gelaran baru yang tersemat padanya sejak awal tahun kemarin setelah ia ‘hidup kembali’ dari suatu kejadian fenomenal.
Ana’ Bunga adalah nama inisiatif pemberian warga di Kampung Bunga kepada La Rahing. Sebagai apresiasi untuknya karena senantiasa mendampingi, juga menemani masyarakat kurang mampu, kurang bisa, dan kurang-kurang yang lainnya dalam pengurusan apa saja. Rahing selalu berupaya senantiasa hadir saat ada warga yang membutuhkan bantuannya. Walau ia tak terlibat dalam urusan arisan-arisan, tapi namanya selalu naik bila ada kejadian, ibarat bunga yang semerbak ia senantiasa dicari.
La Rahing, seorang warga biasa yang kini hidup sendiri. Keluarga Rahing semuanya telah hilang pada suatu banjir besar yang tragis. La Rahing sendiri sempat mengalami koma panjang hampir setahun sebelum ia akhirnya kembali sadarkan diri. Banyak yang mengira dirinya tidak akan tertolong, ada juga yang berpendapat kalau Rahing mengalami perjalanan ruhania. Hingga ada juga yang berkesimpulan bila ia telah mengalami mati suri. Namun dari semua itu La Rahing tidak pernah menggubris bila ada orang yang bertanya atau mengobrolkan perihal keadaannya saat itu.
Sebelum Rahing mengalami koma yang panjang, kehidupannya adalah malam hari yang juga panjang layaknya pemuda kampung yang sebagiannya hidup di jalanan. Setiap rumah ronda sekelurahan adalah markasnya. Terdapat sembilan rumah ronda di kelurahan dan ia dalam sehari tidak pernah absen mengunjungi kesembilan rumah ronda tersebut yang berada di tiap kampung dengan berbagai aromanya. Tak ayal bila sejak dulu La Rahing memang terkenal di semua lapisan masyarakat sekelurahan.
Selain rumah-rumah ronda itu, yang tak berubah sejak dulu hingga kini adalah kunjungan La Rahing ke rumah Wali Kampung di pinggir sungai setiap menjelang shalat subuh. Rahing menjadi orang yang setiap hari iseng berniat membangunkan Wali Kampung itu untuk subuhan. Ambo Bunga, Wali Kampung itu pula yang menjadi orang yang tetap bertahan saat Dokter mendiagnosa Rahing tidak dapat lagi terselamatkan. Ambo Bunga lantas mengendong La Rahing naik ke atas motor harley versi tiruannya, mengikatnya dengan sarung dan memboncengnya kembali ke rumah Ambo Bunga di pinggir sungai yang mengalir.
Gelap dan pekatnya malam mereka lalui cukup jauh dari Rumah Sakit Ibukota Kabupaten. Beberapa kali Ambo Bunga dan rombongan sempat berhenti untuk memastikan La Rahing tetap baik-baik saja dan masih bernafas. Suara-suara jangkrik juga makhluk malam lainnya mengiringi perjalanan mereka melewati kebun, sawah, kuburan, dan hutan-hutan kampung. Setiap warga yang berada di rumah ronda yang mendapati mereka di perjalanan juga bergegas mengantar Ambo Bunga dan La Rahing kembali ke rumah Wali Kampung itu.
Setelah sekian lama, Rahing pun kembali berangsur-angsur sembuh. Ambo Bunga rutin memandikannya di sungai setiap menjelang subuh saat Rahing mengalami koma. Hingga La Rahing pun dapat sehat kembali. Namun ada yang berubah. Ia tak lagi serutin dahulu mengunjungi rumah-rumah ronda. Kini La Rahing banyak mendatangi bahkan mencari warga atau masyarakat yang membutuhkan bantuan. La Rahing tak sungkan untuk melakukan sesuatu untuk sekedar membantu. Mengambilkan air, mengantar ke pasar, berdebat dengan pihak kelurahan yang bertele-tele, memotong rumput, menanam padi, menyebrangkan kucing, mengecat sekolah, dan lain-lain.
Hingga akhirnya tibalah hari ini, Ambo Bunga mengutus orang untuk memanggilnya di kedai kopi Daeng Abu. Ambo Bunga tak berpanjang lebar saat Rahing telah tiba di dekatnya. Ia meminta tolong kepadanya untuk menunaikan ibadah haji. La Rahing yang tak pernah menyangka dirinya mendapatkan permintaan tolong sedemikian itu awalnya tak menjawab apa-apa. Sampai Ambo Bunga semakin lemah dan terus meminta pertolongannya.
Ambo Bunga adalah Wali Kampung yang memang belum menunaikan ibadah haji. Bukan karena tak mampu atau ada yang melarangnya, ataupun karena alasan lainnya. Suatu waktu ketika La Rahing menanyakan perihal kenapa Ambo Bunga tak mau menunaikan ibadah haji, Ambo hanya menjawab, “Saya malu menginjakkan kaki di tanah haram, tempat kekasih Allah itu dilahirkan.” Setelah itu, La Rahing tak lagi berani bertanya walau sebenarnya ia tidak memahami maksud dari Wali Kampung itu.
La Rahing pun menyetujui permintaan Ambo Bunga yang ia sudah anggap sebagai Bapaknya sendiri. Ambo Bunga juga hidup dan tinggal sendiri di rumahnya. Sitti Hindun anaknya yang kala itu masih kecil hilang terbawa arus saat banjir besar menggulung kampung, hal serupa juga yang terjadi pada keluarga La Rahing. Ambo Bunga dan La Rahing telah mencari keluarga mereka kemana-mana namun tidak jua menemukannya. Memilukan.
Beberapa hari kemudian, berangkatlah La Rahing menuju ke tanah haram Makka Al Mukarramah, tanah suci. Sebelum meninggalkan kampung, Ambo Bunga menitipkan kepadanya tiga macam hal. Pertama, Ambo Bunga meminta La Rahing membawa sebotol air sungai dekat rumahnya lalu mencampurkannya dengan sumber mata air zam-zam di sana. Kedua, Ambo Bunga menitipkan mukenah untuk ia berikan kepada perempuan yang akan ia temui di Makka. Ketiga, Ambo Bunga berbisik kepada La Rahing untuk membaca ‘ingatan’ Tasbih (Subhanallah), Tahmid (Alhamdulillah), Takbir (Allahu Akbar), Shalawat (Allahumma Shalli Ala Syaidina Muhammad wa Ala Alihi wa Shohbihi Ajmain), dan ditutup dengan Tahlil (La Ilaha IllaLlah) masing-masing sebanyak sembilan puluh sembilan kali setiap hari selama dalam perjalanan.
Semua permintaan itu pun La Rahing ingat baik-baik dan melakukannya sesuai petunjuk dari Ambo Bunga. Permintaan ketiga yang senantiasa ia berusaha tuntaskan terlebih dahulu setiap hari selama dalam perjalanan. Setelah tiba di Makka, La Rahing tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membawa air sungai yang ia telah masukkan dalam botol untuk segera ia campurkan dengan sumber mata air zam-zam tak jauh dari Ka’bah. Ketika La Rahing berjalan menuju ke sumber mata air zam-zam, tiba-tiba botol air sungai hilang dari tangannya. Entah kemana dan siapa yang mengambilnya. Begitu saja menghilang.
La Rahing gusar dan khawatir sekali, ia mulai pucat. Arus lalu lalang manusia sangat banyak dan deras hingga ia sesunggukan meneteskan air mata sambil berjalan karena kesulitan mencari botol tersebut kemana-mana dan telah bertanya dimana-mana dengan bahasa isyarat. La Rahing pun setelah sehari semalam berusaha mencari botol berisi air sungai itu hampir terlupa melakukan permintaan ketiga dari Ambo Bunga, hingga akhirnya ia sejenak bertafakkur melaksanakan ‘ingatan’ yang dimanahkan kepadanya tepat di samping prasasti jejak kaki Nabi Ibrahim.
Setelah itu, entah datang darimana terlintas di hadapannya seorang perempuan sedang menenteng botol persis seperti yang sedang ia cari. Perempuan itu berjalan cepat, La Rahing tergesa-gesa mengikutinya sampai keluar dari kompleks Masjidil Haram. Perempuan itu mengenakan gamis panjang hitam menelusuri jalan-jalan sempit. Sampai tiba perempuan itu keluar semakin jauh menelusuri padang pasir. La Rahing terus berupaya mengikutinya dengan menahan dahaga dan panas yang sangat terik.
Tanpa ia sadari, ternyata La Rahing telah mendaki dan menuruni bukit Shafa dan Marwah mengikuti perempuan itu. Dan tiba-tiba perempuan itu berhenti pada sebuah gundukan pasir, tak beberapa lama setelahnya La Rahing melihat dan berupaya berteriak melarang perempuan itu membuka tutup botol itu dan menumpahkan isinya ke atas gundukan itu. Apa daya usahanya itu terlambat. La Rahing hanya berhasil meraih botol yang ia temukan tak lagi tersisa setetes pun.
Dari sana perempuan itu tak lagi terlihat. La Rahing mulai mengalami hal yang tak biasa. Ia seperti sedang berhalusinasi, perasaannya seolah melihat seorang bayi yang menangis dan mengais-gaiskan kakinya tepat dimana perempuan tadi menumpahkan air dari botolnya. La Rahing melihat air mengalir dari bawah kaki bayi itu dan berupaya untuk merasakannya. Dan tiba-tiba ia tak sadarkan diri.
Esok hari, La Rahing tertegun. Ia terbangun dari ranjang besar di tengah kamar yang luas. Pakaiannya berganti. Terakhir yang dapat ia ingat, dirinya basah kuyup dan terus melafadzkan bacaan dari permintaan ketiga Ambo Bunga, setelah itu gelap. La Rahing perlahan turun dari ranjang dan berjalan memperhatikan ruangan sekitarnya, sekilas ia melihat keluar jendela dan di sana terpampang Ka’bah dari jarak yang dekat. Ternyata ia sedang berada dalam ruangan perawatan. Seorang Askar (petugas) menyampaikan kepadanya perihal seorang perempuan yang menemukan dirinya pingsan di padang pasir. La Rahing pun segera bergegas, hampir saja ia tertinggal untuk menyempurnakan ibadah haji yang diamanahkan kepadanya.
La Rahing masih memikirkan air sungai dalam botol yang hilang darinya. Dan seketika ia pun menyadari, bahwa mukenah yang ia selipkan dalam pakaiannya pun telah ikut menghilang. La Rahing semakin sedih dan tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Setelah semua rangkaian ibadah haji ia selesaikan. La Rahing kembali ke ruangan perawatan tempatnya terbaring, lalu menanyakan perihal mukenah yang mungkin saja tertinggal atau ada yang mengambilnya. Namun hasilnya nihil, La Rahing tidak menemukan apa-apa selain daripada dirinya yang hampir lupa mengamalkan ‘ingatan’, permintaan ketiga dari Ambo Bunga.
La Rahing lantas sandar dan tertidur pulas di dekat salah satu tiang dalam Masjidil Haram setelah Isya. Dalam tidurnya itu La Rahing melihat dirinya sendiri yang sedang berdoa, menyerahkan dan memasrahkan segala urusan yang tidak dapat ia tunaikan dengan baik kepada Yang Maha Kuasa. Doa-doa itu terus berulang-ulang hingga ia tersentak seolah seseorang menepuk bahunya dan ia terbangun. Setelah sadarkan diri, sembari membaca Tasbih, Tahmid, Takbir, Shalawat, dan Tahlil, La Rahing berjalan ke tempat air zam-zam untuk minum, dan ternyata tak jauh dari tempatnya duduk ia menemukan botol persis miliknya yang berisi penuh dengan air sungai dari kampungnya. Bergegas segera La Rahing berhati-hati dan memegang erat botolnya itu menuju ke sumber air zam-zam dan menuangkan air sungai dari dekat rumah Ambo Bunga itu.
Tak beberapa lama dan tak jauh dari tempatnya itu juga, La Rahing melihat seorang perempuan mengenakan apa yang ia yakin adalah mukenah pemberian dari Ambo Bunga. Perempuan itu tersenyum ke arahnya dan La Rahing melihatnya sangat jelas. Perempuan itu adalah perempuan yang sama yang ia kejar sampai ke padang pasir, dan perempuan yang sama yang ia duga telah menuangkan air dari botolnya. La Rahing berupaya mengejarnya namun senyuman itu tak lagi dapat ia temukan setelah beberapa hari mencarinya kemana-mana. Sampai akhirnya La Rahing kembali ke Kampung Bunga.
Setibanya di kampung, La Rahing bersegera menuju ke rumah Ambo Bunga. Desir suara air sungai menyambutnya bersama riuhnya orang-orang membaca surah Yasin. La Rahing tertegun melihat Ambo Bunga baru saja menghembuskan nafas terakhirnya setelah dirinya menceritakan apa yang terjadi di tanah suci. La Rahing meneteskan air mata, tak menduga Ambo Bunga menyambut dirinya dengan perpisahan. Sebelum pergi, Ambo Bunga sempat berucap “lettu manengni” (semua telah sampai), dan perlahan menutup matanya dengan sekali tarikan nafas yang ia iringi dengan Tahlil.
Penulis:
Ibrah La Iman